Ustadz Abdul-Hakim bin Amir Abdat

Bismillhirrohmanirrohim

Urgensi Sanad

Syaikhul-Islam rahimahullah mengatakan dalam kitab Aqidah al-Wasithiyyah: “Ahlus-Sunnah menahan lidah dari permasalahan atau pertikaian yang terjadi diantara para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dan mereka juga mengatakan: ‘Sesungguhnya riwayat-riwayat yang dibawakan dan sampai kepada kita tentang keburukan-keburukan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum (pertikaian atau peperangan) ada yang dusta dan ada juga yang ditambah, dikurangi dan dirubah dari aslinya (serta ada pula yang shahih-pen). Riwayat yang shahih menyatakan, bahwa para Sahabat radhiyallahu ‘anhum ini ma’dzûrûn (orang-orang yang diberi udzur). Baik dikatakan karena mereka itu para mujtahid yang melakukan ijtihad dengan benar ataupun juga para mujtahid yang ijtihadnya keliru.’”1

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah memposisikan riwayat-riwayat ini. Ketiga riwayat ini bertebaran dalam kitab-kitab tarikh (sejarah). Dan ini mencakup semua kejadian dalam sejarah Islam, termasuk kisah pembunuhan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma di Karbala. Sebagian besar riwayat tentang peristiwa menyedihkan ini adalah kebohongan belaka. Sebagian lagi dha’if dan ada juga yang shahih. Riwayat yang dinyatakan shahih oleh para ulama ahli hadits yang bersesuaian dengan kaidah ilmiah dalam ilmu hadits, (maka) inilah yang wajib dijadikan pedoman dalam mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Dari sini, kita dapat memahami betapa sanad itu sangat penting untuk membungkam para pendusta dan membongkar niat busuk mereka.


Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan; “Sanad itu senjata kaum Muslimin, jika dia tidak memiliki senjata lalu apa yang dia pergunakan dalam berperang?” Perkataan ini diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam kitab al-Madkhal.

‘Abdullah bin Mubârak rahimahullah mengatakan; “Sanad ini termasuk bagian dari agama. kalau tidak ada isnad, maka siapapun bisa berbicara semaunya.” Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahih Beliau rahimahullah.

Di tempat yang sama, Imam Muslim rahimahullah juga membawakan perkataan Ibnu Sîrin; “Dahulu, mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Ketika fitnah mulai banyak, mereka mengatakan; ‘Sebutkanlah nama orang-orangmu yang meriwayatkannya!’”

Kronologi Terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhu

Berkait dengan peristiwa Karbala, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan; “Orang-orang yang meriwayatkan pertikaian Husain radhiyallahu ‘anhu telah memberikan tambahan dusta yang sangat banyak, sebagaimana juga mereka telah membubuhkan dusta pada peristiwa pembunuhan terhadap ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana mereka juga memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa yang ingin mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan, kemenangan dan lain sebagainya. Para penulis tentang berita pembunuhan Husain radhiyallahu ‘anhu, ada diantara mereka yang merupakan ahli ilmu (ulama) seperti al-Baghawi rahimahullah dan Ibnu Abi Dun-ya dan lain sebagainya. Namun demikian, diantara riwayat yang mereka bawakan ada yang terputus sanadnya. Sedangkan yang membawakan cerita tentang peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya sangat banyak.”2

Oleh karenanya, dalam pembahasan tentang peristiwa ini perlu diperhatikan sanadnya.

Riwayat Shahih tentang Peristiwa Karbala

Riwayat yang paling shahih ini dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, nomor 3748:

“Aku diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan; aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan; ‘Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyâd3. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu ‘Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; ‘Diantara Ahlul-Bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Saat itu, Husain radhiyallahu ‘anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam).’”

Kisahnya, Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma tinggal di Makkah bersama beberapa Shahabat, seperti Ibnu ‘Abbâs dan Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma. Ketika Muawiyah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia pada tahun 60 H, anak Beliau Yazîd bin Muâwiyah menggantikannya sebagai imam kaum Muslimin atau khalifah. Saat itu, penduduk Irak yang didominasi oleh pengikut ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepada Husain radhiyallahu ‘anhu meminta Beliau radhiyallahu ‘anhu pindah ke Irak. Mereka berjanji akan membai’at Husain radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazîd bin Muâwiyah menduduki jabatan khalifah. Tidak cukup dengan surat, mereka terkadang mendatangi Husain radhiyallahu ‘anhu di Makkah, mengajak Beliau radhiyallahu ‘anhu berangkat ke Kufah dan berjanji akan menyediakan pasukan. Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs radhiyallahu ‘anhuma kerap kali menasehati Husain radhiyallahu ‘anhu agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husain radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dibunuh di Kufah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu khawatir mereka membunuh Husain radhiyallahu ‘anhu juga disana. Husain radhiyallahu ‘anhu mengatakan; “Saya sudah melakukan istikharah dan akan berangkat kesana.”

Sebagian riwayat menyatakan bahwa Beliau radhiyallahu ‘anhu mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang sepupunya, Muslim bin ‘Aqil, yang telah dibunuh disana. Akhirnya, berangkatlah Husain radhiyallahu ‘anhu bersama keluarga menuju Kufah.

Sementara di pihak yang lain, ‘Ubaidullah bin Ziyâd diutus oleh Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi pergolakan di Irak. Akhirnya, ‘Ubaidullah dengan pasukannya berhadapan dengan Husain radhiyallahu ‘anhu bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan menuju Irak. Pergolakan ini sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husain radhiyallahu ‘anhu. Dua pasukan yang sangat tidak imbang ini bertemu, sementara orang-orang Irak yang (telah) membujuk Husain radhiyallahu ‘anhu, dan berjanji akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husain radhiyallahu ‘anhu dan keluarganya berhadapan dengan pasukan ‘Ubaidullah. Sampai akhirnya, terbunuhlah Husain radhiyallahu ‘anhu sebagai orang yang terzhalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal lalu dibawa ke hadapan ‘Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu diletakkan di bejana.

Lalu ‘Ubaidullah yang durhaka4 ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain radhiyallahu ‘anhu, padahal disitu ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhuma. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; “Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium mulut itu!” Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan; “Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah rusak, maka pasti kepalamu saya penggal.”

Dalam riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anas radhiyallahu ‘anhu dinyatakan:

“Lalu ‘Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain radhiyallahu ‘anhu.”

Dalam riwayat ath-Thabrâni rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu:

“Lalu dia mulai menusukkan pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain radhiyallahu ‘anhu. Aku (Zaid bin Arqam) mengatakan; ‘Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu.’”

Demkian juga riwayat yang disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu:

“Aku (Anas bin Malik) mengatakan kepadanya; ‘Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu.’ Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya.”

Demikianlah kejadiannya, setelah Husain radhiyallahu ‘anhu terbunuh, kepala Beliau radhiyallahu ‘anhu dipenggal dan ditaruh di bejana. Dan mata, hidung dan gigi Beliau radhiyallahu ‘anhu ditusuk-tusuk dengan pedang. Para Sahabat radhiyallahu ‘anhuma yang menyaksikan hal ini meminta kepada ‘Ubaidullah, orang durhaka ini, agar menyingkirkan pedang itu, karena mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempel (di) tempat itu. Alangkah tinggi rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan alangkah sedih hati mereka menyaksikan cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang kesayangan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dihinakan di depan mata mereka.

Dari sini, kita mengetahui betapa banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa kepala Husain radhiyallahu ‘anhu diarak sampai diletakkan di depan Yazid rahimahullah. Para wanita dari keluarga Husain radhiyallahu ‘anhu dikelilingkan ke seluruh negeri dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas. Semua ini merupakan kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid rahimahullah saat itu sedang berada di Syam, sementara kejadian memilukan ini berlangsung di Irak.

Syaikhul-Islam Taimiyyah rahimahullah mengatakan; “Dalam riwayat dengan sanad yang majhul dinyatakan bahwa peristiwa penusukan ini terjadi di hadapan Yazid, kepala Husain radhiyallahu ‘anhu dibawa ke hadapannya dan dialah yang menusuk-nusuknya, gigi Husain radhiyallahu ‘anhu. Disamping dalam cerita (dusta) ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa cerita ini bohong, maka (untuk diketahui juga-red) para Sahabat yang menyaksikan peristiwa penusukan ini tidak berada di Syam, akan tetapi di negeri Irak. Justru sebaliknya, riwayat yang dibawakan oleh beberapa orang menyebutkan bahwa Yazid tidak memerintahkan ‘Ubaidullah untuk membunuh Husain.”5

Yazid rahimahullah sangat menyesalkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu. Karena Mu’awiyah berpesan agar berbuat baik kepada kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, saat mendengar kabar bahwa Husain dibunuh, mereka sekeluarga menangis dan melaknat ‘Ubaidullah. Hanya saja dia tidak menghukum dan meng-qishash ‘Ubaidullah, sebagai wujud pembelaan terhadap Husain secara tegas.6

Jadi memang benar, Husain radhiyallahu ‘anhu dibunuh dan kepalanya dipotong, tapi cerita tentang kepalanya diarak, wanita-wanita dinaikkan kendaraan tanpa pelana dan dirampas, semuanya dha’if (lemah). Alangkah banyak riwayat dha’if serta dusta seputar kejadian menyedihkan ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah diatas.

Kemudian juga, kisah pertumpahan darah yang terjadi di Karbala ditulis dan diberi tambahan-tambahan dusta. Tambahan-tambahan dusta ini bertujuan untuk menimbulkan dan memunculkan fitnah perpecahan di tengah kaum Muslimin. Sebagian dari kisah-kisah dusta itu bisa kita dapatkan dalam kitab Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Minhâjus-Sunnah IV/517 dan 554, 556:

• Ketika hari pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhu, langit menurunkan hujan darah lalu menempel di pakaian dan tidak pernah hilang dan langit nampak berwarna merah yang tidak pernah terlihat sebelum itu.

• Tidak diangkat sebuah batu melainkan di bawahnya terdapat darah penyembelihan Husain radhiyallahu anhu.

• Kemudian mereka juga menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah perkataan yang berbunyi:“Mereka ini adalah titipanku pada kalian, kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat; ‘Katakanlah: ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (QS. asy Syûrâ : 42-23)”Riwayat ini dibantah oleh para ulama diantaranya Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan mengatakan; “Apa masuk di akal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menitipkan kepada makhluk padahal Allah ‘Azza wa Jalla tempat penitip yang terbaik? Sedangkan ayat diatas yang mereka anggap diturunkan Allah ‘Azza wa Jalla berkenaan dengan peristiwa pembunuhan Husain radhiyallahu ‘anhu, maka ini juga merupakan satu bentuk kebohongan. Karena ayat ini terdapat dalam surat as-Syûrâ dan surat ini Makkiyah. Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan surat ini sebelum Ali radhiyallahu ‘anhu dan Fathimah radhiyallahu anha menikah.”

Husain radhiyallahu ‘anhu Terbunuh sebagai Orang yang Terzhalimi dan Mati Syahid

Ini merupakan keyakinan Ahlus-Sunnah. Pendapat ini berada diantara dua pendapat yang saling berlawanan. Syaikhul-Islam rahimahullah mengatakan; “Tidak disangsikan lagi bahwa Husain radhiyallahu ‘anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan syahid. Pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhu merupakan tindakan maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari para pelaku pembunuhan dan orang-orang yang membantu pembunuhan ini. Di sisi lain, merupakan musibah yang menimpa kaum Muslimin, keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya. Husain radhiyallahu ‘anhu berhak mendapatkan gelar syahid, kedudukan dan derajat ditinggikan.”7

Kemudian, di halaman yang sama, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhu tidak lebih besar daripada pembunuhan terhadap para Rasul. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberitahukan bahwa Bani Isra’il telah membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Pembunuhan terhadap para Nabi itu lebih besar dosanya dan merupakan musibah yang lebih dahsyat. Begitu pula pembunuhan terhadap ‘Ali radhiyallahu ‘anhu (bapak Husain radhiyallahu ‘anhuma) lebih besar dosa dan musibahnya, termasuk pembunuhan terhadap ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu juga.

Ini merupakan bantahan telak bagi kaum Syi’ah yang meratapi kematian Husain radhiyallahu ‘anhu, namun, tidak meratapi kematian para Nabi. Padahal pembunuhan yang dilakukan oleh Bani Isra’il terhadap para Nabi tanpa alasan yang benar lebih besar dosa dan musibahnya. Ini juga menunjukkan bahwa mereka bersikap ghuluw (melampau batas) kepada Husain radhiyallahu ‘anhu.

Sikap ghuluw ini mendorong mereka membuat berbagai hadits palsu. Misalnya, riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, pembunuh Husain radhiyallahu ‘anhu akan berada di tabut (peti yang terbuat dari api), dia mendapatkan siksa setengah siksa penghuni neraka, kedua tangan dan kakinya diikat dengan rantai dari api neraka, ditelungkupkan sampai masuk ke dasar neraka dan dalam keadaan berbau busuk, penduduk neraka berlindung dari bau busuk yang keluar dari orang tersebut dan dia kekal di dalamnya.

Syaikhul-Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan mengatakan; “Hadits ini termasuk diantara riwayat yang berasal dari para pendusta.”

Menyikapi Peristiwa Karbala

Menyikapi peristiwa wafatnya Husain radhiyallahu ‘anhu, umat manusia terbagi menjadi tiga golongan. Syaikhul-Islam rahimahullah mengatakan; “Dalam menyikapi peristiwa pembunuhan Husain radhiyallahu ‘anhu, manusia terbagi menjadi tiga, dua golongan yang ekstrim dan satu berada di tengah-tengah.

Golongan Pertama: Mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhu itu merupakan tindakan benar. Karena Husain radhiyallahu ‘anhu ingin memecah-belah kaum Muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):

“Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu pemimpin lalu pendatang hendak memecah-belah jama’ah kalian, maka bunuhlah dia.”8

Kelompok pertama ini mengatakan bahwa Husain radhiyallahu ‘anhu datang saat urusan kaum Muslimin berada dibawah satu pemimpin (yaitu Yazid bin Muawiyah) dan Husain radhiyallahu ‘anhu hendak memecah-belah umat.

Sebagian lagi mengatakan bahwa Husain radhiyallahu ‘anhu merupakan orang pertama yang memberontak kepada penguasa. Kelompok ini melampaui batas, sampai berani menghinakan Husain radhiyallahu ‘anhu. Inilah kelompok ‘Ubaidullah bin Ziyâd, Hajjâj bin Yusûf dan lain-lain. Sedangkan Yazid bin Muâwiyah rahimahullah tidak seperti itu. Meskipun tidak menghukum ‘Ubaidullah, namun ia tidak menghendaki pembunuhan ini.

Golongan Kedua: Mereka mengatakan Husain radhiyallahu ‘anhu adalah imam yang wajib ditaati; tidak boleh menjalankan suatu perintah kecuali dengan perintahnya; tidak boleh melakukan shalat jama’ah kecuali dibelakangnya atau orang yang ditunjuknya, baik shalat lima waktu ataupun shalat Jum’at dan tidak boleh berjihad melawan musuh kecuali dengan izinnya dan lain sebagainya.9

Kelompok pertama dan kedua ini berkumpul di Irak. Hajjâj bin Yûsuf adalah pemimpin golongan pertama. Ia sangat benci kepada Husain radhiyallahu ‘anhu dan merupakan sosok yang zhalim. Sementara kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid yang mengaku mendapat wahyu dan sangat fanatik dengan Husain radhiyallahu ‘anhu. Orang inilah yang memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh ‘Ubaidullah bin Ziyad dan memenggal kepalanya.

Golongan Ketiga: Yaitu Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah yang tidak sejalan dengan pendapat golongan pertama, juga tidak dengan pendapat golongan kedua. Mereka mengatakan bahwa Husain radhiyallahu ‘anhu terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Inilah keyakinan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, yang selalu berada ditengah antara dua kelompok.

Ahlus-Sunnah mengatakan Husain radhiyallahu ‘anhu bukanlah pemberontak. Sebab, kedatangannya ke Irak bukan untuk memberontak. Seandainya mau memberontak, Beliau radhiyallahu ‘anhu bisa mengerahkan penduduk Makkah dan sekitarnya yang sangat menghormati dan menghargai Beliau radhiyallahu ‘anhu. Karena, saat Beliau radhiyallahu ‘anhu di Makkah, kewibawannya mengalahkan wibawa para Sahabat lain yang masih hidup pada masa itu di Makkah. Beliau radhiyallahu ‘anhu seorang alim dan ahli ibadah. Para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena Beliaulah Ahli Bait yang paling besar.

Jadi Husain radhiyallahu ‘anhu sama sekali bukan pemberontak. Oleh karena itu, ketika dalam perjalanannya menuju Irak dan mendengar sepupunya, Muslim bin ‘Aqîl, dibunuh di Irak, Beliau radhiyallahu ‘anhu berniat untuk kembali ke Makkah. Akan tetapi, Beliau radhiyallahu ‘anhu ditahan dan dipaksa oleh penduduk Irak untuk berhadapan dengan pasukan ‘Ubaidullah bin Ziyâd. Akhirnya, Beliau radhiyallahu ‘anhu tewas terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid.

Setan Menyebarkan Bid’ah

Syaikhul-Islam mengatakan10; “Dengan sebab kematian Husain radhiyallahu ‘anhu, setan memunculkan dua bid’ah di tengah manusia.

Pertama: Bid’ah kesedihan dan ratapan para hari ‘Asyûra (di negeri kita ini, acara bid’ah ini sudah mulai diadakan -pen) seperti menampar-nampar, berteriak, merobek-robek, sampai-sampai mencaci-maki dan melaknat generasi Salaf, memasukkan orang-orang yang tidak berdosa ke dalam golongan orang yang berdosa (para Sahabat seperti Abu Bakar dan Umar dimasukkan, padahal mereka tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki andil dosa sedikit pun. Pihak yang berdosa adalah yang terlibat langsung kala itu). Mereka sampai mereka berani mencaci Sâbiqûnal-awwalûn. Kemudian riwayat-riwayat tentang Husain radhiyallahu ‘anhu dibacakan yang kebanyakan merupakan kebohongan. Karena tujuan mereka adalah membuka pintu fitnah (perpecahan) di tengah umat.

Kemudian Syaikhul-Islam rahimahullah juga mengatakan; “Di Kufah, saat itu terdapat kaum yang senantiasa membela Husain radhiyallahu ‘anhu yang dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid al-Kadzdzâb (karena dia mengaku mendapatkan wahyu-pen). Di Kufah juga terdapat satu kaum yang membenci ‘Ali dan keturunan Beliau radhiyallahu ‘anhu. Di antara kelompok ini adalah Hajjâj bin Yûsuf ats-Tsaqafi. Dalam sebuah hadits shahîh dijelaskan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);

“Akan ada di suku Tsaqif seorang pendusta dan perusak.”

Orang Syi’ah yang bernama Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid itulah sang pendusta. Sedangkan sang perusak adalah al-Hajjaj. Yang pertama membuat bid’ah kesedihan, sementara yang kedua membuat bid’ah kesenangan. Kelompok kedua ini pun meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa barangsiapa melebihkan nafkah keluarganya pada hari ‘Asyûra, maka Allah ‘Azza wa Jalla melonggarkan rezekinya selama setahun itu.”

Juga hadits “barangsiapa memakai celak pada hari ‘Asyûra, maka tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu,” dan lain sebagainya.

Kedua: Bid’ah yang kedua adalah bid’ah kesenangan pada hari ‘Asyura. Karena itu, para khatib yang sering membawakan riwayat ini -karena ketidak-tahuannya tentang ilmu riwayat atau sejarah-, sebenarnya secara tidak langsung, masuk ke dalam kelompok al-Hajjâj, kelompok yang sangat membenci Husain radhiyallahu ‘anhu. Padahal wajib bagi kita meyakini bahwa Husain radhiyallahu ‘anhu terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Dan wajib bagi kita mencintai Sahabat yang mulia ini dengan tanpa melampaui batas dan tanpa mengurangi haknya, tidak mengatakan Husain radhiyallahu ‘anhu seorang Imam yang maksum (terbebas dari semua kesalahan), tidak pula mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhu itu adalah tindakan yang benar. Pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhu adalah tindakan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Itulah sekilas mengenai beberapa permasalahan yang berhubungan dengan peristiwa pembunuhan Husain radhiyallahu ‘anhu. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan. Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar menghindarkan kita semua dari berbagai fitnah yang disebarkan oleh setan dan para tentaranya.

Wallahua'alam

Catatan Kaki:

  1. Syarhu al-’Aqidah al-Wâsithiyyah, Syaikh Shalih al-Fauzan, halaman198.
  2. Minhâjus-Sunnah, IV/556.
  3. Komandan pasukan yang memerangi Husain radhiyallahu ‘anhu, pada tahun 60-61 H di Irak di sebuah daerah yang bernama Karbala.
  4. Ia disebut orang durhaka, karena dia tidak diperintah untuk membunuh Husain radhiyallahu ‘anhu, namun melakukannya.
  5. Minhâjus-Sunnah, IV/557.
  6. Lihat Minhâjus-Sunnah, V/557-558.
  7. Minhâjus-Sunnah, IV/550.
  8. HR. Muslim, Kitabul-Imârah.
  9. Minhâjus-Sunnah, IV/553.
  10. Minhâjus-Sunnah, IV/554.

Kesalahan Sekitar Shalat

Diposting oleh abufawwaz | 11.09 | , | 0 komentar »

Syaikh Shalih bin Abdul-Aziz Alu Syaikh.

Bismillahirrohanirrohim

Bangunan masjid kini banyak tersebar di berbagai daerah, dengan bangunan cantik nan megah. tapi kalau diamati ternyata banyak masjid yang tidak dipenuhi jamaah shalat. Ada yang hanya terisi hampir satu shaf, bahkan ada yang menjadi imam setelah sebelumnya adzan dan iqamah, alias tidak ada teman. Sepi…

Shalat ternyata telah banyak dilalaikan, terutama shalat berjamaah di masjid. Padahal hampir semua tahu bahwa shalat adalah amal pertama yang dihisab Allah. Jika shalat seseorang baik, akan baik pula seluruh amalnya. Demikian sebaliknya. Tetapi ironinya, banyak umat Islam yang melalaikan urusan shalat.

Berikut adalah bentuk kelalaian tentang shalat yang dilakukan oleh sebagian (besar?) kaum Muslimin.

1. Meninggalkan shalat sama sekali.

Ini adalah suatu kekufuran1 berdasarkan al-Qur'an, as- Sunnah, dan ijma'. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya);

“'Apakah yang membuat kalian masuk ke dalam Neraka Saqar?' Mereka menjawab; '(Karena) kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mendirikan shalat.'” (QS. al-Muddatstsir [74] : 42-43)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya; “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka ia telah kafir.” (HR. Ahmad dan lainnya, shahih)

Adapun dalil dari ijma' adalah ucapan 'Abdullah bin Syaqiq; “Para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berpendapat ada suatu amalan yang jika diting galkan menjadikan kufur kecuali masalah shalat.” (Diriwayatkan at-Tirmidzi dan lainnya dengan sanad shahih)

2. Mengakhirkan shalat.

Kebiasaan ini bertentangan dengan firman Allah 'Azza wa Jalla (yang artinya);

“Sesungguhnya shalat itu wajib atas orang-orang beriman pada waktu yang telah ditentukan.” (QS. an-Nisa' [4] :103)

Karena itu, mengakhirkan shalat tanpa udzur yang dibolehkan syara' adalah dosa besar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);

“Itu adalah shalat orang munafik. Ia duduk menunggu matahari, sampai jika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (hendak tenggelam) ia berdiri dan menukik empat rakaat, sedang ia tidak mengingat Allah di dalamnya kecuali sedikit.” (HR. Muslim)

3. Meninggalkan shalat berjamaah.

Shalat berjamaah menurut pilihan pendapat yang kuat adalah wajib, ke cuali bagi orang yang memiliki udzur yang dibolehkan syara'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);

“Siapa yang mendengarkan seruan adzan tetapi tidak memenuhinya maka tidak ada shalat baginya, kecu ali karena udzur.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad kuat)

Allah 'Azza wa Jalla berfirman (yang artinya);

“Dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. al-Baqarah [2] : 43)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);

“Kemudian aku mengutus (utusan kepada orang-orang yang tidak shalat berjamaah, sehingga aku bakar rumah-rumah mereka.” (Muttafaq 'alaih)

Sangat bagus dan mencukupi ki ranya bagi yang menginginkan syi'ar Islam memulainya dengan melaku kan gerakan shalat berjamaah.

4. Tidak thumakninah dalam shalat.

Thumakninah adalah rukun shalat. Shalat tidak sah jika tidak thumakninah. Thumakninah artinya, tenang ketika sedang rukuk, i'tidal, sujud, dan duduk antara dua sujud. Tenang disini maksudnya tulangb-tulang kembali pada posisi dan persendiannya, tidak tergesa-gesa dalam pergantian dari satu rukun ke rukun lainnya. Demikianlah, se hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang yang tergesa-gesa dalam shalatnya dan tidak thumakninah bersabda (yang artinya);

“Kembali dan shalatlah, sesungguh nya engkau belum shalat.”

5. Tidak khusyuk dan banyak gerakan di luar gerakan shalat.

Allah memuji orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):

“(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. al-Mukminun [23] : 2)

Karena itu, hendaknya setiap orang yang shalat, khusyuk dalam shalatnya, sehingga memperoleh pa hala yang sempurna. Baca kembali secara lebih lengkap dalam majalah Fatawa Volume III Nomor 03, Feb ruari 2007/Muharram 1428, dengan tema Shalat Khusyuk dalam rubrik Utama dan Tafsir.

6. Mendahului atau menyelisihi imam.

Ini bisa mengakibatkan batalnya shalat atau rakaat. Karena itu, hen daknya makmum mengikuti imam, tidak mendahului atau terlambat, baik satu rukun atau lebih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, (yang artinya);

“Sesungguhnya diadakannya imam itu untuk diikuti, karena itu jika ia bertakbir maka bertakbirlah, dan jangan kalian bertakbir sampai ia bertakbir, dan jika ia rukuk maka rukuklah dan jangan kalian rukuk sampai dia rukuk…” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

7. Bangun dari duduk untuk menyempurnakan rakaat sebelum imam selesai dari salam yang kedua.

8. Mendongak atau menoleh ke kiri dan ke kanan ketika shalat.

Hal ini telah diancam oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya);

“Hendaklah orang-orang mau ber henti dari mendongakkan pandan gannya ke langit ketika shalat atau Allah tidak mengembalikan pandan gannya kepada mereka.” (HR. Muslim)

Adapun menoleh yang tidak diperlukan maka hal itu mengu rangi kesempurnaan shalat, dan jika sampai lurus ke arah lain akan membatalkan shalat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);

“Jauhilah dari menoleh dalam shalat, karena sesungguhnya adalah suatu kebinasaan.” (HR. at-Tirmidzi dan dishahihkannya).

9. Mengenakan pakaian tipis yang tidak menutupi aurat.

Hal ini membatalkan shalat, karena menutup aurat merupakan syarat sahnya shalat.

10. Tidak memakai kerudung dan menutupi telapak kaki bagi wanita.

Aurat wanita dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan (termasuk punggung nya). Ummu Salamah radhiyallahu 'anha ditanya tentang pakaian shalat wanita. Beliau menjawab: “Hendaknya ia shalat dengan kerudung, dan baju kurung panjang yang menutupi kedua telapak kakinya.”

11. Lewat di depan orang yang sedang shalat.2

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: “Seandainya orang yang lewat di depan orang shalat itu mengetahui dosanya, tentu berhenti (menunggu) empat puluh (tahun) lebih baik bag inya daripada lewat di depannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

12. Tidak melakukan takbiratul-ihram ketika mendapati imam sedang rukuk.

Takbiratul-ihram adalah rukun shalat karena itu wajib dilakukan dan dalam keadaan berdiri, baru kemudian mengikuti imam yang sedang rukuk.

13. Tidak langsung mengikuti keadaan imam ketika masuk masjid.

Orang yang masuk masjid henda knya langsung mengikuti imam, baik ketika itu ia sedang duduk, sujud atau lainnya, tentunya setelah melaku kan takbiratul-ihram. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);

“Jika kalian datang untuk shalat dan kami sedang sujud, maka sujudlah!” (HR. Abu Dawud, shahih)

14. Melakukan sesuatu yang melalaikannya dari shalat.

Ini menunjukkan bahwa dia lebih menuruti hawa nafsu daripada menaati Allah. Betapa banyak orang yang tetap sibuk dengan pekerjaan nya, menonton TV, ngobrol dan sebagainya sementara seruan adzan telah berkumandang. Padahal me lalaikan shalat dan mengingat Allah adalah suatu bencana besar. Allah berfirman (yang artinya);

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah, barangsiapa melakukan demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. al-Munafiqun [63] : 9)

15. Memejamkan mata ketika shalat tanpa keperluan.

Ini adalah makruh. Ibnu Qayyim berkata; 'Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menconto hkan shalat dengan memejamkan mata.' Akan tetapi jika memejam kan mata tersebut diperlukan mis alnya, karena di hadapannya ada gambar, motif, atau sesuatu yang menghalangi kekhusyukannya (maka hal ini) boleh dilakukan.

16. Makan atau minum dalam shalat.

Perbuatan ini termasuk mem batalkan shalat. Ibnul-Mundzir ber kata; 'Para ahli ilmu sepakat bahwa orang yang shalat dilarang makan dan minum.' Karena itu, bila masih terdapat sisa makanan di mulut, seseorang yang sedang shalat tidak boleh menelannya tetapi hendaknya mengeluarkannya dari mulutnya.

17. Tidak meluruskan dan merapatkan barisan.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);

“Kalian mau meluruskan barisan- barisan kalian atau Allah akan mem buat perselisihan di antara hati-hati kalian.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Adapun rapatnya barisan, seb agaimana yang dipraktekkan para sahabat adalah pundak dan telapak kaki seseorang merapat (menempel) dengan pun dak dan telapak kaki sebelahnya.

18. Imam tergesa-gesa dalam shalatnya dan tidak thumak ninah, sehingga menjadikan makmum juga tergesa-gesa, tidak thumakninah dan tidak sempat membaca surat al-Fati hah.

Setiap imam akan ditanya tentang shalatnya, dan thumakninah adalah rukun, karena itu ia (thumakninah) wajib atas imam karena dia adalah yang diikuti.

19. Tidak memperhatikan sujud dengan tujuh anggota.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);

“Kami diperintahkan untuk sujud dengan tujuh anggota; kening -beliau mengisyaratkan dengan tangannya sampai ke hidungnya-, dua tangan, dua lutut dan dua telapak kaki.” (HR. Muttafaq 'alaih)

20. Membunyikan ruas jari-jari ketika shalat.

Ini adalah makruh. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan; “Aku shalat di sisi Ibnu 'Abbas dan aku membunyikan jari-jariku. Setelah selesai shalat, ia berkata; 'Celaka kamu, apakah kamu membunyikan jari-ja rimu dalam keadaan shalat?'”

21. Mempersilakan menjadi imam kepada orang yang tidak pantas menjadi imam.

Imam adalah orang yang diikuti, karena itu ia harus faqih (paham dalam urusan agama) dan qari' (pandai membaca al-Qur'an). Para ulama menetapkan, tidak boleh di persilakan menjadi imam orang yang tidak baik bacaan al-Qur'annya, atau yang dikenal dengan kemaksiatannya (fasiq), meskipun shalat bersama imam semacam ini tetap sah.

22. Membaca al-Qur'an secara tidak baik dan benar.

Ini adalah kekurangan yang nya ta. Karena itu, setiap Muslim harus berusaha untuk membaca al-Qur'an, terutama dalam shalatnya dengan baik dan benar. Allah berfirman (yang artinya);

“Dan bacalah al-Qur'an itu dengan tartil.” (QS. al-Muzzammil [73] : 4)

23. Wanita pergi ke masjid den gan perhiasan dan wewangian.

Ini adalah kemungkaran yang tampak nyata baik di bulan Ramad han atau di waktu lainnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);

"Jangan melarang wanita-wanita pergi ke masjid, dan hendaknya mereka keluar dalam keadaan tidak berhias dan memakai wewangian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, shahih)

Sumber: al-Minzhar fi Bayani Kat sirin minal-Akhtha' al-Sya'iah, Shalih bin Abdul-Aziz Alu Syaikh, Redaksi Majalah Fatawa, http://ahlussunnah.info

[ Redaksi ]
Catatan Kaki:

1. Kufur adalah sifatnya, sedangkan orangnya disebut kafir. Kufur ada dua macam, kufur 'amal (perbuatan) dan kufur juhud (ingkar). Kufur juhud adalah mengingkari apa yang dia tahu dikarenakan memang menentang dan ingkar (menolak). Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, orang yang meninggalkan shalat karena malas maka dia telah kufur berupa kufur 'amali (perbuatan) dan orang yang meninggalkannya karena menentang maka dia kafir keluar dari Islam (millah).

Namun daripada itu, meskipun orang yang meninggalkan shalat karena malas tidak dihukumi sebagai kufur juhud dan hanya tersemat pada dirinya kufur 'amali, perkara yang ia hadapi adalah bukan suatu perkara yang ringan, karena meninggalkan shalat adalah suatu dosa yang besar, dan tidak akan selamat seseorang yang telah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebut sebagai kafir. Kami berlindung kepada Allah dari hal yang demikian. (ahlussunnah.info)

2. Termasuk kesalahan dalam hal ini adalah tidak meletakkan pembatas (sutrah) di depannya ketika sedang shalat, atau shalat di suatu tempat dimana orang-orang bodoh yang tidak tahu mengenai dosanya lewat di depan orang yang sedang shalat dapat dengan leluasa berjalan lalu-lalang di depannya. (ahlussunnah.info)

Bismillahirrohmanirrohim

Para imam banyak menulis kitab untuk menuangkan pendapatnya tentang berbagai hal. Dalam perkembangannya pendapat-pendapat tersebut membentuk berbagai madzhab, diantaranya adalah 4 (empat) madzhab yang terkenal di Indonesia.

Sayang, banyak yang kemudian terjerumus pada sikap fanatik madzhab, seakan-akan pendapat imam adalah sebuah aksioma agama yang tidak bisa diutak-atik. Sementara para imam tidak pernah menyarankan sikap demikian. Justru para imam tersebut memberikan contoh yang sebaliknya, agar umat Islam selalu mengembalikan pendapat pada petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berikut perkataan (qaul) mereka.

Abu Hanifah rahimahullah

Qaul 1: “Apabila aku mengeluarkan suatu pendapat yang bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, maka tinggalkanlah pendapatku itu.”1

Perkataan ini diulas oleh as-Syuhnah dalam kitabnya Syarh al-Hidayah; “Apabila suatu hadits shahih bertentangan dengan madzhab, maka hadits itulah yang mesti diamalkan. Demikian inilah pendapat madzhab Abu Hanifah, jadi para pengikut madzhab tidaklah dikatakan keluar dari garis pengikut Hanafi disebabkan mengamalkan hadits tersebut.”

Qaul 2: “Apabila hadits itu shahih, itulah madzhabku.”2

Malik bin Anas rahimahullah

Qaul 1: “Aku hanyalah manusia biasa yang pendapatku bisa benar dan bisa salah. Karena itu telitilah pendapat yang aku kemukakan. Semua pendapat yang selaras dengan al-Qur'an dan as-Sunnah ambillah, jika tidak selaras tinggalkanlah.”3

Qaul 2: “Semua perkataan manusia sama, bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”4

Al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah

Qaul 1: “Suatu sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mungkin sampai pada seseorang atau tidak. Jadi kalau aku pernah berpendapat atau merumuskan suatu prinsip ternyata ada hadits yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan sebaliknya, maka pendapat yang betul adalah yang Nabi katakan dan aku pun berpendapat dengannya.”5

Qaul 2: “Setiap hadits yang sah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan menjadi pendapatku walaupun sebelumnya kamu tidak pernah mendengarnya dariku.”6

Qaul 3: “Apabila kamu mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka berpeganglah kepada hadits tersebut dan tinggalkan pendapatku (atau tulisanku).”7

Qaul 4: “Pertama, suatu berita yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diterima. Kedua, berita atau hadits tersebut wajib diterima jika telah terbukti sah, walaupun para imam belum ada yang mengamalkan atau mengajarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang imam harus ditinggalkan jika bertentangan dengan hadits Nabi, diganti dengan petunjuk yang berasal dari hadits Nabi. Disamping itu, hadits yang diyakini sah dari Nabi adalah sebuah kepastian yang tidak perlu dikonfirmasikan dengan pendapat seseorang.”8

Ahmad bin Hanbal rahimahullah

Qaul 1: “Seluruh perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”99

Qaul 2: “Pendapat al-Auza'i, Malik, dan Abu Hanifah, semuanya hanyalah pendapat. Aku pandang sama di sisiku, yang mesti jadi rujukan (mutlak) hanyalah sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”10

Jangan-jangan Kita yang Lancang

Berkata Syaikh al-Albani rahimahullah tentang perkataan para imam tersebut; “Kenyataan tersebut menggambarkan ketinggian ilmu dan ketakwaan para imam tersebut. Melalui perkataan tersebut, mereka menegaskan bahwa dirinya tidaklah menguasai sunnah secara keseluruhan. Kadangkala didapati (pada imam madzhab) beberapa perkara yang menyelisihi sunnah, karena riwayat tentangnya (tentang perkara tersebut) tidak sampai kepadanya. Apabila mengetahui sunnah tersebut, tentu mereka akan memerintahkan kita agar berpegang teguh dengannya dan menjadikannya sebagai madzhab mereka. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka, semuanya.”11

Tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa seseorang harus berpegang dengan qaul salah seorang imam yang empat secara mutlak. Bahkan mencampuradukkan pendapat satu imam dengan imam yang lain tidak boleh. Pendek kata seorang muslim, menurut kelompok ini, harus setia sampai mati dengan qaul seorang imam.

Sikap macam apakah ini? Tak lebih sebagai sikap ta'ashub yang berlebihan. Bahkan kalau ditimbang dengan qaul para imam tersebut diatas merupakan bentuk kelancangan terhadap nasihat imam yang, katanya, mereka hormati dan muliakan tersebut. Sebenarnya bukan hormat dan memuliakan, justru dalam kenyataannya bersikap sok tahu dan menyalahkan petunjuk para imam. Bukankah para imam berpesan agar tidak mendewakan pendapatnya? Mereka selalu memerintahkan agar mengembalikan segala pendapat kepada petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lantas?!

Sumber :Redaksi Majalah Fatawa,http://ahlussunnah.info
Catatan Kaki:

  1. Riwayat Shalih al-Fulani dalam Iqaz al-Himam, hal. 50.
  2. Riwayat Ibn ‘Abd al-Barr dari al-Imam Abu Hanifah. Shifatu Shalatin-Nabi, hal. viii.
  3. Riwayat Ibn ‘Abd al-Barr dalam Jami' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 32.
  4. Jami' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 91.
  5. Riwayat Ibn ‘Asakir di dalam Tarikh Dimashq, 15/1/3. al-Imam Ibn ‘Asakir lahir pada 499 H/1106 M di Dahalyik. Seorang ahli sejarah dan ahli hadits yang terkemuka di kalangan madzhab asy-Syafi‘i pada abad ke 5 H. Nama aslinya Abu al-Qasim ‘Ali bin al-Hassan, wafat pada 571 H/1176 M.
  6. Riwayat Ibn Abi Hatim di dalam al-Adab, hal. 93-94.
  7. Riwayat al-Khatib al-Baghdadi di dalam al-Ihtijaj bi asy-Syafi‘i, jilid. 8, hal. 2 dan al-Nawawi dalam al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, jilid. 1, hal. 63. Al-Imam an-Nawawi adalah seorang imam mujtahid yang masyhur bagi madzhab asy-Syafi‘i. Nama aslinya Abu Zakaria Yahya bin Syaraf lahir di Syiria pada 631 H/1233 M. Diantara karangan Beliau ialah kitab fiqh madzhab asy-Syafi‘i berjudul al-Majmu' Syarh al- Muhadzdzab dan Syarh Shahih Muslim. Wafat pada 676 H/1277 M.
  8. Ar-Risalah, al-Imam asy-Syafi'i. 423/3.
  9. Abu Dawud dalam Masa'il al-Imam Ahmad, hal. 276. Al-Imam Abu Dawud ialah Sulaiman bin al-Asy'ath as-Sijistan, lahir pada 202H/818M, sempat berguru kepada Ahmad bin Hanbal bersama al-Bukhari dan Muslim. Kitabnya yang terkenal ialah Sunan Abu Dawud, terdiri dari 4800 buah hadits. Selain itu Beliau juga mengarang belasan kitab lain sebelum meninggal dunia pada 275 H/889 M di Basrah, Irak.
  10. Ja mi' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 149.
  11. Shifatu Shalatin-Nabi, hal. viii.

Jangan Mudah Mengkafirkan!

Diposting oleh abufawwaz | 13.40 | , | 0 komentar »

Ustadz Kholid Syamhudi. lc

Bismillahirrohamnirrohim

Kenyataan dunia islam dan kaum muslimin dewasa ini cukup menyedihkan. Tuduhan demi tuduhan dilemparkan musuh-musuh Allah Ta’ala akibat ulah sekelompok kaum muslimin. Memang musuh-musuh islam terus mengintai negara dan masyarakat islam, mengintai kapan mereka berbuat salah, kapan menjadi materialis dan kapan cinta dunia menguasai mereka. Akhirnya masa-masa yang mereka tunggu itu tiba. Kaum muslimin hidup bergelimang dunia dan dosa, kebodohan menjadi ciri mereka. Kemudian mereka keluar dari rel syariat dan tanpa sadar merusak bumi dan seisinya. Padahal sesuatu yang keluar dari relnya mesti berbahaya, apalagi dalam permasalahan agama.

Akhirnya kehinaan dan fitnah melanda mereka sebagai satu konsekuensi pelanggaran dan jauhnya mereka dari syariat rasulNya. Allah berfirman:
 
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur:63)

Bermunculanlah penyakit dan fitnah dalam tubuh kaum muslimin, membuat mereka bingung, sedih dan pecah berserakan. Semoga Allah mengembalikan dan mempersatukan kaum muslimin diatas ajaran agama islam yang benar.Diantara fitnah yang sangat berbahaya yang muncul dalam tubuh kaum muslimin adalah fitnah takfir (vonis kafir terhadap orang lain) yang menyimpang dari syari’at islam. Fitnah ini diawali dengan munculnya sekte khawarij pada zaman Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu . Fitnah khawarij ini pernah menggoncang dunia Islam dan menumpahkan ribuan bahkan jutaan darah kaum muslimin. Cukup banyak harta dan jiwa yang dikorbankan kaum muslimin dalam meredam fitnah ini, lihatlah sejak pembunuhan Khalifah dan menanti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Utsman bin Affaan Radhiallahu’ahu , disusul dengan terbunuhnya khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’ahu sampai pemberontakan mereka terhadap negara islam bani Umayah dan Abbasiyah serta negara-negara islam hingga saat ini. Sehingga DR Ghalib bin Ali Al ‘Awaajiy menyatakan: “Khawarij adalah salah satu firqah besar yang melakukan revolusi berdarah dalam sejarah politik islam. Mereka telah menyibukkan negara-negara Islam dalam waktu yang sangat panjang sekali”.[1]

Pertama kali muncul, mereka mencela sebaik-baiknya orang sholih waktu itu, yaitu khalifah Ali Radhiallahu’anhu . ini bukanlah satu hal yang aneh karena tokoh pertama mereka yang bernama Dzul Khuwaishirah telah mencela sebaik-baiknya makhluk Allah, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . sebagaimana dikisahkan dalam riwayat dibawah ini :

أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْسِمُ قِسْمًا أَتَاهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ فَقَالَ وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِيهِ فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ فَقَالَ دَعْهُ فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

“Sesungguhnya Abu Sa’id Al Khudriy bercerita: “ketika kami bersama Rasululluh Shallallahu’alaihi Wasallam dan beliau membagi-bagi sesuatu, datanglah kepada beliau Dzul Khuwaishiroh seorang berasal dari Bani Tamiim lalu berkata: “Wahai Rasulullah berbuat adillah!”. Lalu beliau menjawab: “celaku kamu, siapakah yang berbiat adil jika aku tidak berbuat adil. Engkau telah rugi dan celaka jika aku tidak adil”. Umar berkata: “Wahai Rasulullah izinkanlah aku memenggal lehernya” beliau menjawab: “Biarkan dia! Sesungguhnya dia memiliki pengikut, salah seorang dari kalian akan meremehkan sholatnya dibanding sholat mereka dan puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an tapi hanya ditenggorokan mereka saja. Mereka meninggalkan agama sebagaimana anak panah keluar dari busurnya”. (Mutafaqun alaihi).

Lihatlah berawal dari harta dan penentangan terhadap pemimpin, muncul khawarij, sungguh benar sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

“Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah dan fitnah umatku adalah harta“.

Dzul Khuwaishirah menentang Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan slogan keadilan dan menuntut keadilan, hak dan kesamaan. Dari sinlah ia menuduh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berbuat tidak adil sehingga menuntut Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan keadaan pengikutnya.

Ini pada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam , tentunya untuk orang yang dibawahnya dari para penguasa dan wali amri kaum muslimin lebih gampang dan mudah bagi mereka.

Pengikut Dzul Khuwaishirah muncul dizaman Ali bin Abi Thalib juga karena harta dan penentangan mereka terhadap kebijakan khalifah Ali Radhiallahu’anhu . [2]

Setelah itu mereka mengkafirkan pelaku dosa besar dan menghalalkan darah dan harta kaum muslimin seluruhnya kecuali anggota sekte mereka. Inilah yang membawa mereka memberontak dan membunuhi orang-orang yang tidak bersalah. Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam nyatakan dalam haditsnya:

إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ لَئِنْأَنَا أَدْرَكْتُهُمْ قَتَلْتُهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Sesunggunya dibelakang orang ini akanlahir satu kaum yangmembaca Al Qur’an tidak lewat dari kerongkongan mereka. Mereka lepas dari islam seperti lepasnya anak panahdari busurnya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala. Sungguh jika aku mendapatkan mereka niscaya aku beunuh mereka dengan cara pembunuhan kaum ‘ad”. (HR. Abu Daud) dan dalam riwayat yang lainnya:

هُمْ شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ

“Mereka adalah sejelek-jeleknya orangyangterbunuh dibawah langit” (HR. At Tirmidzi No. 2926 dan Ibnu Maajah dalam Muqaddimah No.173).

Kaum khawarij ini diperangi kaum muslimin hingga hampir hilang dari permukaan bumi ini. Memang masih ada dibeberapa tempat kumpulan mereka ini, seperti di Oman, Maroko, Al Jazaair dan Zanjibaar yang diwakili oleh sekte Ibadhiyah. Akan tetapi pemikiran dan aqidah mereka masih eksis dan bertebaran disekitar kaum muslimin dan terkadang sebagian kaum muslimin tidak sadar memiliki pemikiran dan aqidah mereka ini.

Kemudian lebih dari seperempat abad yang lalu muncullah istilah Takfiir dan Hijrah, ditandai dengan salah satu kejadian besar yaitu pembunuhan terhadap penulis kitab At Tafsiir wal Mufassirun Syaikh Muhammad Husein Adz Dzahabiy. Jamaah takfiir wal hijrah ini dikatakan para peniliti sebagai bagian dari Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka kecewa dengan sikap dan tindakan tokoh pemimpin Ikhwanul Muslimin dalam peran mereka dalam politik negeri Mesir.

Ini akan semakin jelas jika kita melihat dan menelaah pemikiran Sayyid Quthub, salah seorang tokoh besar dan legendaris dari Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka banyak menjadikan pemikran tokoh intelektual ini dalam kaedah beragamanya mereka, sehingga jadilah mereka orang yang cepat memvonis kafir orang lain dan mencela para ulama yang tidak cocok atau dianggap sesuai dengan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan karena orang yang telah terkena fitnah takfiir ini tentunya tidak lepas dari gaya penampilan para pendahulu mereka dari kalangan khawarij. Lihatlah beberapa pemikiran Sayyid Quthub tentang takfiir dan hijrah, agar dapat diketahui besarnya bahaya yang muncul akibatnya.
Tentang Takfiir[3]

Sayyid Quthub mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin termasuk para Muadzin yang selalu melantunkan kalimat tauhid Ini dapat dapat dilihat pada tulisan beliau, diantara pernyataan beliau:

1. “Manusia telah murtad kepada penyembahan makhluk (paganisme) dan kejahatan agama serta telah keluar dari Laa ilaha Illa Allah. Walaupun sebaian mereka masih selalu mengumandangkan Laa ilaha Illa Allah di atas tempat beradzan”.[4]

2. “Manusia telah kembali kepada kejahiliyahan dan keluar dari Laa ilaha Illa Allah. Manusia seluruhnya- termasuk didalamnya orang–orang yang selalu mengumandangkan pada adzan-adzan di timur sampai barat bumi ini kalimat Laa ilaha Illa Allah tanpa pengertian dan pebuktian nyata- bahkan mereka ini lebih berat dosa dan adzabnya pada hari kiamat; karena mereka telah murtad kepada penyembahan makhluk setelah jelas bagi mereka petunjuk dan setelah mereka berada pada agama Allah”.[5]

3. “Masyarakat yang menganggap dirinya muslimah masuk dalam lingkungan masyarakat jahiliyah bukan karena meyakini uluhiyah pada selain Allah. Bukan pula karena menujukan syiar-syiar peribadatan kepada selain Allah Ta’ala akan tetapi mereka masuk dalam lingkup ini karena tidak beribadah kepada Allah saja dalam hukum-hukum kehidupannya”.[6]

4. “Orang yang tidak mentauhidkan Allah Ta’ala dalam hakimiyah- disemua zaman dan tempat- adalah orang-orang musyrik. Tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan ini keyakinan mereka terhadap Lailaaha illa allah dan tidak pula syiar (peribadatan) yang mereka tujukan kepada Allah Ta’ala ”.[7]

5. “Tidak ada satupun dipermukaan bumi ini negara islam dan tidak pula masyarakat muslim”.[8]

Beliau mengkafirkan masyarakat kaum muslimin yang ada karena tidak menggunakan hukum-hukum Allah Ta’ala dalam mengatur kehidupan mereka. Akan tetapi beliau mensifatkan penyembah berhala dari kalangan kaum musyrikin dengan pernyataan beliau: “Kesyirikan mereka yang hakiki bukanlah pada permasalahan ini -yaitu penyembahan berhala untuk mendekatkan diri dan meminta syafaat dihadapan Allah- dan tidak pula islamnya orang yang masuk islam karena meninggalkan permohonan syafaat kepada para berhala tersebut”.[9]

Lihatlah pernyataan beliau ini, bukankah menyelisihi firman Allah Ta’ala :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”,(QS. An Nahl:36). Dan :

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu” (QS. An Nisaa:48).

Bahkan para Rasul berdakwah mengajak kaumnya untuk tidak menyembah selain Allah Ta’ala dan menyatakan:: 

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selain-Nya” (QS. Al A’raf:59). Kemudian kaum ‘Ad membantah ajakan Nabi mereka dengan menyatakan: 

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَاكَانَ يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

Mereka berkata:”Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami maka datanglah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. (QS. Al A’raf:70)

Demikian juga kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam ketika didakwahi untuk tidak menyembah orang sholih yang diyakini dapat memberi syafaat dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala menyatakan:

وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلاَتَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَسُوَاعًا وَلاَيَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

"Dan mereka berkata:”Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”, (QS. Nuh:23)

Ternyata dakwahnya para Rasul adalah mengajak manusia menyembah Allah Ta’ala dan menjauhi syirik dalam peribadatan, bukan syirik hakimiyah –seperti yang mereka inginkan-. Bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegaskan dalam pernyataan beliau :

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Wahai bani Adam sesungguhnya jika kamu menjumpaiKu dengan membawa sepenuh bumi kesalahan kemudian menjumpaiKu dalam keadaan tidak menyekutukan Ku, sungguh Aku akan memberimu sepenuh bumi pengampunan” (HR. At Tirmidzi No.3463). dan:

يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ

“Wahai Mu’adz tahukah kamu apa hak Allah atas hambaNya, beliau menjawab: “Allah dan RasulNya lebih mengetahui”. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: “MenyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Apakah kamu tahu apa hak mereka atas Allah”. Muadz menjawab: “Allah dan RasulNya lebih mengetahui”. Beliau menjawab: “Tidak mengadzab mereka”. (Mutafaqun ‘alaihi).

Subhanallah! Seandainya memang benar perkataan dan pernyataan Sayyid Quthub ini, tentulah apa yang didakwahkan para Rasul tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan umat manusia. Ini sungguh kesalahan yang sangat fatal sekali.

Pemikiran takfiir ini terus merebak pada para pemuda kaum muslimin yang bersemangat, sehingga akibatnya mereka mengorbankan diri mereka untuk membom, merusak dan membunuh dengan dalih jihad suci melawan orang kafir, bahkan lebih dari itu mereka melecehkan para ulama dan mengkafirkan mereka, karena mereka tidak mengkafirkan orang yang telah kafir. Alangkah mengerikannya akibat dari pemikiran takfiir ini!

Sudah seharusnya kaum muslimin waspada kembali terhadap pemikiran-pemikiran yang merusak ini dengan menuntut ilmu agama dari para ulama dan tidak tergesa-gesa memvonis kafir (takfiir) terhadap orang lain.

Wallahu'alam
________________________________________
[1] Firaaqun Mu’ashaarah Tantasibu Ilal Islam karya beliau sendiri, 1/88.
[2] Lihat kisahnya dalam perdebatan Ibnu Abbas dengan mereka dalam buku “Mengapa Memilih Manhaj Salafi”
[3] Semua penukilan perkataan Sayyid Quthub diambil dari makalah Syeikh Sa’ad Al Hushein dalam Majalah Ash Ashoolah 35/VI/Sya’ban 1422 H.
[4] Fi Zhilalil Qur’an 2/1057, cetakan Dar Asyuruuq.
[5] Ibid-
[6] Ma’alim Fith Thoriiq hal.101 cetakan Darusy Syuruuq.
[7] Fi Zhilaalil Qur’an 2/1492 cet. Daarusy Syuruuq.
[8] Ibid 2/2122.
[9] Ibid 3/1492

Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Nashr

Bismillahirrohmanirrohim

Di tengah gelombang kebid’ahan dan kesyirikan yang menerpa umat sekarang ini. Di saat kebingungan dan ketimpangan semakin membelit kaum mudanya. Ahlul ahwa’ (para pengikut hawa-nafsu) tidak henti-hentinya melontarkan kerancuan dan keraguan. Bahkan tidak jarang melemparkan tuduhan serta fitnah yang tidak berdasar ke tengah-tengah umat terhadap kemulian dakwah Salafiyah yang penuh barakah ini dan para dainya. Semua itu ibarat riak-riak kecil, bila tidak segera ditepis akan menjadi gelombang ganas yang membahayakan lagi mengkhawatirkan.

Salah seorang murid senior Muhadits abad ini (Imam al-Albani rahimahullah), yaitu Syaikh Muhammad bin Musa Nashr telah mengumpulkan beberapa syubhat yang dilontarkan oleh musuh da’wah Salafiyah, kemudian beliau iringi dengan bantahannya. Pada kesempatan ini kami sampaikan sebagian dari bantahannya tersebut dan kami pilih yang sekiranya mendesak untuk diketahui.

SYUBHAT PERTAMA: Salafiyah adalah sebuah penasaban yang bid’ah!

Jawaban Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Nashr:

Sebagian musuh dakwah Salafiyah menganggap bahwa menisbatkan diri kepada Salaf merupakan pengelompokan bid’ah. Hal itu sebagaimana mereka yang menamakan diri dengan: Ikhwanul Muslimin, Hizbut Thahrir, dan Jamaah Tabligh.

Mereka tidak tahu, bahwa Salafiyah adalah sebuah penasaban terhadap generasi terbaik. Yaitu generasi sahabat dan tabi’in, yang telah dipersaksikan oleh Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam dengan kebaikan. Juga merupakan penyandaran terhadap umat yang ma’sum (terjaga dari kesalahan), yang tidak akan bersepakat di dalam kesesatan, umat yang telah diridhai oleh Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya”.(al-Bayyinah: 8)

Sungguh jauh berbeda, antara orang yang menisbatkan diri kepada individu yang tidak ma’sum, bersikap loyal, dan fanatik terhadap seluruh perkataan dan pendapatnya, dengan orang yang menisbatkan diri kepada umat yang selamat dari penyimpangan dan kesesatan di saat munculnya banyak perselisihan.

Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Umat ini akan terpecah menjadi 73 kelompok. Semuanya di dalam neraka kecuali satu.”Sahabat bertanya: “Siapa dia wahai Rasulullâh?Jawab Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam :“Mereka adalah orang-orang yang semisal dengan apa yang aku dan sahabatku berada di atasnya”.

Itulah Salafiyah yang mengambil Islam secara murni, bersih dari segala bid’ah. Islam yang dibawa Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam , para sahabatnya dan umat terbaik sesudah mereka.

Bagaimana kalian membolehkan ’jamaah-jamaah’ Islam menisbatkan diri terhadap individu-individu yang tidak ma’sum, lalu pada waktu yang sama kalian melarang orang-orang menasabkan kepada umat yang ma’sum dari segala kesesatan. Menasabkan diri kepada Salafush Shalih, dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam (ulama) rabbani yang jauh dari hizbiyah- hizbiyah (fanatik terhadap kelompok-kelompok) pemecah belah umat?

Guru kami, al-Albani telah berkata, membantah hizbiyah : “Kami terang-terangan memerangi hizbiyah- hizbiyah tersebut, karena hal tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”.
(al-Mu’minun: 53)

Padahal tidak ada hizbiyah sama sekali dalam Islam. Berdasarkan nash al-Qur’an, hizb hanya ada satu, (yakni hizbullah).

“Ketahuilah sesungguhnya hizb Allah-lah yang beruntung”.(Mujadalah: 22)

Hizbullah adalah jamaah Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam. Hendaknya seseorang itu berada di atas manhaj para sahabat, hal ini membutuhkan ilmu terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah.

Beliau (Al-Albani) pernah juga ditanya:

“Apakah Salafiyah itu dakwah hizbiyah, golongan, madzhab ataukah kelompok baru dalam Islam?”

Beliau menjawab: “Kalimat “Salaf” itu terkenal di dalam bahasa Arab dan syar’i. Telah shahih dari Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam, ketika akan wafat beliau berkata kepada Fatimah, putrinya:

“Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah. Aku adalah sebaik-baik salaf bagimu”.

Banyak sekali para ulama’ yang menggunakan istilah “Salaf”. Satu contoh, ketika mereka menggunakannya untuk menghancurkan bid’ah:

“Setiap kebaikan adalah di dalam mengikuti salaf, dan setiap kejelekan adalah di dalam bid’ahnya khalaf”.

Tetapi ada sebagian orang yang mengaku berilmu mengingkari penisbatan terhadap Salaf, dengan anggapan hal itu tidak ada sandarannya. 

Dia mengatakan: “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: “Saya Salafi”. Sepertinya dia mengatakan: “Seorang muslim tidak boleh mengatakan saya adalah pengikut manhaj Salaf as-Shalih dalam aqidah, ibadah, perilaku dan lainnya.”

Tidak diragukan lagi, pengingkaran ini membawa konsekwensi dia berlepas diri dari Islam yang shahih. Islamnya para Salaf as-Shalih, yang dipimpin oleh Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam , sebagaimana telah diisyaratkan oleh hadits mutawatir dalam “Shahihain” dan lainnya, Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Sebaik baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya”.

Seorang muslim tidak boleh berlepas diri dari penisbatan kepada Salafush shalih. Orang yang mengingkari penisbatan yang mulia ini, bukankah dia juga menisbatkan diri kepada madzhab-madzhab yang ada, baik dalam aqidah, maupun fiqih? Bisa jadi dia seorang Asy’ariy atau Maturidy. Bisa jadi pula seorang Hanafi , Syafi’i, Maliki atau Hambali, yang tergolong Ahlus Sunnah wal Jamaah. 

Padahal orang yang menisbatkan kepada madzhab Asy’ariy atau salah satu dari 4 madzhab (fiqih) yang ada, dia telah menisbatkan diri kepada individu yang tidak ma’sum, walaupun ada juga para ulama yang benar. Tetapi apakah dia mengingkari penisbatan kepada individu-individu yang tidak ma’sum ini?

Dan inilah perkataan ahlul ilmi tentang bolehnya menisbatkan diri kepada Salafush as-Shalih:

Ibnu Manzhur berkata: “Termasuk arti Salaf adalah: pendahulumu, yaitu bapak-bapakmu dan kerabatmu yang punya umur dan keutamaan lebih di atasmu. Oleh karena itu generasi pertama dari kalangan tabi’in dinamakan “Salafush Shalih”.

Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam pernah berkata kepada putrinya, Zainab, ketika akan meninggal:

“Susullah Salaf kita yang shahih, yaitu Utsman bin Mazh’un.”

Al-Ghazali berkata: “Yang saya maksud dengan Salaf adalah madzhab sahabat dan tabi’in.”

Syaikhul Islam berkata: “Tiada aib bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan kepadanya, bahkan penisbatan tersebut wajib diterima menurut kesepakatan (ulama’), karena madzhab salaf adalah madzhab yang haq.”

Al-Baijuri berkata: “Yang dimaksud dengan istilah Salaf adalah orang yang terdahulu dari para nabi, tabi’in dan tabiut tabi’in.”

SYUBHAT KEDUA: Salafiyun Iebih Mementingkan Perkara-Perkara Furu’ (Cabang, Remeh) Ketimbang Perkara Ashl (pokok).

Jawaban Syaikh :

“Ini merupakan kedustaan serta bualan mereka. Sesungguhnya da’wah Salafiyah -alhamdulillah- mengimani Islam seluruhnya, tanpa pilih-pilih, berdasarkan firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah.” (Al- Baqoroh : 208)

Dan juga dengan firman Allah yang lain, yang mencela orang yang mengambil (mengamalkan) agama hanya menurut selera hawa nafsu.

“Apakah kalian mengimani sebagian dari kitab, dan mengkufuri sebagiannya?”(Al-Baqarah 85)

Kewajiban terpenting dalam da’wah Salafiyah adalah tauhid, menghambakan makhluk kepada Rabbnya, mentarbiyah (membina) umat di atas manhaj Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam, dan memberikan perhatian terhadap sunnah-sunnah yang sudah mulai ditinggalkan lalu menghidupkannya kembali. 

Semua itu merupakan bagian dari program dan manhaj da’wah Salafiyah. Tetapi sebagian orang-orang yang menyelisihi da’wah Salafiyah ini ada yang menganggap sunnah-sunnah Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam, seperti: siwak, memanjangkan jenggot, meninggikan kain di atas mata kaki, sutrah dan lainnya, sebagai perkara “qusyur” (remeh/kulit).

“Sangat buruk kalimat yang keluar dari mulut-mulut mereka, tidaklah yang mereka ucapkan melainkan kedustaan.”(al-Kahfi: 5)

Orang-orang yang bingung itu tidak tahu, bahwa Islam itu semuanya lubab (inti), sehingga persepsi dan pikiran mereka yang busuk menganggapnya sebagai “qusyur”.

Padahal semua yang dibawa oleh wahyu (Al-Kitab dan As-Sunnah) adalah haq dan lubab (inti), orang yang memperolok-olok sesuatu darinya maka dia kafir. Sedangkan orang yang menyebut sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah dengan “qusyur” (kulit, hal remeh) yang dapat dibuang, maka dia berada di pinggir jurang yang dalam.

SYUBHAT KETIGA: Dakwah Salafiyah Tidak Memberikan Perhatian Terhadap Masalah-Masalah Politik, Bahkan Meninggalkannya Sama Sekali.

Syaikh menjawab:

Ini juga merupakan kedustaan yang nyata. Karena menurut Salafiyin, perkara politik termasuk dalam urusan dien. Tetapi politik yang mana?

Apakah politik koran-koran, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita milik Yahudi dan Nashari? Ataukah politik Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam dan para sahabatnya?

Apakah politik demokrasi, yang mereka dengungkan dengan semboyan orang-orang kafir: “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat?”

Ataukah politik pemeluk Islam yang berprinsip: “Hukum Allah, untuk Allah, berpijak pada Kitabullah dan Sunnah Rasulnya, melalui musyawarah yang dibenarkan oleh Islam?”

Dan apakah politik yang kebenaran diukur dengan banyaknya jari yang terangkat (voting) di Majelis Perwakilan Rakyat, meskipun terkadang voting tersebut menambah kuatnya kemungkaran atau kesyirikan? Ataukah politik sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”. (Yusuf: 40)

Salafiyin tidak ingin meraih al-haq dengan cara yang batil. Karena menurut mereka, sebuah tujuan tidaklah menghalalkan segala cara. Mereka tidak akan berjuang di atas “punggung-punggung babi”, tidak akan minta pertolongan kepada kaum musyrikin, dan selamanya tidak akan berkumpul dengan orang-orang munafiq. Mereka menolak jumlah banyak yang bersifat seperti buih, yang tidak menyandang sifat syar’i sedikitpun.

SYUBHAT KEEMPAT: Salafiyun Bersikap Mudahanah Terhadap Penguasa, Tidak Bicara Al-Haq Secara Terang-Terangan Di Hadapan Mereka.

Jawaban Syaikh:

Di mana Salafiyun yang menempati jabatan-jabatan tinggi, berupa jabatan Menteri, Hakim atau Mufti di negara-negara Islam?

Mencari jabatan seperti itu adalah monopoli ahli bid’ah selama puluhan tahun. Andaikata Salafiyun mau cari muka dan menjual ilmu, niscaya mereka akan meraih apa yang telah diraih selain mereka. Tetapi Salafiyun memandang itu semua sebagai kemunafikan. Bahkan mereka memandang tidak boleh memasuki Majlis Perwakilan Rakyat, agar tidak menjadi jembatan untuk Undang-Undang buatan manusia dan hukum-hukum Thaghut, dan bergelimang dalam kebatilan.

Kalau ada oknum yang menasabkan diri kepada Salafiyah, lalu dia memuji-muji penguasa dengan dusta, mencari muka dengan cara berbasa-basi dan bersikap nifaq, maka hanyalah mewakili dirinya sendiri. Dakwah Salaf serta Salafiyun berlepas diri dari apa yang dia lakukan. Kewajiban Salafiyun terhadap orang seperti itu adalah memberikan nasehat dan mengingatkan, kemudian memboikot dan memberikan peringatan (jika dia enggan, pen).

Salafiyun adalah orang-orang yang membicarakan al-haq secara terang-terangan, penuh dengan hikmah dan nasehat yang baik. Tanpa mengobarkan pengkafiran, menyatakan orang lain durhaka, dan pemberontakan terhadap penguasa.

Dakwah Salaf mengajak untuk memberikan nasehat terhadap penguasa, serta zuhud terhadap apa-apa yang ada pada mereka, yang berupa harta, jabatan, dan kehormatan. Juga mengajak untuk tidak mengobarkan (emosi) terhadap mereka, tidak rakus terhadap singgasana mereka, tidak memberontak melawan mereka. Kecuali jika nampak kekufuran yang nyata pada mereka, dengan terpenuhinya syarat-syarat serta tidak adanya penghalang-penghalang kekafiran. Tetapi hal itu ditetapkan oleh ulama, bukan oleh orang-orang hina yang mengikuti setiap orang yang memanggil.

SYUBHAT KELIMA: Salafiyin suka berlebih-lebihan….!

Jawaban Syaikh:

Adapun kalau yang dimaksud berlebih-lebihan adalah bersungguh-sungguh di dalam alhaq, melaksanakan kawajiban-kewajiban, dan menghidupkan sunnah-sunnah yang sudah mulai ditinggalkan, maka ini adalah haq, bukan aib bagi seorang muslim. Sedangkan yang merupakan aib adalah kalau seseorang meremehkan perkara-perkara agama, membolehkan hal-hal yang diharamkan, serta mengerjakan hal-hal yang melanggar syari’at.

Maka apakah memelihara jenggot yang merupakan Sunnah merupakan sikap berlebihan? Apakah memendekkan kain di atas mata kaki sampai pertengahan betis yang merupakan Sunnah merupakan sikap berlebihan? Apakah mengharamkan jabat-tangan dengan wanita bukan mahram, mengharamkan lagu-lagu dan musik, termasuk berlebih-lebihan? Padahal ulama’ dahulu dan sekarang telah berfatwa dengan hal-hal di atas!

Itu semua hanyalah tuduhan yang dibuatbuat agar manusia menjauhi para da’i Al-Kitab dan As-Sunnah pengikut Salaful Ummah.

Salafiyah tidaklah menyia-nyiakan syari’at ini sedikitpun, tidak meremehkan Sunnah, apapun bentuknya. Sebagaimana hal itu dilakukan oleh harikiyin dan hizbiyin yang menuduh Salafiyin suka mencari-cari masalah ganjil yang mereka namai dengan “qusyur” (perkara kulit) untuk meremehkannya. Keberuntunganlah bagi orang-orang yang asing, yang telah diberitakan oleh Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam, dengan sabdanya:

“Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki sunnah-sunnah Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam yang telah dirusak oleh manusia”.

SYUBHAT KEENAM: Salafiyin Tidak Menaruh Perhatian Terhadap Masalah Jihad.

Syaikh menjawab:

Jihad merupakan puncak syari’at. Ayat-ayat dan hadits-hadits yang menganjurkannya banyak sekali dan sudah terkenal. Tetapi jihad mempunyai kaedah-kaedah, syarat-syarat, dan adab-adab. Salafiyun tidak akan berangkat jihad di bawah bendera jahiliyah, karena jihad tidaklah disyari’atkan kecuali untuk menegakkan syari’at Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

“Sehingga tidak terjadi fitnah, dan agama seluruhnya untuk Allah”.(al-Anfaal: 39)

Untuk berjihad harus ada imam, harus ada bendera Islam. Dan harus ada pembinaan rabbaniyah seputar jihad. Harus ada bekal dan kesiapan. Menurut Salafiyin, jihad haruslah berdasarkan ilmu, keyakinan dan sasaran yang jelas. Jika bendera telah tegak dan tujuan (sasaran) juga jelas, maka Salafiyin tidak akan ketinggalan.

Bumi Palestina, Chehcnya, Afghon, Balkan, Kasmir menjadi saksi bagi mereka di sisi Allah Ta’ala. Mereka mendorong peperangan (jihad) dengan pemahaman seperti ini.

SYUBHAT KETUJUH: Dakwah Salafiyah Memecah Belah Umat Dan Membikin Fitnah.

Jawab Syaikh:

Kenapa dakwah Salaf dituduh demikian?

Karena dakwah ini memisahkan keburukan dari kebajikan, dan itu merupakan tujuan Allah dan Rasul-Nya.

“Agar Allah memisahkan antara kejelekan dengan kebaikan.”(al-Anfaal: 37)

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Katakanlah: “Kebenaran itu dari Rabb kalian, barangsiapa yang ingin, berimanlah dan siapa yang ingin , kufurlah.”” (al-Kahfi: 29)

Ketika seorang da’i Salafi memerangi bid’ah dan ahli bid’ah, langsung dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang keji tersebut. Karena memang di antara prinsip Ahlul Bid’ah adalah mengumpulkan orang dengan membabi buta dengan dalih menjaga persatuan kaum muslimin. Mereka tidak peduli bentuk dan jenisnya, tetapi yang penting kwantitas, bagaimana itu bisa terwujud. Karena itu kamu lihat mereka berbasa-basi di hadapan ahlul bid’ah dan ahli kesesatan. Tetapi mereka tidak mau berdamai dengan Salafiyin. Bahkan mereka memusuhi, mencela, membenci, dan membesar-besarkan kesalahan Salafiyin.

Kami akan senantiasa ingat ucapan salah satu pembesar Ikhwanul Musimin di kota Zarqo’ yang membela Khumaini dan revolusinya serta membantah Salafiyin yang memperingatkan dari firqah Syiah, condong kepadanya. Dia berkata:

“Muslim Syiah yang menegakkan syari’at Allah, lebih utama daripada Sunni Salafi yang tidak menegakkan syari’at, mereka itu perusak.”

Lalu dia memberikan tuduhan-tuduhan bahwa Salafi membuat fitnah dan memecah belah umat.

Maka saya katakan: “Perhatikanlah mereka telah terjatuh ke dalam fitnah, tidaklah mereka mengetahui bahwa Syiah adalah Yahudinya umat ini. Syi’ah adalah firqah yang paling buruk. Karena berbagai perkara yang ada pada mereka, seperti: bid’ah, kesesatan, merubah kitab Allah, mencela sahabat Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam , dan menuduh Aisyah ummul mukminin berzina, padahal Allah telah mensucikannya dari atas langit ke tujuh, Maha Tinggi Allah dengan ketinggiannya yang Agung dari apa yang diucapkan orang-orang dhalim.

Demikian beberapa syubhat diantara banyak syubhat yang dilontarkan oleh sebagian orang kepada dakwah salafiyah dan bantahannya. Mudahan-mudahan Allah memudahkan bagi kita untuk mengenal yang hak sebagai sebuah kebenaran dan semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk melaksanakannya.

(Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VI/1423H/2002M

Bismillahirrohmanirrohim

Ustadz Kholid Syamhudi. lc

Shalat berjama’ah memiliki adab dan hukum-hukum yang terkait dan berhubungan dengannya. Semua ini karena arti penting dan kedudukannya dalam islam. Padahal pada kenyataannya banyak kaum muslimin yang belum mengetahui hal ini, sehingga banyak dijumpai mereka shalat berjama’ah tanpa memperhatikan adab dan hokum yang terkait. Akhirnya mereka terjerumus kedalam kesalahan dan dosa bahkan dalam kebid’ahan.

Batasan minimal peserta shalat berjama’ah.

Batasan minimal untuk shalat jama’ah adalah dua orang, seorang imam dan seorang makmum. Jumlah ini telah disepakati para ulama, sehingga Ibnu Qudamah menyatakan: “Shalat jama’ah dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kami belum menemukan perbedaan pendapat dalam masalah ini”[1].

Demikian juga Ibnu Hubairah menyatakan: “Para ulama bersepakat batasan minimal shalat jama’ah adalah dua orang, yaitu imam dan seorang makmum yang berdiri disebelah kanannya”.[2]

Shalat berjama’ah sah walaupun makmumnya seorang anak kecil atau wanita, berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu yang berbunyi:

بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَقُمْتُ أُصَلِّي مَعَهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِرَأْسِي فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ

“Aku tidur dirumah bibiku, lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bangun mengerjakan shalat malam. Lalu aku turut shalat bersamanya dan berdiri disamping kirinya. Kemudian beliau meraih kepalaku dan memindahkanku kesamping kanannya”[3] 

Demikian juga hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat mengimami dia dan ibunya. Anas berkata: “Beliau menempatkanku disebelah kanannya dan wanita (ibunya) dibelakang kami”[4]

Semakin banyak jumlah makmum semakin besar pahalanya dan semakin Allah sukai, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Shalat besama orang lain lebih baik dari shalat sendirian. Shalat bersama dua orang lebih baik dari shalat bersama seorang. Semakin banyak (yang shalat) semakim disukai Allah Ta’ala”[5] 

Hadits ini jelas menunjukkan semakin banyak jumlah jama’ahnya semakin lebih utama dan lebih disukai Allah Ta’ala.

Demikian juga seorang anak kecil yang telah mumayiz boleh menjadi imam menurut pendapat yang rojih. Hal ini berdasarkan hadits Amru bin Salamah Radhiallahu’anhu yang berbunyi:

فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ

“Ketika terjadi penaklukan kota Makkah, setiap kaum datang menyatakan keislaman mereka. Bapakku datang menyatakan keislaman kaumku. Ketika beliau pulang beliau berkata: “Demi Allah Aku membawakan kepada kalian kebenaran dari sisi Rasulullah”. Lalu berkata: “Shalatlah kalian shalat ini pada waktu ini dan shalatlah ini pada waktu ini. Jika telah masuk waktu shalat, hnedaklah salah seorang kalian beradzan dan orang yang paling banyak hafalan qur’annya yang mengimami. Lalu mereka mencari (imam). Ternyata tidak ada seorangpun yang lebih banyak dariku hafalan Al Qur’annya. Lalu mereka menunjukku sebagai imam dan aku pada waktu itu berusia enam atau tujuh tahun”[6]

Kapan dikatakan mendapati shalat berjama’ah?

Gambaran permasalahan ini adalah seorang datang kemasjid untuk shalat berjama’ah. Kemudian mendapati imam ber-tasyahud akhir, lalu ber-takbiratul ihram. Apakah masbuq tersebut dikatakan mendapatkan pahala berjama’ah bersama imam ataukah dianggap sebagai shalat sendirian (munfarid)?.

Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:

Pertama: Shalat jama’ah didapatkan dengan takbir sebelum imam salam.

Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafiiyah.

Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda:

إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمْالسَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

“Jika shalat telah diiqamati, maka janganlahmendatanginya denga nberlari, datangilah dengan berjalan. Kalian harus tenang. Apa yang kalian dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan sempurnakanlah”[7] 

Dalam hadits ini dinyatakan orang yang mendapatkan imam dalam keadaan sujud atau duduk tasyahud akhir sebagai orang yang mendapatkan, lalu menyempurnakan yang terlewatkan, sehingga orang yang bertakbir ihrom sebelum imam salam dikatakan mendapati shalat jama’ah.

Kedua: Membedakan antara jum’at dan jama’ah. Jika shalat jum’at melihat kepada raka’at dan jama’ah melihat kepada takbir.

Bermakna dalam shalat jum’at seseorang dikatakan mendapati shalat jum’at bersama imam bila mendapati satu raka’at bersama imam. Dikatakan mendapatkan jama’ah bila bertakbir sebelum imam mengucapkan salam. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i.[8]

Ketiga: Dikatakan mendapati shalat berjama’ah bila mendapati satu rakaat bersama imam.

Ini pendapat madzhab Malikiyah, Imam Ghazaaliy dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Muhammad bin Abdil Wahab dan Abdurrahman bin Naashir As Sa’di telah merajihkannya.[9]

Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau berkata:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

“Siapa yang mendapatkan raka’at dari shalat maka telah mendapatkan shalat”[10] dan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

“Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat jum’at atau selainnya maka telah mendapatkan shalat”.[11]

Sedangkan rakaat dilihat dari ruku’nya sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah yang marfu’ :

إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

“Jika kalian berangkat shalat dan menemukan kami sedang sujud maka bersujudlah dan jangan dihitung sebagai rakaat. Barang siapa yang mendapatkan raka’at maka telah mendapatkan shalat”[12] 

Mereka menyatakan: “Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat jum’at atau selainnya maka mendapatkan shalat. Demikian juga Shalat jama’ah tidak dianggap mendapatinya kecuali dengan mendapat satu raka’at”.[13]

Pendapat ini dirajihkan Syaikhul Islam dalam pernyataan beliau: “Yang benar adalah pendapat ini, karena hal berikut:

1. Menurut syari’at, dalam hal ini takbir tidaklah berkaitan dengan hukum apapun, tidak berkaitan dengan waktu dan tidak pula dengan jum’at atau jama’ah atau yang lainnya. Takbir disini adalah sifat yang tidak terkait dengan hukum apapun (Washfun Mulgha) dalam tinjauan syari’at. Maka dari itu tidak boleh menggunakannya sebagai hujjah.

2. Syari’at hanya mengaitkan status dapat tidaknya shalat berjama’ah dengan mendapati raka’at. Pengaitannya dengan takbir akan meniadakannya.

3. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengaitkan dapatnya shalat berjama’ah bersama imam dengan raka’at. Ini adalah nash permasalahan.

4. Jum’at tidak didapati seseorang kecuali mendapati raka’at, demikianlah fatwa sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diantaranya; Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Anas dan yang lainnya. Tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi meeka dalam hal ini. Bahkan sebagian ulama menyatakan hal ini merupakan ijma’ sahabat. Pemisahan hukum jum’at dengan jama’ah disini tidak benar. Oleh karena itu Abu Hanifah meninggalkan ushulnya dan membedakan keduanya. Tapi hadits dan atsar sahabat membatalkan pendapat beliau.

5. Bila tidak mendapati satu raka’atpun bersama imam, maka tidaklah dianggap mendapati jama’ah. Karena ia menyelesaikan seluruh bagian shalatnya dengan sendirian. Ia tidak terhitung mendapati satupun bagian shalat bersama imam, seluruh bagian shalat dia kerjakan sendirian.[14]

Pendapat ini adalah pendapat yang rajih, Wallahu a’lam bish Shawaab.

Hukum Berjama’ah Dalam Shalat Nafilah.[15]

Shalat nafilah (shalat tathawu’) sangat penting bagi seorang muslim, bahkan ia merupakan pelengkap dan penyempurna shalat fardhu. Melihat pentingnya permasalahan ini perlu diketahui secara jelas hukum seputar jama’ah dalam shalat nafilah.

Nafilah bila ditinjau dari pensyari’atan jama’ah padanya terbagi menjadi dua;

A. Shalat nafilah yang disyari’atkan padanya jama’ah

Shalat nafilah yang disunnahkan berjama’ah adalah:

1. Shalat Kusuf (Shalat gerhana matahari).

Shalat ini disunnahkan berjama’ah dengan kesepakatan para fuqaaha’. Sedangkan shalat gerhana bulan terdapat perselisihan para ulama padanya. Imam Abu Hanifah dan Malik menyatakan tidak disunnahkan, sedangkan imam Syafi’I dan Ahmad menyatakan sunnahnya.

2. Shalat Istisqa’

Disunnahkan berjamaah menurut madzhab Malikiyah, Syafiiyah, Hambaliyah dan dua murid Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat tidak disunnahkannya berjama’ah.

3. Shalat Ied

Disunnahkan berjamaah secara ijma’ kaum muslimin.

4. Shalat Tarawih

B. Shalat nafilah yang tidak disyari’atkan berjama’ah.

Shalat yang disyariatkan melakukannya sendirian tidak berjama’ah sangat banyak sekali, diantaranya shalat rawatib, shalat sunnah mutlaqoh dan yang disunnahkan di setiap malam dan siang.

Tentang hukum melakukan shalat-shalat tersebut berjama’ah terjadi peselisihan diantara para ulama.

Madzhab Syafiiyah dan Hambaliyah memperbolehkan berjama’ah, Madzhab Hanafiyah memakruhkannya dan madzhab Malikiyah membolehkan berjama’ah kecuali sunnah rawatib sebelum subuh. Mereka nyatakan hal itu menyelisihi yang lebih utama, selebihnya boleh dengan syarat jama’ahnya tidak banyak dan tidak ditempat yang terkenal, karena takut terjadi riya’ dan munculnya anggapan bahwa hak itu wajib.

Akan tetapi yang benar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam , beliau pernah melakukan kedua-duanya. Pernah meklakukan shalat sunnah tersebut dengan berjama’ah dan sendirian. Sebagaimana riwayat berikut ini:

a.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ

“Dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu beliau menyatakan bahwa neneknya yang bernama Mualikah mengundang Rasulullah makan-makan yang dibuatnya. Lalu Rasulullah memakannya dan berkata: “bangkitlah kalian, aku akan shalat berjama’ah bersama kalian”. Anas berkata: aku mengambil tikarkami yang telah berwarna hitam karena lamanya pemakaian dan rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bangkit. Aku dan seorang anak yatim membuat shof dibelakang beliau, sedang orang-orang tua wanita berdiri dibelakang kami. Rasulullah shalat dua raka’at kemudian pergi”[16] 

b.عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ فِي مَنْزِلِهِ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ لَكَ مِنْ بَيْتِكَ قَالَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى مَكَانٍ فَكَبَّرَ  النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْنَا خَلْفَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ

“Dari Utbaan bin Maalik bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mendatanginya di rumahnya, lalu berkata: “Dimana dari rumahmu ini yang kamu suka aku shalat untuk mu”. Lalu aku tunjukkan satu tempat. Kemudian beliau bertakbir dan kami membuat shof dibelakangnya. Beliau shalat dua raka’at”[17]

Demikian juga Syaikh Shalih As Sadlaan me-rajih-kan pendapat kebolehannya dengan syarat, sebagaimana pernyataan beliau: “Yang benar dari yang telah kami sampaikan, nafilah boleh dilakukan dengan berjama’ah. Baik nafilahnya adalah sunnah rawatib atau sunnah mustahabbah atau tathawu’ mutlaq. Tapi dengan syarat tidak menjadikannya satu kebiasaan, tidak ditampakkan secara terang-terangan dan dilakukan karena satu sebab seperti diminta tuan rumah atau kerena berbarengan dalam menunaikan sunah, seperti tamu ketika bertamu, seandainya dia dan tuan rumahnya shalat witir berjama’ah, dengan syarat tidak timbul kebid’ahan atau perkara yang tidak dibolehkan oleh Syari’at. Jika terjadi satu dari yang telah disebutkan maka tidak disyari’atkan berjama’ah”.[18]

Kesimpulannya dibolehkan melaksanakan shalat sunnah berjama’ah selama tidak menimbulkan kebid’ahan atau pelanggaran syari’at dan dibutuhkan untuk itu. Wallahu a’lam.

Udzur Yang Memperbolehkan Tidak Menghadiri Shalat Berjama’ah

Diperbolehkan tidak menghadiri shalat berjama’ah dengan sebab-sebab tertentu. Diantara sebab-sebab tersebut:

1. Dingin dan hujan.

Berdasarkan hadits dari Nafi’, beliau berkata:

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ ذَاتُ بَرْدٍ وَمَطَرٍ يَقُولُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ

“Sesungguhnya Ibnu Umar beradzan untuk shalat pada malam yang dingin dan berangin kencang, kemudian berkata: “Ala Shollu Fi Rihaalikum (Shalatlah kalian di rumah kalian)”. Lalu beliau berkata: “Sesuangguhnya Raasululloh memerintahkan muadzin jika malam dingin dan berhujan mengatakan: “Ala Shollu Firihaal”.(Mutafaqun Alaihi).

2. Sakit yang memberatkan penderitanya menghadiri jama’ah.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu“ (QS. Al Hajj 78)

dan Sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit dan tidak bisa mengimami shalat beberapa hari:

مُرُوْا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ

“Perintahkanlah Abu Bakr agar mengimami manusia”[19]

Ibnu Hazm berkata: “Ini tidak diperselisihkan”[20]

3. Kondisi tidak aman yang dapat membahayakan diri, harta dan kehormatannya.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
 
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al Baqarah 286)
dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

“Barang siapa yang mendengar adzan lalu tidak datang maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur”[21]

Dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan tafsir udzur disini dengan sakit atau rasa takut (situasi tidak aman). [22]

4. Saat makanan telah dihidangkan dan menahan hajat kecil atau besar.

Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

“Tidak boleh shalat saat makanan dihidangkan dan tidak pula ketika menahan buang hajat kecil dan besar”[23]

5. Ketiduran

Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِالْأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا

“Bukanlah ketiduran tafrith (tercela), akan tetapi tafrith hanya pada orang yang tidak shalat sampai datang waktu shalat yang lainnya. Barang siapa yang berbuat demikian maka hendaklah shalat ketika sadar” [24]

Demikianlah sebagian perkara yang penting yang berhubungan dengan shalat jama’ah. Semoga bermanfaat.

Wallahu'alam

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
________________________________________
[1] Al Mughni, 3/7.
[2] Al Ifshah An Ma’aanish Shihaah, 1/155, dinukil dari Shalatul Jam’ah karya Prof. DR. Shalih bin Ghaanim Assadlaan hal 47. lihat juga pernyataan kesepakatan ini dalam Raudhatun Nadiyah karya Shidiq Hasan Khan, 1/308.
[3] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Ma Ja’a fil Witri, no 937
[4] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, bab Jawaazu Al Jama’ah fin Nafilah wash Shalat Ala Hashiir Wa Khamrah no. 1056.
[5] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat bab Fi Fadhli Shalatul Jama’ah no.467, An-Nasaa’i dalam sunannya kitab Al Imamah bab Al jama’ah idza kaana Itsnaini no.834, Ahmad dalam Musnad-nya no.20312 dan Al Haakim dalam Mustadrak-nya 3/269. Hadits ini di-shahih-kan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, 2/366-367, no. 1477.
[6] Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Maghaaziy no. 3963.
[7] Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam Shahih-nya
[8] Lihat Majmu’ Fatawa, 23/331.
[9] Lihat Shalatul Jama’ah hal 50. tentang tarjih mereka ini dapat dilihat dalam kitab Adaab Al Masyi Ila Shalat hal 29 dan Al Mukhtaraat Al Jaliyah Fil Masaail Al Fiqhiyah (dalam Al Majmu’ah Al Kaamilah Li Mualafat Syeikh Abdurrahman bin Naashir Assa’diy, 2/109).
[10] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya kitab Mawaaqitus Shalat bab Man Adraka Minas Shalat Rakaat no.546 dan Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat, Bab Man Adraka Minas Shalat Rakaat Faqad Adraaka Shalat no. 954
[11] Diriwayatkan oleh An Nasaa’i dalam Sunan-nya kitab Al Mawaaqit Bab Man Adraka Rak’atan Minas Shalat no. 554, Ibnu Maajah dalam Sunan-nya, kitab Iqamatush Shalat Was Sunnah Fiha, bab Ma Ja’a Fiman Adraka Minal Jum’at Rak’atan no.1113 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya 3/173.
[12] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya kitab Ash Shalat Bab Fi Rajuli Yudrikul Imam Sajidan Kaifa Yasna’ no. 759
[13] Lihat Shalatul Jama’ah hal 51.
[14] Majmu’ Fatawa, 23/331-332 dengan sedikit pemotongan.
[15] Diringkas dari Shalatul Jama’ah, karya Syaikh Shalih As Sadlaan hal 74-78 dengan beberapa perubahan.
[16] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi’ Shalat bab Jawaazu Al Jama’ah Fin Nafilah was Shalat Ala Hashiir wa Khomrah no. 1053
[17] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya kitab Ash Shalat bab Idza Dahola Baitan Haitsu Syaa no. 406.
[18] Shalatul Jama’ah hal 77-78.
[19] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya
[20] Al Muhalla, 4/351.
[21] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masaajid wal Jama’ah, bab At Taghlidz fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah no. 785. hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Maajah no. 631.
[22] Dibawakan oleh penulis kitab Shalat Jama’ah hal 199 dan dinisbatkan kepada Sunan Al Kubra Al Baihaqi, 1/185.
[23] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi Shalat bab Karahatus Shalat Bi Hadhratith Tho’aam no. 869.
[24] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Al Masaajid wa Mawaadhi Shalat, bab Qadha’ Shalat Fawaait no. 1099