Bismillahirrohmanirrohim

Ustadz Kholid Syamhudi. lc

Shalat berjama’ah memiliki adab dan hukum-hukum yang terkait dan berhubungan dengannya. Semua ini karena arti penting dan kedudukannya dalam islam. Padahal pada kenyataannya banyak kaum muslimin yang belum mengetahui hal ini, sehingga banyak dijumpai mereka shalat berjama’ah tanpa memperhatikan adab dan hokum yang terkait. Akhirnya mereka terjerumus kedalam kesalahan dan dosa bahkan dalam kebid’ahan.

Batasan minimal peserta shalat berjama’ah.

Batasan minimal untuk shalat jama’ah adalah dua orang, seorang imam dan seorang makmum. Jumlah ini telah disepakati para ulama, sehingga Ibnu Qudamah menyatakan: “Shalat jama’ah dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kami belum menemukan perbedaan pendapat dalam masalah ini”[1].

Demikian juga Ibnu Hubairah menyatakan: “Para ulama bersepakat batasan minimal shalat jama’ah adalah dua orang, yaitu imam dan seorang makmum yang berdiri disebelah kanannya”.[2]

Shalat berjama’ah sah walaupun makmumnya seorang anak kecil atau wanita, berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu yang berbunyi:

بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَقُمْتُ أُصَلِّي مَعَهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِرَأْسِي فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ

“Aku tidur dirumah bibiku, lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bangun mengerjakan shalat malam. Lalu aku turut shalat bersamanya dan berdiri disamping kirinya. Kemudian beliau meraih kepalaku dan memindahkanku kesamping kanannya”[3] 

Demikian juga hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat mengimami dia dan ibunya. Anas berkata: “Beliau menempatkanku disebelah kanannya dan wanita (ibunya) dibelakang kami”[4]

Semakin banyak jumlah makmum semakin besar pahalanya dan semakin Allah sukai, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Shalat besama orang lain lebih baik dari shalat sendirian. Shalat bersama dua orang lebih baik dari shalat bersama seorang. Semakin banyak (yang shalat) semakim disukai Allah Ta’ala”[5] 

Hadits ini jelas menunjukkan semakin banyak jumlah jama’ahnya semakin lebih utama dan lebih disukai Allah Ta’ala.

Demikian juga seorang anak kecil yang telah mumayiz boleh menjadi imam menurut pendapat yang rojih. Hal ini berdasarkan hadits Amru bin Salamah Radhiallahu’anhu yang berbunyi:

فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ

“Ketika terjadi penaklukan kota Makkah, setiap kaum datang menyatakan keislaman mereka. Bapakku datang menyatakan keislaman kaumku. Ketika beliau pulang beliau berkata: “Demi Allah Aku membawakan kepada kalian kebenaran dari sisi Rasulullah”. Lalu berkata: “Shalatlah kalian shalat ini pada waktu ini dan shalatlah ini pada waktu ini. Jika telah masuk waktu shalat, hnedaklah salah seorang kalian beradzan dan orang yang paling banyak hafalan qur’annya yang mengimami. Lalu mereka mencari (imam). Ternyata tidak ada seorangpun yang lebih banyak dariku hafalan Al Qur’annya. Lalu mereka menunjukku sebagai imam dan aku pada waktu itu berusia enam atau tujuh tahun”[6]

Kapan dikatakan mendapati shalat berjama’ah?

Gambaran permasalahan ini adalah seorang datang kemasjid untuk shalat berjama’ah. Kemudian mendapati imam ber-tasyahud akhir, lalu ber-takbiratul ihram. Apakah masbuq tersebut dikatakan mendapatkan pahala berjama’ah bersama imam ataukah dianggap sebagai shalat sendirian (munfarid)?.

Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:

Pertama: Shalat jama’ah didapatkan dengan takbir sebelum imam salam.

Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafiiyah.

Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda:

إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمْالسَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

“Jika shalat telah diiqamati, maka janganlahmendatanginya denga nberlari, datangilah dengan berjalan. Kalian harus tenang. Apa yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan sempurnakanlah”[7] 

Dalam hadits ini dinyatakan orang yang mendapatkan imam dalam keadaan sujud atau duduk tasyahud akhir sebagai orang yang mendapatkan, lalu menyempurnakan yang terlewatkan, sehingga orang yang bertakbir ihrom sebelum imam salam dikatakan mendapati shalat jama’ah.

Kedua: Membedakan antara jum’at dan jama’ah. Jika shalat jum’at melihat kepada raka’at dan jama’ah melihat kepada takbir.

Bermakna dalam shalat jum’at seseorang dikatakan mendapati shalat jum’at bersama imam bila mendapati satu raka’at bersama imam. Dikatakan mendapatkan jama’ah bila bertakbir sebelum imam mengucapkan salam. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i.[8]

Ketiga: Dikatakan mendapati shalat berjama’ah bila mendapati satu rakaat bersama imam.

Ini pendapat madzhab Malikiyah, Imam Ghazaaliy dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Muhammad bin Abdil Wahab dan Abdurrahman bin Naashir As Sa’di telah merajihkannya.[9]

Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau berkata:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

“Siapa yang mendapatkan raka’at dari shalat maka telah mendapatkan shalat”[10] dan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

“Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat jum’at atau selainnya maka telah mendapatkan shalat”.[11]

Sedangkan rakaat dilihat dari ruku’nya sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah yang marfu’ :

إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

“Jika kalian berangkat shalat dan menemukan kami sedang sujud maka bersujudlah dan jangan dihitung sebagai rakaat. Barang siapa yang mendapatkan raka’at maka telah mendapatkan shalat”[12] 

Mereka menyatakan: “Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat jum’at atau selainnya maka mendapatkan shalat. Demikian juga Shalat jama’ah tidak dianggap mendapatinya kecuali dengan mendapat satu raka’at”.[13]

Pendapat ini dirajihkan Syaikhul Islam dalam pernyataan beliau: “Yang benar adalah pendapat ini, karena hal berikut:

1. Menurut syari’at, dalam hal ini takbir tidaklah berkaitan dengan hukum apapun, tidak berkaitan dengan waktu dan tidak pula dengan jum’at atau jama’ah atau yang lainnya. Takbir disini adalah sifat yang tidak terkait dengan hukum apapun (Washfun Mulgha) dalam tinjauan syari’at. Maka dari itu tidak boleh menggunakannya sebagai hujjah.

2. Syari’at hanya mengaitkan status dapat tidaknya shalat berjama’ah dengan mendapati raka’at. Pengaitannya dengan takbir akan meniadakannya.

3. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengaitkan dapatnya shalat berjama’ah bersama imam dengan raka’at. Ini adalah nash permasalahan.

4. Jum’at tidak didapati seseorang kecuali mendapati raka’at, demikianlah fatwa sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diantaranya; Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Anas dan yang lainnya. Tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi meeka dalam hal ini. Bahkan sebagian ulama menyatakan hal ini merupakan ijma’ sahabat. Pemisahan hukum jum’at dengan jama’ah disini tidak benar. Oleh karena itu Abu Hanifah meninggalkan ushulnya dan membedakan keduanya. Tapi hadits dan atsar sahabat membatalkan pendapat beliau.

5. Bila tidak mendapati satu raka’atpun bersama imam, maka tidaklah dianggap mendapati jama’ah. Karena ia menyelesaikan seluruh bagian shalatnya dengan sendirian. Ia tidak terhitung mendapati satupun bagian shalat bersama imam, seluruh bagian shalat dia kerjakan sendirian.[14]

Pendapat ini adalah pendapat yang rajih, Wallahu a’lam bish Shawaab.

Hukum Berjama’ah Dalam Shalat Nafilah.[15]

Shalat nafilah (shalat tathawu’) sangat penting bagi seorang muslim, bahkan ia merupakan pelengkap dan penyempurna shalat fardhu. Melihat pentingnya permasalahan ini perlu diketahui secara jelas hukum seputar jama’ah dalam shalat nafilah.

Nafilah bila ditinjau dari pensyari’atan jama’ah padanya terbagi menjadi dua;

A. Shalat nafilah yang disyari’atkan padanya jama’ah

Shalat nafilah yang disunnahkan berjama’ah adalah:

1. Shalat Kusuf (Shalat gerhana matahari).

Shalat ini disunnahkan berjama’ah dengan kesepakatan para fuqaaha’. Sedangkan shalat gerhana bulan terdapat perselisihan para ulama padanya. Imam Abu Hanifah dan Malik menyatakan tidak disunnahkan, sedangkan imam Syafi’I dan Ahmad menyatakan sunnahnya.

2. Shalat Istisqa’

Disunnahkan berjamaah menurut madzhab Malikiyah, Syafiiyah, Hambaliyah dan dua murid Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat tidak disunnahkannya berjama’ah.

3. Shalat Ied

Disunnahkan berjamaah secara ijma’ kaum muslimin.

4. Shalat Tarawih

B. Shalat nafilah yang tidak disyari’atkan berjama’ah.

Shalat yang disyariatkan melakukannya sendirian tidak berjama’ah sangat banyak sekali, diantaranya shalat rawatib, shalat sunnah mutlaqoh dan yang disunnahkan di setiap malam dan siang.

Tentang hukum melakukan shalat-shalat tersebut berjama’ah terjadi peselisihan diantara para ulama.

Madzhab Syafiiyah dan Hambaliyah memperbolehkan berjama’ah, Madzhab Hanafiyah memakruhkannya dan madzhab Malikiyah membolehkan berjama’ah kecuali sunnah rawatib sebelum subuh. Mereka nyatakan hal itu menyelisihi yang lebih utama, selebihnya boleh dengan syarat jama’ahnya tidak banyak dan tidak ditempat yang terkenal, karena takut terjadi riya’ dan munculnya anggapan bahwa hak itu wajib.

Akan tetapi yang benar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam , beliau pernah melakukan kedua-duanya. Pernah meklakukan shalat sunnah tersebut dengan berjama’ah dan sendirian. Sebagaimana riwayat berikut ini:

a.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ

“Dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu beliau menyatakan bahwa neneknya yang bernama Mualikah mengundang Rasulullah makan-makan yang dibuatnya. Lalu Rasulullah memakannya dan berkata: “bangkitlah kalian, aku akan shalat berjama’ah bersama kalian”. Anas berkata: aku mengambil tikarkami yang telah berwarna hitam karena lamanya pemakaian dan rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bangkit. Aku dan seorang anak yatim membuat shof dibelakang beliau, sedang orang-orang tua wanita berdiri dibelakang kami. Rasulullah shalat dua raka’at kemudian pergi”[16] 

b.عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ فِي مَنْزِلِهِ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ لَكَ مِنْ بَيْتِكَ قَالَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى مَكَانٍ فَكَبَّرَ  النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْنَا خَلْفَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ

“Dari Utbaan bin Maalik bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mendatanginya di rumahnya, lalu berkata: “Dimana dari rumahmu ini yang kamu suka aku shalat untuk mu”. Lalu aku tunjukkan satu tempat. Kemudian beliau bertakbir dan kami membuat shof dibelakangnya. Beliau shalat dua raka’at”[17]

Demikian juga Syaikh Shalih As Sadlaan me-rajih-kan pendapat kebolehannya dengan syarat, sebagaimana pernyataan beliau: “Yang benar dari yang telah kami sampaikan, nafilah boleh dilakukan dengan berjama’ah. Baik nafilahnya adalah sunnah rawatib atau sunnah mustahabbah atau tathawu’ mutlaq. Tapi dengan syarat tidak menjadikannya satu kebiasaan, tidak ditampakkan secara terang-terangan dan dilakukan karena satu sebab seperti diminta tuan rumah atau kerena berbarengan dalam menunaikan sunah, seperti tamu ketika bertamu, seandainya dia dan tuan rumahnya shalat witir berjama’ah, dengan syarat tidak timbul kebid’ahan atau perkara yang tidak dibolehkan oleh Syari’at. Jika terjadi satu dari yang telah disebutkan maka tidak disyari’atkan berjama’ah”.[18]

Kesimpulannya dibolehkan melaksanakan shalat sunnah berjama’ah selama tidak menimbulkan kebid’ahan atau pelanggaran syari’at dan dibutuhkan untuk itu. Wallahu a’lam.

Udzur Yang Memperbolehkan Tidak Menghadiri Shalat Berjama’ah

Diperbolehkan tidak menghadiri shalat berjama’ah dengan sebab-sebab tertentu. Diantara sebab-sebab tersebut:

1. Dingin dan hujan.

Berdasarkan hadits dari Nafi’, beliau berkata:

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ ذَاتُ بَرْدٍ وَمَطَرٍ يَقُولُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ

“Sesungguhnya Ibnu Umar beradzan untuk shalat pada malam yang dingin dan berangin kencang, kemudian berkata: “Ala Shollu Fi Rihaalikum (Shalatlah kalian di rumah kalian)”. Lalu beliau berkata: “Sesuangguhnya Raasululloh memerintahkan muadzin jika malam dingin dan berhujan mengatakan: “Ala Shollu Firihaal”.(Mutafaqun Alaihi).

2. Sakit yang memberatkan penderitanya menghadiri jama’ah.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu“ (QS. Al Hajj 78)

dan Sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit dan tidak bisa mengimami shalat beberapa hari:

مُرُوْا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ

“Perintahkanlah Abu Bakr agar mengimami manusia”[19]

Ibnu Hazm berkata: “Ini tidak diperselisihkan”[20]

3. Kondisi tidak aman yang dapat membahayakan diri, harta dan kehormatannya.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
 
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al Baqarah 286)
dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

“Barang siapa yang mendengar adzan lalu tidak datang maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur”[21]

Dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan tafsir udzur disini dengan sakit atau rasa takut (situasi tidak aman). [22]

4. Saat makanan telah dihidangkan dan menahan hajat kecil atau besar.

Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

“Tidak boleh shalat saat makanan dihidangkan dan tidak pula ketika menahan buang hajat kecil dan besar”[23]

5. Ketiduran

Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِالْأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا

“Bukanlah ketiduran tafrith (tercela), akan tetapi tafrith hanya pada orang yang tidak shalat sampai datang waktu shalat yang lainnya. Barang siapa yang berbuat demikian maka hendaklah shalat ketika sadar” [24]

Demikianlah sebagian perkara yang penting yang berhubungan dengan shalat jama’ah. Semoga bermanfaat.

Wallahu'alam

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
________________________________________
[1] Al Mughni, 3/7.
[2] Al Ifshah An Ma’aanish Shihaah, 1/155, dinukil dari Shalatul Jam’ah karya Prof. DR. Shalih bin Ghaanim Assadlaan hal 47. lihat juga pernyataan kesepakatan ini dalam Raudhatun Nadiyah karya Shidiq Hasan Khan, 1/308.
[3] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Ma Ja’a fil Witri, no 937
[4] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, bab Jawaazu Al Jama’ah fin Nafilah wash Shalat Ala Hashiir Wa Khamrah no. 1056.
[5] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat bab Fi Fadhli Shalatul Jama’ah no.467, An-Nasaa’i dalam sunannya kitab Al Imamah bab Al jama’ah idza kaana Itsnaini no.834, Ahmad dalam Musnad-nya no.20312 dan Al Haakim dalam Mustadrak-nya 3/269. Hadits ini di-shahih-kan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, 2/366-367, no. 1477.
[6] Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Maghaaziy no. 3963.
[7] Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam Shahih-nya
[8] Lihat Majmu’ Fatawa, 23/331.
[9] Lihat Shalatul Jama’ah hal 50. tentang tarjih mereka ini dapat dilihat dalam kitab Adaab Al Masyi Ila Shalat hal 29 dan Al Mukhtaraat Al Jaliyah Fil Masaail Al Fiqhiyah (dalam Al Majmu’ah Al Kaamilah Li Mualafat Syeikh Abdurrahman bin Naashir Assa’diy, 2/109).
[10] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya kitab Mawaaqitus Shalat bab Man Adraka Minas Shalat Rakaat no.546 dan Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, Bab Man Adraka Minas Shalat Rakaat Faqad Adraaka Shalat no. 954
[11] Diriwayatkan oleh An Nasaa’i dalam Sunan-nya kitab Al Mawaaqit Bab Man Adraka Rak’atan Minas Shalat no. 554, Ibnu Maajah dalam Sunan-nya, kitab Iqamatush Shalat Was Sunnah Fiha, bab Ma Ja’a Fiman Adraka Minal Jum’at Rak’atan no.1113 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya 3/173.
[12] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya kitab Ash Shalat Bab Fi Rajuli Yudrikul Imam Sajidan Kaifa Yasna’ no. 759
[13] Lihat Shalatul Jama’ah hal 51.
[14] Majmu’ Fatawa, 23/331-332 dengan sedikit pemotongan.
[15] Diringkas dari Shalatul Jama’ah, karya Syaikh Shalih As Sadlaan hal 74-78 dengan beberapa perubahan.
[16] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat bab Jawaazu Al Jama’ah Fin Nafilah was Shalat Ala Hashiir wa Khomrah no. 1053
[17] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya kitab Ash Shalat bab Idza Dahola Baitan Haitsu Syaa no. 406.
[18] Shalatul Jama’ah hal 77-78.
[19] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya
[20] Al Muhalla, 4/351.
[21] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masaajid wal Jama’ah, bab At Taghlidz fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah no. 785. hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Maajah no. 631.
[22] Dibawakan oleh penulis kitab Shalat Jama’ah hal 199 dan dinisbatkan kepada Sunan Al Kubra Al Baihaqi, 1/185.
[23] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi Shalat bab Karahatus Shalat Bi Hadhratith Tho’aam no. 869.
[24] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi Shalat, bab Qadha’ Shalat Fawaait no. 1099

17 Amalan Penghapus Dosa

Diposting oleh abufawwaz | 10.13 | | 0 komentar »

Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Bismillahirrohmanirrohim

Manusia pasti berbuat dosa dan pasti butuh ampunan Allah. Oleh karena itu Allah memberikan keutamaan dan kemurahan kepada hambaNya dengan mensyariatkan amalan-amalan yang dapat menghapus dosa disamping taubat. Sebagiannya dijelaskan dalam Al Qur’an dan sebagiannya lagi dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.Diantaranya sebagai berikut:

  1. Menyempurnakan wudhu dan berjalan ke masjid, sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ

“Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dapat menghapu dosa dan mengangkat derajat. Mereka menjawab: ya wahai rasululloh. Beliau berkata: menyempurnakan wudhu ketika masa sulit dan memperbanyak langkah kemasjid serta menunggu shalat satu ke shalat yang lain, karena hal itu adalah ribath” (HR Muslim dan Al Tirmidzi).
Juga dalam sabda beliau yang lain:

إِذَا تَوَضَّأَ الرَّجُلُ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ لَا يُخْرِجُهُ أَوْ قَالَ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا إِيَّاهَا لَمْ يَخْطُ خُطْوَةً إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً

“Jika seseorang berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya kemudian berangkat sholat dengan niatan hanya untuk sholat, maka tidak melangkah satu langkah kecuali Allah angkat satu derajat dan hapus satu dosa” (HR. Al Tirmidzi).

2. Puasa hari Arafah dan A’syura’, dalilnya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Nabi Bersabda: Puasa hari Arafah saya berharap dari Allah untuk menghapus setahun yangsebelumnya dan setahun setelahnya dan Puasa hari A’syura saya berharap dari Allah menghapus setahun yang telah lalu” (HR. At Tirmidzi dan di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ no. 3853)

3. Shalat tarawih di bulan Ramadhan, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang menegakkan romadhon (shalat tarawih) dengan iman dan mengharap pahala Allah maka diampunilah dosanya yang telah lalu” (Muttafaqun ‘Alaihi)

4. Haji yang mabrur, dengan dalil:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَ لَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Siapa yang berhaji lalu tidak berkata keji dan berbuat kefasikan maka kembali seperti hari ibunya melahirkannya” (HR. Al Bukhari)

dan sabda beliau:

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

“Haji mabrur balasannya hanyalah surga” (HR. Ahmad).

5. Memaafkan hutang orang yang sulit membayar, dengan dalil:

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ أُتِيَ اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِي الدُّنْيَا قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِي مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِي الْجَوَازُ فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ فَقَالَ اللَّهُ أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِي

“Dari Hudzaifah beliau berkata Allah memanggil seorang hambaNya yang Allah karuniai harta. Maka Allah berkata kepadanya: Apa yang kamu kerjakan didunia? Ia menjawab: Wahai Rabb kamu telah menganugerahkanku hartaMu lalu aku bermuamalah dengan orang-orang. Dan dahulu akhlakku adalah memaafkan, sehingga aku dahulu mempermudah orang yang mampu dan menunda pembayaran hutang orang yang sulit membayar. Maka Allah berfirman: Aku lebih berhak darimu maka maafkanlah hambaKu ini” (HR. Muslim).

6. Melakukan kebaikan setelah berbuat dosa, dengan dalil:

اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, ikutilah kejelekan dengan kebaikan yang menghapusnya dan pergauli manusia dengan etika yang mulia” (HR Al Tirmidzi dan Ahmad dan dishohihkan Al Albani dalam Shohih Al Jaami’ no. 97.)

7. Memberi salam dan berkata baik, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

إِنَّ كِمْ كُوْجِبَاتِ الْمَغْفِرَةِ بَذْلُ السَّلاَمِ وَ حُسْنُ الْكَلاَمِ

“Sesungguhnya termasuk sebab mendapatkan ampunan adalah memberikan salam dan berkata baik” (HR Al Kharaithi dalam Makarim Al Akhlak dan di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, no. 1035)

8. Sabar atas musibah dengan, dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ إِنِّي إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنًا فَحَمِدَنِي عَلَى مَا ابْتَلَيْتُهُ فَإِنَّهُ يَقُومُ مِنْ مَضْجَعِهِ ذَلِكَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ مِنْ الْخَطَايَا

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berfirman: Sungguh Aku bila menguji seorang hambaKu yang mukmin, lalu ia memujiku atas ujian yang aku timpakan kepadanya, maka ia bangkit dari tempat tidurnya tersebut bersih dari dosa seperti hari ibunya melahirkannya” (HR Ahmad, dan dihasankan Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Al Shohihah no. 144).

9. Menjaga shalat lima waktu dan jum’at serta puasa Ramadhan, dengan dalil sabda Rasulullah:

الصلوات الخَمْسُ وَ الجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَ رَمَضَان إِلَى رَمَضَان مُكَفِّرَاتُ مَا بَينَهُمَا إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Sholat lima waktu dan jum’at ke jum’at dan Romadhon ke Romadhon adalah penghapus dosa diantara keduanya selama menjauhi dosa besar” (HR Muslim)

10. Mengumandangkan adzan, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

إِنَّ الْمُؤَذِّنَ يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْتِهِ

“Seorang Muadzin diampuni dosanya sepanjang (gema) suaranya” (HR Ahmad dan dishohihkan Al Albani dalam Shahih AL Jaami’ no. 1929)

11. Shalat wajib, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ قَالُوا لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا

“Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di pintu yang digunakan untuk mandi setiap hari lima kali, pa yang kalian katakan apakah tersisa kotorannya? Mereka menjawab: Tidak sisa sedikitpun kotorannya. Beliau bersabda: sholat lima waktu menjadi sebab Allah hapus dosa-dosa” (HR. Al Bukhari).

12. Memperbanyak sujud, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

عَلَيْكَ بَكَثْرَنِ السُّجُوْدِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَكَ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَ حَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيْئَةً

“Hendaklah kamu memperbanyak sujud kepada Allah, karena tidaklah kamu sekali sujud kepada Allah kecuali Allah mengangkatmu satu derajat dan menghapus satu kesalahanmu (dosa)” (HR Muslim).

13. Shalat malam, dengan dalil:

عَلَيْكَ بِقِيَامِ اللَيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ لَكُم لإِلَى رَبِّكُمْ وَ مُكَفِّرَةٌ للسَّيْئَاتِ وَ مَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ

“Hendaklah kalian sholat malam, karena ia adalah adat orang yang sholeh sebelum kalian dan amalan yang mendekatkan diri kepada Robb kalian serta penghapus kesalahan dan mencegah dosa-dosa” (HR Al Haakim, dan dihasankan Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil 2/199).

14. Berjihad dijalan Allah, dengan dalil:

يُغْفَرُ للشَّهِيْدِ كُلَّ ذَنْبٍ إلاَّ الدَّيْن

“Semua dosa orang yang mati syahid diampuni kecuali hutang” (HR Muslim)

15. Mengiringi haji dengan umrah, dengan dalil:

تَابِعُوْا بَيْنَ الحَجِّ وَ الْعُمْرَةِ فَإِنَّ مُتَابَعَةَ بَيْنَهُمَا تَنْفِيْ الْفَقْرَ وَ الذُّنُوْبِ كَمَا تَنْفِيْ الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ

“Iringi haji dengan umroh, karena mengiringi antara keduanya dapat menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana Al Kier (alat pembakar besi) menghilangkan karat besi” (HR Ibnu Majah dan dishohihkan Al Albani dalam Shohih Al Jaami’ no,2899)

16. Shadaqah, dengan dalil:

إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ

“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Baqarah: 271)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun bersabda:

الصَّدَقَةُ تُطْفِىءُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِىءُ الْمَاءُ النَّارَ

“Shadaqah menghapus dosa seperti air memadamkan api” (HR Ahmad, Al Tirmidzi dan selainnya dan di-shahih-kan Al Al Bani dalam Takhrij Musykilat Al faqr no. 117)

17. Menegakkan hukum pidana sesuai syariat Islam, dengan dalil:

أَيُّمَا عَبْدٍ أَصَابَ شَيْئَاً مَمَا نَهَى اللهُ عَنْهُ ثُمَّ أُقِيْمَ عَلَيْهِ حَدُّهُ كَفَرَ عَنْهُ ذَلَكَ الذَّنْبُ

“Siapa saja yang melanggar larangan Allah kemudian ditegakkan padanya hukum pidana maka dihapus dosa tersebut” (HR Al Haakim dan dishohihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ no,2732)

Wallahu'alam
Demikian sebagian penghapus dosa, mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com

THAHARAH

Diposting oleh abufawwaz | 10.01 | , | 0 komentar »

Syaikh Abdul Azhim Bin Badawi Al-Khalafi

Bismillahirrohmanirrohim

Thaharah, menurut bahasa, berarti ‘ANNZHAAFAH WANNAZAAHAH MINAL AHAHDAATS’ Artinya: Bersih dan suci dari berbagai hadas. Menurut istilah fiqih ialah ‘raf’ul hadas au izalatun na jas menghilangkan hadas atau membersihkan najis {lihat Al-Majmul Syarhul Muhadzdab 1:79}.

Semua air yang turun dari langit atau yang keluar dari dalam bumi, adalah suci dan mensucikan. Ini didasarkan pada firman Allah swt :

ﻭﺃﻨﺯﻠﻨﺂﻤﻥﺍﻠﺴﻤﺂﺀ ﻤﺍﺀ ﻁﻬﻭﺭﺍ

“Dan Kami menurunkan dari langit air yang amat suci.”{QS. Al-Furqaan:48}

ﻫﻭﺃﻟﻁﻬﻭﺭﻤﺂﺀﻩ ﺍﻟﺤﻝ ﻤﻴﺘﺘﻪ

Dan sabda Nabi saw. Tentang air laut :

“Ia (laut itu) suci airnya halal bangkainya.” {Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 309, Muwatha’ Imam Malik hal. 26 no 40, Sunan Abu Dawud 1 : 136:138 dan Sunan Nasa’I 1 : 176}.

Tidak boleh terburu-buru menghukumi bahwa air itu najis, sekalipun kejatuhan barang yang najis, kecuali apabila berubah (baunya, atau rasanya, atau warnanya) karena pengaruh barang yang najis tersebut. Ini di dasarkan pada hadist Abu Sa’id, ia berkata :

“Ada seorang sahabat yang bertanya ya Rasullah, bolehkah kami berwudhu’ dengan (air) sumur budha’ah ? Yaitu sebuah sumur yang darah haidh, daging anjing dan barang yang bau busuk dibuang di dalamnya,” Maka jawab Beliau saw.,”air itu suci, tidak bisa di najiskan oleh sesuatu apapun.”(Takhrij hadist ini persis dengan takhrij hadist tentang sumur budha’ah sebelumnya)”dalam Tuhfatul Ahwadzi 1:204 Al-Mubarakfuri menulis bahwa Ath-Thiybi berkata:”Makna di buang ke dalamnya ini, bahwa sumur ini adalah tempat berkumpulnya air dari sebagian lembah,sehingga tidak sedikit penduduk pedalaman yang singgah di sekitarnya, lalu mereka membuang kotoran yang dibawa dari rumahnya ke saluran air yang yang menuju ke sumur itu, sehingga akhirnya masuk kedalamnya, Kemudian si penanya dalam riwayat di atas mengungkapkan dengan member kesan bahwa ada sejumlah orang yang kurang taat kepada agamanya sengaja membuang kotoran kedalamnya, padahal ini adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan seorang muslim. Kemudian pantaskah tuduhan ini dialamatkan kepada generasi terbaik paling bersih.”selasai saya (Al-Mubarakfuri) berkata,”Bukan hanya satu ulama yang berpendapat seperti ini adalah pendapat yang jelas harus diambil”Selesai.

BENDA-BENDA NAJIS

Kata najaasaat adalah bentuk jama’, plural dari kata najaasah, yaitu segala sesuatu yang dianggap kotor oleh orang orang yang ber tabiat baik lagi selamat dan mereka menjaga diri darinya, mencuci pakaiannya yang terkena benda-benda yang najis termaksud, misalnya tinja dan kencing.{Lihat Ar-Raudhun Nidiyah 1: 12}

Pada asalnya segala sesuatu mubah dan suci, oleh karena itu barang siapa yang menanggapnya najis suatu benda,..? maka harus membawa dalil yang kuat. Jika ia mengemukakan dalil, maka ia benar. Jika tidak, atau membawa dalil yang tidak bisa dijadikan hujjah maka ia harus berpegang kepada hukum asal, yaitu suci dan mubah, karena ketetapan hukum najis adalah hukum taklifi (pembebanan) yang bersifat umum. Karena itu tidak boleh memvonis najis kecuali dengan mengemukakan hujjah.{Lihat As-Sailal Jarrar 1: 31, Shahih Sunan Abu Daud no: 834 dan Ar-Raudhatun Nadiyah 1: 15)

Diantara benda-benda najis berdasar dalil :

1. Air Kencing dan Kotoran Manusia

Adapun kotoran orang, di dasarkan pada hadist Abu Hurairah ra. Bahwa Rosullah saw.Bersabda :

ﺇﺫﺍﻭﻁﻰﺀﺃﺤﺩ ﻜﻡ ﺒﻨﻌﻠﻪ ﺍﻷﺫﻯ ﻓﺈﻥﺍﻟﺘﺭﺍﺏ ﻟﻪ ﻁﻬﻭﺭ

“Apabila seorang di antara kamu menginjak kotoran dengan alas kakinya, maka sejatinya debu menjadi pembersih baginya”.{Shahih Abu Dawud no: 834. Aunul Ma’bud II: 47 no: 381}.

Adapun kencing manusia didasarkan pada Hadist Anas :


ﺃﻥﺃﻋﺭﺍ ﺒﻴﺎ ﺒﺎﻝ ﻓﻲﺍﻟﻤﺴﺠﺩ ﻓﻘﺎﻡ ﺇﻟﻴﻪ ﺒﻌﺽﺍﻟﻘﻭﻡ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺴﻭﻝﺍﷲ ﺩﻋﻭﻩﻻ ﺘﺯﺭﻤﻭﻩ ﻗﺎﻝ ﻓﻠﻤﺎ ﻓﺭﻍ ﺩﻋﺎ ﺒﺩﻟﻭﻤﻥ ﻤﺎﺀ ﻓﺼﺒﻪﻋﻟﻴﻪ

“Bahwa seorang Arab Badwi kencing (pojok) dalam masjid, maka berdirilah sebagian, sahabat hendak menghalanginya, lalu Rasullah saw. Bersabda,”Biarkan ia (sampai selesai) dan jangan hentikan ia!” Cerita Anas (selanjutnya) bahwa tatkala ia selesai kencing, Beliau saw. Minta setimba air (kepada sahabat), lalu Beliau tuangkan di atasnya.”{Muttafaqun ‘alaih,Muslim 1:236 no:284 dan lafadz ini lafadz, Fathul Bari X:449 no: 6025}

2. Madzi dan Wadi

Madzi ialah cairan bening, halus lagi lekat yang keluar ketika syahwat begejolak, tidak bersamaan dengan syahwat, tidak muncrat, dan tidak menyebabkan kendornya syahwat orang yang bersnagkutan. Bahkan tidak jarang yang bersangkutan tidak merasa bahwa dirinya telah mengeluarkan madzi, dan ini dialami laki-laki dan perempuan.(Periksa Syahru Muslim oleh Imam Nawawi III: 213).

Air Madzi hukumnya najis, karenanya Nabi saw. Menyuruh mencuci kemaluan yang telah mengeluarkan.

ﻋﻥﻋﻟﻲ ﻗﺎﻝ ﮐﻨﺕ ﺭﺠﻼ ﻤﺫﺍﺀ ﻭﮐﻨﺕ ﺃﺴﺘﺤﻴﻲﺃﻥ ﺃﺴﺄﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻟﻤﻜﺎﻥ ﺍﺒﻨﺘﻪ ﻓﺄﻤﺭﺕ ﺍﻟﻤﻘﺩﺍﺩ ﺒﻥ ﺍﻷﺴﻭﺩ ﻓﺴﺄﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻴﻐﺴﻝ ﺫ ﻜﺭﻩ ﻭﻴﺘﻭﻀﺄ

“Dari Ali bin Abi Thalib ra. Berkata: Aku adalah seorang laki-laki yang sering mengeluarkan madzi, aku merasa malu bertanya (langsung) kepada Nabi saw. Karena aku suami puterinya. Lalu kuperintah Al-Miqdad bin Al-Aswad (menanyakan kepada Beliau), kemudian ia bertanya kepada Beliau, lalu Beliau bersabda,’(hendaklah) ia membersihkan kemaluannya dan (lalu) berwudhu’!”{Muttafaqqun Alaih, Muslim 1:247 no: 303 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari I : 230 no: 132 dengan ringkas}

Adapun yang dimaksud Wadi ialah cairan bening yang agak kental biasa keluar usai air kecil (Fiqhus Sunnah 1:24). Hukum Wadi Najis, beradasarkan riwayat berikut :

ﻋﻥ ﺍﺒﻥﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝﺍﻟﻤﻨﻲ ﻓﻬﻭﺍﻟﺫﻱ ﻤﻨﻪ ﺍﻟﻐﺴﻝ ﻭﺃﻡ ﺍﻟﻭﺩﻯ ﻭﺍﻟﻤﺫﻱ ﻓﻘﺎﻝ ﺇﻏﺴﻝ ﺫ ﻜﺭﻙ ﺃﻭﻤﺫﺍﻜﻴﺭﻙ ﻭﺘﻭﻀﺄ ﻭﻀﻭﺀ ﻙ ﻟﺼﻼﺓ

“Dari Ibnu Abbas ra. Katanya, Mani, wadi, dan mazdi, adapun mani maka harus mandi karena mengeluarkannya. Adapun wadi dan madzi, maka ia berkata, Hendaklah mencuci dzakarmu atau kemaluanmu dicuci dan berwudhu’lah sebagaimana wudhu’mu untuk shalat! “ (Shahih Sunan Abu Dawud no: 190 dan Al-Baihaqi 1: 115)

3. Kotoran Hewan yang Dagingnya Tidak Dimakan

Hal ini sebagaimana yang di jelaskan dalam riwayatkan berikut:

ﻋﻥﻋﺒﺩﺍﷲ ﻗﺎﻝ ﺃﺭﺍﺩ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺃﻥ ﻴﺘﺒﺭﺯﻓﻘﺎﻝ ﺍﺌﺘﻨﻲ ﺒﺜﻼ ﺜﺔ ﺃﺤﺠﺎﺭﻓﻭﺠﺩﺕ ﻟﻪ ﺤﺠﺭﻴﻥ ﻭﺭﻭﺜﺔ ﺤﻤﺭﻓﺄﻤﺴﻙ ﺍﻟﺤﺠﺭﻴﻥ ﻭﻁﺭﺡ ﻟﺭﻭﺜﺔ ﻭﻗﺎﻝﻫﻲ ﺭﺠﺱ

“Dari Abdullah RA. Ia berkata : Nabi saw. Hendak buang air besar, lalu bersabda,’Bawakan untukku tiga buah batu!’ Kemudian kudapati untuk Beliau dua batu dan kotoran keledai. Beliau mengambil dua batu itu dan melemparkan kotoran hewan itu, lalu Beliau saw. Bersabda, ‘Ia kotor lagi keji.” (Shahih Ibnu Majah no: 253. Shahih Ibnu Khuzaimah 1 : 39 no : 70, selain Ibnu Khuzaimah tidak memakai lafadz himar ‘keledai’, Fathul Bari I: 256 no: 156. Nasa’i 1: 39 Tirmidzi 1 : 13 no: 17 dan Ibnu Majah 1: 114 no: 314).


4. Air Liur Anjing

Sebagaimana dijelaskan riwayat berikut ini :

ﻋﻥﺃﺒﻲﻫﺭﻴﺭﺓ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝﺭﺴﻭﻝﷲ ﻁﻬﻭﺭﺇﻨﺎﺀ ﺃﺤﺩﻜﻡ ﺇﺫﺍ ﻭﻟﻎ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻜﻠﺏﺃﻥ ﻴﻐﺴﻟﻪ ﺴﺒﻊ ﻤﺭﺍﺕﺍﻭﻻﻫﻥ ﺒﺎﻠﺘﺭﺍﺏ

“Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasullah saw. Bersabda: Sucinya bejana seorang di antara kamu yang dijilat anjing ialah (hendaklah) mencucinya tujuh kali, yang pertama dicampur dengan debu.” (Shahih Jami’ush Shaghir no: 3933 dan Muslim 1: 234 no. 91 dan 279).

5. Darah haidh

Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Hadist berikut ini :

ﻋﻥﺃﺴﻤﺎﺀ ﺒﻨﺕﺃﺒﻰﺒﻜﺭﻗﺎﻟﺕ ﺠﺎﺀﺕ ﺍﻤﺭﺃﺓ ﺇﻟﻰﺍﻟﻨﺒﻲ ﻓﻘﺎﻟﺕ ﺇﺤﺩﺍﻨﺎ ﻴﺼﻴﺏ ﺜﻭﺒﻬﺎ ﻤﻥﺩﻡﺍﻟﺤﻴﺽ ﻜﻴﻑ ﺘﺼﻨﻊ ﻓﻘﺎﻝ ﺘﺤﺘﻪ ﺜﻡ ﺘﻘﺭﺼﻪ ﺒﺎﻟﻤﺎﺀ ﺜﻡ ﺘﻨﻀﻌﻪ ﺜﻡ ﺘﺼﻟﻰ ﻓﻴﻪ

“Dari Asma’ binti Abu Abu Bakar, ia berkata: telah datang seorang perempuan kepada Nabi saw. Seraya berkata,”(wahai Rasullah), seseoranag diantara kami, pakaiannya terkena haidh, bagaimana ia harus berbuat?”Maka sabda Beliau,”(hendaklah)ia menggosokkan, kemudian mengeriknya dengan air, kemudian membilasnya, lalu (boleh) shalat dengannya.”(Muttafuqqun ‘alaih, Muslim 1: 240 no: 291 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari 1: 410 no: 307)

6. Bangkai

Bangkai ialah binatang yang mati tanpa disembelih secara syar’i. ini di dasarkan pada sabda Nabi sawa.:

ﺇﺫﺍﹸﺫﺒﻎ ﺍﻹﻫﺎﺏ ﻓﻘﺩ ﻁﻬﺭ

“Apabila kulit bangkai disamak maka ia menjadi suci.”(Shahih Jami’ush Shaghir no: 511, Muslim 1: 277 no: 366 dan ‘Aunul Ma’bud XI: 181 no: 4105).

Yang dimaksud kata Al-Ilhab ialah, kulit bangkai yang belum disamak. Kemudian dikecualikan beberapa bangkai yang tidak najis: Bangkai Ikan dan Belalang, Bangkai Darahnya tidak mengalir, Tulang bangkai, serta tanduk, kuku, rambut dan bulunya..Bersambung..

Wallahu'alam

Sumber : Al-Wajiz,Ensiklopedi Piqih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahihah, Penulis : ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalaf, Penerbit Pustaka Assunnah

Peran Niat Dalam Amal 2

Diposting oleh abufawwaz | 09.48 | , | 0 komentar »

Al-Ustadz Abul ‘Abbas Khalid Syamhudi, Lc

Bismillahirrohmanirrohim

Hukum Melafazhkan Niat

Niat tempatnya di hati, bukan diucapkan dengan lisan; dalam semua ibadah, seperti bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak serta berjihad di jalan Allah, dan lainnya. Meskipun yang diucapkan lisan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka yang diperhitungkan ialah yang diniatkan, bukan yang dilafazhkan.Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, sedangkan niat belum sampai ke dalam hatinya, maka hal itu tidak cukup.

Demikian menurut kesepakatan para imam kaum Muslimin, karena sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang pasti. Orang Arab biasa mengatakan: 

ﻨﻭﺍﻙﺍﷲ ﺒﺨﻴﺭ

Artinya : (Allah menunjukkan kepada kamu kebaikan)

Al-Qadhi Abur Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy Syafi’i mengatakan: “Melafazhkan niat di belakang imam bukan perkara sunnah, bahkan hukumnya makruh. Jika mengganggu orang lain, maka hukumnya haram. Barangsiapa yang mengatakan bahwa melafazhkan niat termasuk sunnah, maka dia salah; dan tidak halal bagi siapapun berkata dalam agama Allah tanpa ilmu.” (Al Qaulul Mubin Fi Akhtha’il Mushallin, hlm. 91). 

Abu Abdillah Muhammad bin Qasim At Tunisi Al Maliki mengatakan: “Niat termasuk amal hati, dan melafazhkan niat adalah bid’ah. Disamping itu, juga mengganggu orang lain.” (Ibid, hlm. 91). 

Talafuzh (melafazhkan) niat tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika berwudhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membaca “nawaitu raf al hadatsil ashghar”, dan tidak juga membaca “nawaitu raf al hadatsil akbar” ketika mandi janabah (junub). 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak melafazhkan niat “nawaitu fardha Dhuhri arba’a raka’atin mustaqbilal qiblati”, …ketika mulai shalat atau ketika mulai puasa dan lainnya. 

Melafazhkan niat tidak pernah diriwayatkan oleh seorangpun,baik dengan riwayat yang shahih, dhaif, maupun mursal. Tidak seorangpun sahabat yang meriwayatkan, dan tidak ada seorang tabi’in pun yang menganggap baik masalah ini, dan tidak pula dilakukan oleh empat Imam Madzhab yang mashur, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan talafuzh niat, meski hanya satu kali dalam shalatnya, dan tidak pula dilakukan oleh para khalifahnya. Ini adalah petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para sahabat. Tidak ada petunjuk yang lebih sempurna, melainkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya:

ﻭﺨﻴﺭﺍﻟﻬﺩ ﻱ ﻫﺩﻱ ﻤﺤﻤﺩ

Artinya : “Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”. 

Imam Jalaluddin As Suyuti (wafat th. 921 H) berkata: “Di antara perkara yang termasuk bid’ah ialah, was-was dalam niat shalat. Hal ini tidak pernah dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak juga para sahabatnya. Mereka tidak pernah mengucapkan sesuatu bersama niat shalat (nawaitu ushalli, … ), selain hanya takbiratul ihram saja. Allah berfirman: 

ﻟﻘﺩ ﻜﺎﻥ ﻟﻜﻡ ﻓﻲ ﺭﺴﻭﻝﷲ ﺃﺴﻭﺓ ﺤﺴﻨﺔ ﻟﻤﻥ ﻜﺎﻥ ﻴﺭﺠﻭﺍﷲﻭﺍﻟﻴﻭﻡ ﻷﺨﺭﻭﺫﻜﺭﺍﷲ ﻜﺜﻴﺭﺍ

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahdzab : 21) 

Imam Syafi’i mengatakan, orang yang was-was dalam niat shalat dan bersuci, adalah orang yang bodoh tentang syari’at dan rusak pikirannya. (Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘Anil Ibtida’, oleh Imam Jalaludin As Suyuthi, hlm. 295-296, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman). 

Sebab kekeliruan orang-orang yang mengikuti madzhab Syafi’I ialah, karena kesalahfahaman dalam memahami perkataan Imam Asy Sayafi’i. Imam Syafi’i mengatakan: “Apabila seseorang niat haji dan umrah sudah cukup, meskipun tidak dilafazhkan. (Ini) berbeda dengan shalat, karena shalat itu tidak sah melainkan dengan ucapan.” 

Imam Nawawi mengatakan: “Telah berkata para sahabat kami (ulama dari madzhab Syafi’i), orang yang memahami bahwa ucapan itu (ushalli,…) adalah keliru. Karena yang dimaksud Imam Asy Syafi’i bukan demikian. Akan tetapi, yang dimaksud beliau rahimahullah adalah ucapan mulai shalat, yaitu takbiratul ihram.” 

Dengan demikian, para ulama memfatwakan, bahwa melafazhkan niat adalah bid’ah dan munkar, dan jauh dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 
Niat yang Ikhlas Merupakan Dasar Diterimanya Amal

Keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan, nafsu, dan keduniaan. Niat itu harus ikhlas karena Allah dalam setiap amal, agar amal itu diterima di sisi Allah. Setiap amal shalih mempunyai dua syarat, yang tidak akanditerima kecuali dengan keduanya, yaitu: 

Pertama : Niat yang ikhlas dan benar.

Kedua : Sesuai dengan Sunnah, mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan syarat pertama, kebenaran batin akan terwujud. Dan dengan syarat kedua, kebenaran lahir akan terwujud. 

Tentang syarat pertama telah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung pada niatnya.” Inilah yang menjadi timbangan batin. 

Sedangkan syarat kedua disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ﻤﻥ ﻋﻤﻝ ﻋﻤﻶ ﻟﻴﺱ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻤﺭﻨﺎ ﻓﻬﻭﺭﺩ

Artinya : “Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu Majah no. 14 dari hadits Aisyah)
Allah telah menyebutkan dua syarat ini dalam beberapa ayat, di antaranya:

ﻭﻤﻥﺃﺤﺴﻥ ﺩ ﻴﻨﺎ ﻤﻤﻥ ﺃﺴﻠﻡ ﻭﺠﻬﻪ ﺍﷲ ﻭﻫﻭﻤﺤﺴﻥ ﻭﺍﺘﺒﻊ ﻤﻠﺔ ﺇﺒﺭﺍﻫﻴﻡ ﺤﻨﻴﻔﺎ ﻭﺘﺨﺫﺍﷲ ﺍﺒﺭﺍﻫﻴﻡ ﺨﻠﻴﻸ

Artinya : “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus”. (QS An Nisa`: 125) 

Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya, mengikhlaskan amal kepada Allah, mengamalkan dengan iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah. Sedangkan berbuat baik artinya, dalam beramal mengikuti apa yang disyariatkan Allah, dan apa yang dibawa oleh Rasul-Nya berupa petunjuk dan agama yang haq. 

Dua syarat ini, bila salah satunya tidak terpenuhi, maka amal ini tidak sah. Jadi harus ikhlas dan benar. Ikhlas karena Allah, dan benar mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lahirnya ittiba’, dan batinnya ikhlas. Bila salah satu syarat ini hilang, maka amal itu akan rusak. Bila hilang keikhlasan, maka orang itu akan jadi munafik dan riya’ kepada manusia. Sedangkan bila hilang ittiba’, artinya tidak mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang itu sesat dan bodoh (jahil). (Tafsir Ibnu Katsir, I/616, Cet. Darus Salam). 

Dari uraian di atas, jelaslah, betapa pentingnya peran niat dalam amal. Niat itu harus ikhlas. Dan ikhlas semata tidak cukup menjamin diterimanya amal, selagi tidak sesuai dengan ketetapan syariat dan dibenarkan Sunnah. Sebagaiman amal yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat, tidak akan diterima, selagi tidak disertai dengan ikhlas; sama sekali tidak ada bobotnya dalam timbangan amal.


Faedah dan Pelajaran dari Hadits Ini

  1. Niat termasuk iman, karena termasuk amalan hati.
  2. Wajib bagi setiap muslim mengetahui hukum dan kedudukan amal yang tidak dilakukan, disyariatkan atau tidak, wajib atau sunnah; karena amal tidak bisa lepas dari niat yang disyariatkan.
  3. Disyariatkan niat secara sadar dalam amal-amal ketaatan.
  4. Amal tergantung dari niat, tentang sah atau tidaknya, sempurna dan kurangnya. Taat dan maksiat.
  5. Niat tempatnya di hati, bukan di lisan.
  6. Melafazhkan niat adalah bid’ah.
  7. Amal harus sesuai dengan Sunnah, karena ia termasuk syarat diterimanya amal.
  8.  Niat yang baik tidak bisa membuat yang haram menjadi halal, yang munkar menjadi ma’ruf, atau yang bid’ah menjadi sunnah.
  9. Baiknya tujuan, tidak bisa menghalalkan segala cara.
  10. Wajib berhati-hati dari riya’, sum’ah (memperdengarkan pada orang lain), atau beramal karena dunia, karena akan menghapuskan amalan yang baik.
  11. Manusia senantiasa digoda setan sehingga dapat merusak keikhlasan amalnya.
  12. Wajib bagi setiap muslim dan muslimah memperhatikan perbaikan hati.
  13. Ganjaran pahala yang diberikan Allah atas amal-amal hambaNya tergantung kepada niatnya.
  14. Hijrah dari negeri syirik atau kafir ke negeri Islam merupakan ibadah yang utama, bila diniatkan karena mencari wajah Allah. Dan bagi yang tidak dapat melaksanakan ibadah karena Allah, ia wajib hijrah.
  15. Keutamaan hijrah kepada Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  16. Hijrah tetap berlaku selama diperangi musuh- musuh Islam.
  17. Adapun hadits: … ﻻﻫﺠﺭﺓ ﺒﻌﺩﺍﻟﻔﺘﺡ…
  18. Tidak ada hijrah sesudah Fathu Makkah. (HR. Bukhari no. 2783 dan Muslim no. 1864), maksudnya ialah, hijrah dari Makkah ke Madinah, karena Makkah menjadi Darul Islam (Negeri Islam).

Wallahu'alam

Maraji’:

1. Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Darus Salam.
2. Shahih Bukhari, dan syarah-nya Fathul Bari, Cet. Darul Fikr.
3. Shahih Muslim, dan Syarah Muslim Lil Imam An Nawawi.
4. Sunan Abu Daud.
5. Jami’ At Tirmidzi dan Tuhfathul Ahwadzi Syarah Sunan At Tirmidzi.
6. Sunan An Nasa-i.
7. Sunan Ibnu Majah.
8. Musnad Ahmad.
9. Al Muntaqa, Ibnul Jarud.
10. Sunan Baihaqi.
11. Shahih Ibnu Khuzaimah.
12. At Ta’liqatul Hisan ‘Ala Shahih Ibni Hibban.
13. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hanbali, tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Cet. Mu’assassah Ar Risalah, Th. 1419H.
14. ‘Iqazhul Himam Al Muntaqa Min Jami’il ‘Ulum Wal Hikam, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
15. Syarah Arba’in, oleh Imam Nawawi.
16. Syarah Arba’in, oleh Ibnu Daqiqil ‘Id.
17. I’lamul Muwaqqi’in, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
18. Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
19. Maqashidul Mukallifin, An Niyyat Fil ‘Ibadat, oleh Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar, Cet. Darun Nafa-is, Th. 1415 H.
20. Qawa-id Wa Fawa-id minal Arba’in An Nawawiyah, oleh Nadhim Muhammad Sulthan.
21. Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
22. Nailul Authar, oleh Imam Asy Syaukani.
23. Al Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin, oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.
24. Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘Anil Ibtida`, oleh Imam As Suyuthi, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.
25. Ilmu Ushulil Bida`, oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
26. Lisanul ‘Arab Libni Manzhur, 14/343, Cet. Daar Ihya At Turats Al ‘Arabi.
27. Mu’jamul Wasith, dan kitab lainnya.


UST. ABDUL HAKIM BIN AMIR ABDAT

Bismillahirrohmanirrohim

Sebuah pertanyaan yang sangat mendasar sekali yang ditanyakan kaum muslimin kepada para Ulama dan Imam mereka Ahlussunnah Wal Jama’ah yang berjalan di atas Manhaj Salafus Shalih. Mereka bertanya tentang sebuah gerakan dari firqah yang sesat dan menyesatkan yang muncul pertama kalinya dari India kemudian berkembang dan mempunyai pengikut yang cukup banyak dari orang-orang awam kaum muslimin yang tersebar luas di belahan bumi ini.

Firqah ini telah menyimpang jauh sekali dari ajaran Islam yang shahih yang berasarkan Al-qur’an dan As-Sunnah yang shahihah menurut pemahaman para Shahabat, Tabi’in dan taabi’ut Taabi’in. penyimpangan mereka meliputi Aqidah, Ibadah, Adab dan Akhlak dan lain-lain. Sedangkan inti dari penyimpangan mereka ialah bahwa mereka telah menyelisihi dan menyalahi apa yang diyakini dan amalkan dan dida’wahkan oleh Rasullah saw. Bersama para shahabat beliau.

Jama’ah Tabligh berjalan diatas manhaj ahli bid’ah maturidiyyah dan suffiyah dengan berbagai macam tarekatnya yang telah dipenuhi oleh berbagai macam kesyirikan, bid’ah, khurafat dan kepura-puraan bersama kebencian yang dalam terhadap Ulama dan Imam Ahlussunnah Wal jama’ah.

JAMA’AH TABLIGH

Jama’ah Tabligh termasuk Ahlul Bid’ah dan firqah sesat yang menyesatkan dari firqah-firqah shufiyyah. Firqah tabligh ini terbit dari India yang didirikan oleh seorang shufi tulen bernama Muhammad Ilyas. Kemudian firqah sesat ini mulai mengembangkan ajarannya dan masuk ke negeri-negeri Islam seperti Indonesia dan Malaysia dan lain-lain. 

Jama’ah Tabligh ini di bina atas dasar kejahilan diatas kejahilan yang dalam dan merata yang diawali oleh pendirinya, pengganti-penggantinya, amir-amirnya, tokoh-tokohnya, syaikh-syaikhnya, murid-muridnya, istimewa pengikut-pengikutnya dari orang-orang awam. Kejahilan mereka terhadap Islam, mereka hanya melihat Islam dari satu bagian dan tidak secara keseluruhan sebagaimana yang Allah perintahkan,”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam (ajaran) Islam secara kaffah (keseluruhan).”{QS.Al-Baqarah : 208}

Kerusakan Aqidah mereka yang dipenuhi dengan kesyirikan yang berdiri diatas Manhaj Sufiyyah.Ibadah mereka yang dipenuhi dengan bid’ah yang sangat jauh dari Sunnah. Akhlak dan adab mereka yang dibuat-buat angat jauh dari akhlak Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat. Mereka sangat fakir dan miskin dari ilmu karena mereka sangat menjauhi ilmu. Kebencian dan kedengkian mereka yang sangat dalam kepada imam-imam Ahlus sunnah Wal jama’ah seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahab dan lain-lain. 

Bahkan salah seorang amir dari Jama’ah Tabligh ini pernah berkata dengan sangat marah sekali,” Kalau seandainya aku mempunyai kekuatan sedikit saja, pasti akan aku bakar kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim dan Ibnu Abdul Wahab. Dan aku tidak akan tinggalkan sedikitpun juga dari kitab-kitab mereka yang ada di permukaan bumi ini,” (Dari Kitab Al Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’atit Tabligh hal. 44-45 oleh Syaikh Hamud bin Abdullah bin Hamud At-Tuwaijiriy). Alangkah besarnya kebencian dan permusuhan mereka terhadap pembela-pembela sunnah.

BID’AH-BID’AH JAMA’AH TABLIGH

Diantara bid’ah-bid’ah Jama’ah Tabligh ialah “ Ushul Sittah” (dasar yang enam) yaitu :

Pertama : Kalimat Thayyibah

Yaitu dua kalimat syahadat, yang mereka maksud hanya terbatas pada Tauhid Rububiyyah yaitu mengesahkan Allah di dalam penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, pengaturan-Nya dan lain-lain yang masuk ke dalam Tauhid Rububiyyah.

Tauhid inilah yang mereka amalkan dan menjadi dasar didalam dakwah mereka. Adapun Tauhid Uluhiyyah atau Tauhid Ubudiyyah (mngesahkan Allah didalam beribadah kepada-Nya) dan Tauhid Asma Wa Sifat (mengesakan Allah didalam nama dan sifatnya tanpa ta’wil) tidak ada pada mereka baik secara ilmu maupun amal dan dakwah. Oleh karena itu mereka membatasi berhala, istimewa pada zaman ini, hanya lima macam berhala yaitu :

 Berusaha mencari rizki dengan menjalani sebab-sebabnya seperti berdagang atau membuka took dan lain-lain dari jalan yang halal.

 Inilah yang dikatakan berhala oleh Jama’ah Tabligh, karena dia akan melalaikan manusia dari kewajiban agama kecuali kalau mereka Khuruj (keluar dijalan Allah Menurut istilah Firqah Tabligh) bersama Jama’ah Tabligh!?

 Berhala yang kedua yaitu : Keluarga dan Teman

 Karena mereka ini pun melalaikan manusia dari menegakkan kewajiban kecuali kalau mereka Khuruh bersama Jama’ah Tabligh.

 Berhala yang ketiga yaitu : Nafsu Ummarah Bissu’u (nafsu yang memerintahkan berbuat kejahatan.

 Karena menurut mereka nafsu ummaarah ini menghalangi manusia dari berbuat kebaikan dan dari jalan Allah seperti Khuruj bersama Jama’ah Tabligh.

 Berhala yang keempat yaitu Hawa Nafsu

 Karena menurut Jama’ah Tabligh hawa nafsu ini akan menghalangi manusia dari kebaikan seperti Khuruj bersama mereka.

 Berhala yang kelima yaitu : Syaithan.

 Yang terakhir ini menurut Jama’ah TAbligh sangat besar menghalangi manusia dari kebaikan seperti Khuruj bersama Jama’ah Tabligh.

Kedua : Shalat Lima Waktu, shalat jum’at, shalat jama’ah di masjid, shalat yang khusu’, Shalat pada shaf yang pertama, memperbanyak shalat-shalat sunnat dan lain-lain.

Yang pada hakikatnya amal-amal di atas diwajibkan dan sangat disukai di dalam. Akan tetapi Jama’ah Tabligh telah melalaikan beberapa kewajiban untuk menegakkan amal-amal di atas di antaranya :

1. Ilmu

Mereka beramal dengan kebodohan tanpa ilmu kecuali Ilmu Fadhaa-il Amal (Keutamaan-utamaan amal)

2. Mengikuti Sunnah

Mereka meninggalkan mengikuti Sunnah Nabi saw. Dengan berpegang kepada bid’ah, taqlid dan ta’ashushub madzhabiyyah.

3. Melalaikan mempelajari rukun-rukun, kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum dari amal-amal diatas.

Oleh karena itu kita lihat mereka tidak mengerti cara shalat Rasullah saw. Adapun masjid, maka mereka mengajak ke masjid-masjid tempat mereka berkumpul.

Ketiga: Ilmu

Yang mereka maksudkan dengan ilmu ialah :

1. Ilmu Fadhaa-il

Ilmu tentang mempelajari keutamaan-keutamaan amal menurut mereka. Adapun ilmu tauhid dan ahkaam (hukum-hukum) dan masalah fiqhiyyah (fiqih) dan ilmu berdasarkan dalil-dalil Al-Kitab dan Sunnah, mereka sangat jauh sekali dan melarangnya bahkan memeranginya.

2. Ilmu tentang rukun iman dan islam

Akan tetapi mereka memelajarinya atas dasar tarekat-tarekat shufiyyah, khurafat-khurafat, hikayat-hikayat yang batil dan ta’ashub madzhabiyyah.

Keempat : Memuliakan atau menghormati kaum muslimin.

Menurut Jama’ah Tabligh setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, maka wajib bagi kita memuliakan dan menghormatinya meskipun orang tersebut telah mengerjakan sebesar-besar dosa besar seperti Syirik. Menurut mereka : Kami tidak membenci pelaku maksiat akan tetapi yang kami benci adalah maksiatnya.

Di dalam dasar yang keempat ini mereka sangat berlebihan menghormati atau memuliakan kaum muslimin dengan meninggalkan nahi mungkar dan nasehat dan dengan cara yang dibuat-buat. 

Kelima : Mengikhlaskan Niat

Mengikhlaskan niat agar supaya jauh dari riya’ dan sum’ah (memperdengarkan amal kebaikan). Akan tetapi mereka meninggalkan Sunnah dan mengikuti cara-cara ikhlas di dalam tashawwuf.

Keenam : Khuruj

Menurut Jama’ah Tabligh makna Khuruj keluar di jalan Allah berda’wah yang merupakan jihad yang paling besar. Mereka membatasi dakwah hanya dengan Khuruj berjama’ah bersama mereka selama tiga hari dan seterusnya. Khuruj ini mempunyai kedudukan dan keutamaan yang besar di dalam bid’ah mereka melebihi shalat, sedekah, puasa dan haji dan lain-lain.

Aqidah dan amalan khuruj ini berasal dari mimpinya pendiri Jama’ah Tabligh yaitu Muhammad Ilyas. Dia bermimpi menafsirkan Al-qur’an surat Al-Imran ayat 110 :
 
ﻜﻨﺘﻡﺨﻴﺭﺃﻤﺔ ﺃﺨﺭﺠﺕ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﺘﺄﻤﺭﻭﻥ ﺒﺎﻟﻤﻌﺭﻭﻑ ﻭﺘﻨﻬﻭﻥﻋﻥﺍﻟﻤﻨﻜﺭﻭﺘﺅﻤﻨﻭﻥ ﺒﺎﷲ

“ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah {QS. Al-Imran : 110}

Berkata Muhammad Ilyas di dalam mimpinya itu ada yang mengatakan kepadanya tentang ayat diatas : “Sesungguhnya engkau (diperintah) untuk keluar kepada manusia seperti para Nabi”.

Tidak syak lagi bagi ahli ilmu bahwa tafsir Muhammad Ilyas atas jalan mimpi mengikuti cara-cara shufiyyah adalah tafsir yang sangat bathil dan rusak. Tafsir syaithaniyyah yang mewahyukan kepada Muhammad Ilyas yang akibatnya timbul bid’ah Khuruj yang menyelisihi manhaj para shahabat. Terang-terangan atau tersembunyi tafsir Muhammad Ilyas ini menunjukkan bahwa dia mendapat wahyu dan diperintah oleh Allah seperti perintah Allah kepada NAbi dan rasul. Yang pada hakikatnya syaithanlah yang mewahyukan kepada dia dan kaum shufi yang lainnya demi membuat bid’ah besar.

Bid’ahnya Jama’ah Tabligh adalah mereka bermanhaj dengan manhaj shufi di dalam aqidah, dakwah, ibadah, akhlak dab adab dan lain-lain. Baik perorangnya, amir-amirnya dan guru-gurunya.

Bid’ahnya Jama’ah Tabligh, amir dan sebagian guru –guru mereka dibai’at atas empat : Naqsabandiyah, Qaadariyyah, Jistiyyah, dan Sahruwriyyah. Demikianlah amir tertinggi mereka membai’at pengikutnya atas dasar empat tarekat diatas. Mereka sangat berpegang dan memuliakan kitab mereka Tablighi Nishaab {kitab ini juga dinamakan dengan Kitab Fadhaa-il A’mal}, oleh Muhammad Zakaria Kandahlawiy secara manhaj maupun da’wah. Kitab Tablighi ini dipenuhi dengan berbagai macam bid’ah, syirik, tashawwuf, khurafat, hadist-hadist dha’if dan maudhu’. Di antara bid’ah syirkiyyat yang terdapat dalam kitab ini ialah memohon syafa’at kepada Nabi Muhammad saw. Dan beliau belum pernah mengeluarkan tangannya dari kubur beliau untuk menyalami Ahmad Ar-Rifaa’I (ketua shufi dari tarekat Ar-rifaa’iyyah).

Demikian juga dengan Kitab Hayaatush Shahabah oleh Muhammad Yusuf Kandahlawiy, kitab inipun dipenuhi dengan khurafat-khurafat dan cerita-cerita bohong serta hadist-hadist dha’if dan maudhu’. Kedua kitab diatas yang sangat diagungkan dan dimuliakan oleh Jama’ah Tabligh adalah masuk ke dalam kitab-kitab bid’ah dan syirik serta sesat.

Bid’ahnya Jama’ah Tabligh, bahwa mereka telah membatasi Islam pada sebagian ibadah. Yang sebagian ini pun mereka penuhi dan mencampur adukkan dengan berbagai macam bid’ah dan syirkiyyat. Mereka berpaling dari syari’at-syari’at Islam yang lain seperti tauhid, hukum dan jihad dan lain-lain. Mereka meninggalkan ilmu dan ahli ilmu. Mereka memperingati pengikut-pengikut merka dari menunutut ilmu dan duduk di majlis para Ulama kecuali orang yang mendukung mereka. Dengan demikian meratalah dan tersebarlah kejahilan yang dalam di antara mereka dan hilangnya ilmu dari mereka. Oleh karena itu menjadi timbangan mereka di dalam memutuskan segala urusan ialah dengan jalan Istihsan (menganggap bai sesuatu perbuatan tanpa dalil), perasaan, mimpi-mimpi dan karamah-karamah (yang pada hakikatnya wahyu dan bantuan dari syaithan).

Diantara bid’ah besar Jama’ah Tabligh ialah bahwa mereka selalu berdalil dengan hadist-hadist dha’if, sangat dha’if, maudhu’/palsu dan hadist-hadist yang tidak ada asal-usulnya sama sekali (Laa Ashlaa Lahu). Dan diantara Bid’ah Jamaah Tabligh ialah bahwa mereka telah membuat keomok (firqah) yang menyendiri dan memisahkan diri dari kaum muslimin. Mereka tidak mengajak kaum muslimin kecuali kepada firqah-nya baik secara manhaj, ilmu dan da’wah. Adanya imam tertinggi dan amir-amir dan bai’at yang ditegakkan di dalam firqah tabligh ini. Mereka mengajak kaum muslimin ke masjid-masjid dan markas-markas mereka untuk ijtima’ (berkumpul) umumnya sepekan sekali. 

Diantara bid’ah besar Jama’ah Tabligh ialah berkumpulnya ratusan ribu jama’ah di Bangladesh pada setiap tahunnya. Di dalam ijtima’ bid’iyyah ini keluarlah berbagai macam bid’ah I’tiqad dan amaliyyah yang begitu banyak dikerjakan oleh Jama’ah Tabligh. Sehingga sebagian dari mereka mengatakan berkumpulnya mereka di Dakka ibukota Bangladesh pada setiap tahunnya lebih utama dari berkumpulnya Jama’ah haji di Makkah. Mereka menyakini bahwa berdo’a pada akhir ijtima’ di atas mustajab. mereka menyakini bahwa akad nikah pada hari itu diberkati. Oleh karena itu sebagian dari mereka mengundurkan akad nikahnya sampai hari ijtima’ tahunan di Bangladesh untuk memperoleh berkahnya.

Wallahu'alam

Sumber : Sudahkah Anda Mengenal Jama’ah Tabligh ?, Penulis : Ust. Abdul Hakim Bin Amir Abdat. Penerbit, Darul Qolam Jakarta

Ustadz Abu Minhal

Bismillahirrohmannirrohim

Termasuk bagian ideology tarekat sufi, komitmen mereka dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang telah diciptakan dan ditetapkan oleh para pemimpin mereka. Selanjutnya para jama’ah golongan ini terikat untuk membaca dan mengamalkan ketentuan internal tersebut yang sayangnya tidak pernah dibawah oleh Rasullah shalallahu’alaihi wasallam.

DZIKIR PALING AFDHAL MENURUT GOLONGAN SUFI

Dalam kamus ajaran Sufi, terdapat pengklasifikasian dzikir menjadi tiga jenis: Dzikir ‘Ammah (Dzikir Orang Umum), Dzikir Khash (Dzikir Orang Khusus), Dzikir Khashssatil Khashshah (Dzikir orang-orang paling utama). Anehnya dzikir yang diajarkan oleh Rasullah shalallahu’alaihi wasallam. Justru mereka kategorikan dalam jenis dzikir pertama (dzikir ‘ammah) yang merupakan tingkatan dzikir paling rendah dalam pandangan mereka. Dzikir yang dimaksud ialah ucapan Laa Ilaahaillah. Level Dzikir kedua, berdzikir dengan isim mufrad (nama tunggal) yaitu dengan mengulang-ulang Lafzhul Jalaalah (Allah, Allah..)1. Sedangkan tingkat tertinggi dalam berdzikir menurut mereka, mengulang-ulang kata huwa (dibaca hu..hu..hu) yang merupakan isim dhamir (kata ganti ketiga tunggal) dari lafzhul jalalah (Allah) yang artinya Dia.2

Demikianlah tiga tingkatan dzikir yang mereka miliki beserta contoh-contohnya. Sebelum menilik betapa jauh mereka dari pertunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada baiknya menengok landasan mereka dalam masalah ini guna mengetahui awal kesalahan mereka dalam masalah ini.

DALIH KAUM SUFI UNTUK MEMBENARKAN MODEL DZIKIR TERSEBUT

Semua golongan menyimpang mempunyai dalih yang mereka klaim membenarkan apa yang mereka yakini. Dalih merka dapat berujud hadist palsu, pemaksaan ayat maupun hadist shahih. Inilah yang menjadi permasalahan sebenarnya. Dalil-dalil yang shahih mutawatir ditarik-tarik untuk mendukung dan mengakomodasi apa yng telah menjadi ketentuan sebuah golongan. Mereka mensahkan dan menetapkan dzikir dengan kata Allah lebih afdhal dengan dasar firman Allah swt :
 
ﻗﻝ ﺍﷲ ﺜﻡ ﺫ ﺭﻫﻡ ﻓﻰ ﺨﻭﻀﻬﻡ ﻴﻠﻌﺒﻭﻥ

Artinya : Katakanlah “Allah-lah (yang menurunkannya)”,kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-quran kepada mereka), biarkanlah merekabermain-main dalam kesesatannya..(QS Al-an’am/6:91)

Mereka berpegangan pada ayat tersebut dimana Allah swt memerintahkan untuk mengatakanAllah (saja) dalam berdzikir. Sesungguhnya Allah swt memerintahkan berdzikir untuk menyebut namanya dengan nama Allah(saja), tanpa mentagyid dengan perintah lain melebihi lafaz ini. Sebab dzikir ini merupakandzikir orang-orang khusus dari kalangan hamba-Nya yang menjadi lantarandunia tetap terpelihara (Adh-Dhiya Al-Mustabin, Muhammad Fadhil Al-Habib hlm.155)3

Selain itu, menurut mereka terdapat riwayat bahwa Nabi sallahu’alaihi wassallam mentalqin Ali bin Abi Thalib ra. Untuk mengatakan,”Allah,Allah,Allah”, NAbi Sallahu’alaihi Wassalam mengulangi tiga kali. Kemudian memerintahkan Ali untuk melakukannnya, Ali Ra. Pun mengulang-ulang tiga kali. 

ULAMA AHLU SUNNAH MENJAWAB

Ulama Ahlu sunnah telah menguliti model dzikir yang dianggap terbaik dari yang ada ini. Alasan yang utama, Rasullah Muhammad sallahua’laihi wassalam sebagian insane yang paling berwenangmenjelaskansyariat dari Allah swt. Tidak pernah sama sekali menetapkan dzikir model demikian, apalagisampai menyebutnya dengan predikat dzikir paling utama?!. Dan kenyataannya tidak ada satu dalilpun pada dalil-dalil syar’I yang menunjukkan anjuran tentang itu. Dan lagi, juga tidak ada atsar dari salah seorang Salful Ummah.4

Syaihul Islam Rahimahullah telah membeberkan kelemahan dzikir tersebut dengan keterangan yang sangat panjang lebar dan menarik. Diantaranya beliau menegaskan,”Barang siapamenyangka bahwa ini (dzikir dengan membaca laa ilaa ha illallah) adalah dzikir “amah (dzikirorang-orang umum/awam) dan (berkeyakinan) dzikir khash adalah dengan menyebut –nyebut ismul mufrad (menyebut dengan lafadz Allah, Allah, Allah..) dan dzikir khashssatil khassah adalah dengan mengulang-ulang kata huwa (kata ganti ketiga untuk Allah yang artinya Dia),ia adalah orang sesat dan terjerumus dalam kesalahan”.

Dzikir tersebut ditinjau dari sisi tata bahasa Arab saja sudah salah, karena bukan merupakan jumlah mufidah 5. Penyebutan satu isim mufrad (nama sesuatu) saja , baik dengan penyebutan nama itu atau menggunakan kata gantinya (dia, ia) bukanlah kalimat sempurna juga bukan Jumlah Mufidah. Ketika orang mengulang-ulang nama Allah, Allah, Allah, sekian banyak kali, pengulangan ini tidak mendatangkan sebuah pemahaman apapun. Disamping itu , satu nama yang diucap berulang-ulang tidak berpengauh pada keimanan , kekufuran dan hidayah, karena belum tuntas memberikan keterangan apapun.

Oleh karena itu , ahli bahasa dari seluruh jenis bahasa yang ada sepakat bahwa tidak tepat orang mengucapkan satu nama dan setelah itu berhenti dan diam. Sebab, nama yang ia sebutkan itu tidak lazim disebut perkataan yang sempurna. Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, “seandainya seorang mengulang-ulang nama Allah sejuta kali , itu tidak membuatnya beriman , juga tidak berhak memperoleh pahala dari Allah dan surga-Nya..”6

Adapun Istidlal mereka dengan ayat untuk menguatkan pendapat mereka , dikatakan oleh syaikhul Islam Rahimahullah sebagai keslahan yang tampak jelas. Sementara Syaikh Al-Fauzan Hafizhahullah dalam Haqiqatul Tashawwuf menilainya sebagai bentuk istidlal (pengambilan dalil) yang termasuk Tahriifil Kalim (penyimpangan perkataan/dalil) dari tempat semestinya. Seandainya mereka merenungi lebih jauh Firman Allah swt. Sebelumnya akan jelas maksudnya. Ayat mereka jadikan pegangan merupakan jawaban permulaan ayat. Sebab di awal ayat surah Al-anam ayat 91 berfirman artinya:

“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan semestinya dikala mereka berkata :”Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia “. Katakanlah :”Siapakah yang menurunkan Kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai berai, kamu perlihatkan (sebaginya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya)”.

Jadi maksudnya katakanlah Allah lah yang menurunkan kitab yang dibawa oleh Musa. Dengan ini, maka istidlal mereka dengan ayat menjadi gugur. Sementara hadist yang mereka sampaikan berderajat maudhu’ (palsu) berdasarkan kesepakatan ulama, sebagaimana dikatakan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam fatawanya. Dengan ini , berarti dzikir dengan isim mufrad atau isim dhamir tidak memiliki dasar sama sekali dalam syariat Islam.

DZIKIR PALING AFDHAL DALAM HADIST RASULLAH MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk NAbi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dalam urusan dzikir, beliau telah menyampaikan dzikir-dzikir terbaik yang sangat jelas muatan Tauhidnya. Bahkan dalam beberapa riwayat hadist, beliau sendiri yang menyatakan dzikir-dzikir tertentu merupakan dzikir paling utama dan afdhal. Diantaranya, NAbi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :

أ ﻓﻀﻝ ﺍﻠﺫﻜﺭﻻ ﺇﻟﻪﺇﻻ ﺍﷲ ﻭأﻓﻀﻝ ﺍﻠﺩﻋﺎﺀ ﺃﻠﺤﻤﺩﺍﷲ

“Sebaik-baik dzikir adalah (membaca) La ilaha illallah. Dan sebaik-baik doa yaitu Alhamdulillah (HR. Bukhari No. 99).

Inilah dzikir terbaik yang diucapkan seorang Muslim. Ini juga yang beliau minta kepada pamannya, Abu Thalib untuk mengatakannya dalam sakit yang membawanya kepada kematian. Terdiri dari kalimat yang ringan, namun maknanya sangat agung dan kedudukannya sangat tinggi.

La Ilaha Illallah sudah merupakan kalimat sempurna, bila dikatakan maka tidak menyisakan tanda Tanya pada pendengar. Masih banyak contoh dzikir dari Nabi yang penuh dengan keutamaan dan seluruhnya merupakan bentuk kalimat sempurna. Tidak seperti dzikir Sufi diatas, masih menyisakan kebingungan bagi orang-orang yang mendengarnya. Coba anda bayangkan, bila anda menyaksikan seseorang menyebut-nyebut suatu nama misalnya Ahmad dengan berulang-ulang, apa yang anda simpulkan dari drinya ?. atau bila ia menyebut kata dia, dia, dia, seratus kali, apa pendapat anda tentang orang tersebut ??.

PENUTUP

Sungguh model dzikir yang mereka tekuni yang tidak ada asalnya dalam syari’at dengan meninggalkan petunjuk NAbi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan dzikir-dzikir yang syar’i menimbulkan pertanyaan mengenai motivasi sebenarnya yang mendorong mereka berbuat demikian ?. Kenapa mereka berdzikir dengan wirid yang tidak pernah diturunkan oleh Allah Azza Wa Jalla, mereka meski demikian mereka sangat mengagungkan dan komitmen dengan-Nya, bahkan mengecilkan arti dzikir yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam ?. Semoga Allah Azza Wa Jalla memberikan petunjuk kepada kita sekalian untuk memahami dan mengamalkan petunjuk Nabi Muhammad dalam setiap segi kehidupan.

Wallahu’alam

Sumber : Majalah Assunnah Edisi 12/THN.XIII/Rabiul awwal 1431H/Maret 2010M

Keterangan :

1Atau mengulang-ulang nama Allah Azza Wa Jalla yanglain

2Syaikh Abdur Razzaq Al-‘Abbad yang menyampaikan bahwa sebagian mereka (kaum sufi) mengatakan La Ilaaha Illallah adalah dzikir bagi kaum Mukminin. Sedangkan dzikir Allah, Allah, bagi kaum ‘Arifin. Dan terakhir, dengan isim dhamir huwa bagi kaum muhaqqiqin.(Fathul Ad’iyah wal Adzkar 1/196)

3Nukilan dari Kitab Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani wa Arauhul I’tiqadiyyah was Shufiyyah, DR. Said Bin Musfir Al-Qahtani Cet. 1 Th.1418/1997 hlm.665

4Lihat Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar 1/197-198

5Kalimat paling sederhana yang dapat memberikan berita yang dapat dipahami tanpa menyisakan tanda Tanya pada pendengar. 

6Perkataan Ibnu Taimiyyah Rahimahullah terdapat dal Fatawa 10/556-565