Peran Niat Dalam Amal 1

Diposting oleh abufawwaz | 08.14 | , , | 0 komentar »

Al-Ustadz Abul ‘Abbas Khalid Syamhudi, Lc

Bismillahirrohmanirrohim

Matan Hadits

ﻋﻥ ﺃﻤﻴﺭﺍﻟﻤﺅﻤﻨﻴﻥ ﺃﺒﻲ ﺤﻔﺹ ﻋﻤﺭﺒﻥ ﺍﻟﺨﻁﺎ ﺒﻥ ﻨﻔﻴﻝ ﺒﻥﻋﺒﺩ ﺍﻟﻌﺯﻯ ﺒﻥ ﺭﻴﺎﺡ ﺒﻥﻋﺒﺩﺍﷲ ﺒﻥ ﻗﺭﻁ ﺒﻥ ﺭﺯﺍﺡ ﺒﻥﻋﺩﻱ ﺒﻥ ﻜﻌﺏ ﺒﻥ ﻟﺅ ﻱ ﺒﻥﻏﺎﻟﺏ ﺍﻟﻗﺭﺸﻲ ﺍﻟﻌﺩﻭﻱ ﺭﻀﻲ ﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺴﻤﻌﺕ ﺭﺴﻭﻝ ﷲ ﺼﻟﻰﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻴﻘﻭﻝ ﺇﻨﻤﺎ ﺍﻋﻤﺎﻝ ﺒﺎ ﺍﻟﻨﻴﺎﺕ ﻭﺍﺇﻨﻤﺎ ﻟﻜﻝﺍﻤﺭﻤﺎﻨﻭﻯ ﻓﻤﻥ ﻜﺎﻨﺕ ﻫﺠﺭﺘﻪ ﺇﻟﻰﺍﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﻓﻬﺠﺭﺘﻪ ﺇ ﻟﻰﺍﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﻓﻬﺠﺭﺘﻪ ﺍﻟﻰ ﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﻭﻤﻥ ﻜﺎﻨﺕ ﻫﺠﺭﺘﻪ ﻟﺩﻨﻴﺎ ﻴﺼﻴﺒﻬﺎ ﺃﻭﻤﺭﺃﺓ ﻴﻨﻜﺤﻬﺎ ﻓﻬﺠﺭﺘﻪ ﺇﻟﻰ ﻤﺎ ﻫﺎﺠﺭﺇﻟﻴﻪ ﴿ﻤﺘﻔﻕﻋﻠﻴﻪ

”Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat, dan sesungguhnya seseorang itu hanya akan mendapat kan balasan sebagaimana niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka (pahala) hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya diniatkan untuk kepentingan harta dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya akan dibalas sebagaimana yang ia niatkan.” (HSR. Bukhari dan Muslim dalam kedua Shahih-nya)
Takhrij Hadits

Hadits di atas diriwayatkan oleh:
  1. Bukhari, Kitab Bad’ul Wahyu no. 1, dalam Kitabul Iman no. 54, ada beberapa tempat dalam Shahih-nya, seperti kitab Al-‘Itq, dan lainnya (Fat-hul Bari, I/9, 135).
  2. Muslim, Kitabul Imarah, Bab Innamal A’malu bin Niyyat, no. 1907.
  3. Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kitabut Thalaq, Bab Fi Ma ‘Uniya Bihi at Thalaq wan Niyat, no. 2201.
  4. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Fadha-ilul Jihad, Bab Man Ja’a fi Man Yuqatilu Riya’an Wa liddunya, no. 1647.
  5. An Nasa-i dalam Sunan-nya, Kitab Ath-Thaharah, Bab An-Niyyah fil Wudhu’ (I/59-60).
  6. Ibnu Majah dalam Sunan-nya, Kitab Az-Zuhd, Bab An-Niyyah, no. 4227.
  7. Ahmad di dalam Musnad-nya (I/25, 43).
  8. Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa, no. 64.
  9.  Baihaqi dalam Sunan-nya (IV/235), Bab Man Ughniya ‘Alaihi fi Ayyam min Syahri Ramadhan.
  10. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Daruquthni (I/136), Ibnu Khuzaimah (1/232 no. 455), Ibnu Hibban (at Ta’liqatul Hisan ‘Ala Shahih Ibni Hibban, no. 389) dan yang lainnya.

Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat tahun 795 H) mengatakan: “Hadits ini (adalah) hadits fard (gharib), hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id al-Anshari dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari ‘Alqamah bin Abi Waqqas al-Laitsi dari Umar bin Khaththab. Tidak Ada jalan lain yang shahih selain jalan ini, menurut pendapat Ali Ibnul Madini dan lainnya.”

Imam Al-Khaththabi berkata: “Aku tidak mengetahui adanya khilaf di kalangan ahli hadits tentang masalah itu. Meskipun ada riwayat dari jalan Abu Sa’id al-Khudri dan lainnya, akan tetapi tidak satupun yang shahih menurut para huffazh (imam- imam ahli hadits).” (Jami’ul ‘Uluum Wal Hikam, I/60 dan Iqazhul Himam, hlm. 28). 

Imam Bazzar berkata, ”Abu As-Sakan, Muhammad bin I’tab, Ibnul Jauzi dan selain mereka mengatakan, bahwa tidak ada satu pun hadits yang sah (tentang hadits innamal a’malu bin niyat) dari seorang sahabat, melainkan dari Umar bin Khaththab saja.” (At-Talkhisul Habir, 1/92, Cet. I Muassassah Qurthubah, Th. 1416 H).

Jadi pendapat jumhur ahli hadits menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits ahad, tidak mencapai derajat mutawatir, meskipun yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id Al Anshari banyak sekali, karena dari sahabat Umar bin Khaththab sampai kepada Yahya bin Sa’id hanya terdapat satu jalan. 

Asbabul Wurud Hadits

Tentang asbabul wurud hadits (sebab datangnya hadits) diriwayatkan, ada seorang wanita bernama Ummu Qais sudah dilamar oleh seseorang, dan dia tidak mau dinikahi sampai calon suaminya hijrah. Lalu ia hijrah dan kami menamakan orang tersebut dengan muhajir Ummu Qais. Kisah ini banyak ditulis dalam beberapa kitab, akan tetapi tidak ada asalnya yang shahih. Wallahu’allam. (Jami’ul Ulum Wal Hikam, I/24 dan Iqazhul Himam, hlm. 37). 

Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani: “…Tetapi tidak ada riwayat yang shahih yang menjelaskan hadits innamal a’malu sebabnya karena itu (karena Ummu Qais). 

Aku tidak melihat sedikitpun dari jalan-jalan hadits yang jelas tentang masalah itu.” (Fat-hul Bari, I/10).

Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali membenarkan perkataan Ibnu Rajab, bahwa kisah asbabul wurud hadits di atas tidak benar. (Iqazhul Himam Al-Muntaqa Fi Jami’il Ulum Wal Hikam, hlm. 37).

Kedudukan Hadits

Banyak perkataan ulama tentang hadits ini, di antaranya:

 Imam Nawawi berkata, ”Kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) tentang tingginya hadits ini dan sangat banyak manfaatnya.” •

 Imam Syafi’i berkata, ”Hadits ini merupakan sepertiga ilmu dan masuk dalam tujuh puluh bab masalah fiqh.” (Syarah Shahih Muslim, XIII/53). •

 Imam Abdurrahman bin Mahdi (wafat th. 198 H) berkata, ”Hadits tentang niat masuk dalam tiga puluh bab masalah ilmu.” (Tuhfatul Ahwadzi, V/286). Kata beliau juga: “Selayaknya bagi orang yang menyusun satu kitab, hendaknya dimulai dengan hadits ini untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar meluruskan dan memperbaiki niatnya.” (Syarah Muslim, XIII/53; Jami’ul Ulum Wal Hikam, I/61). Imam Bukhari pun memulai kitabnya dengan hadits ini. 

 Abu Abdillah mengatakan, ”Tidak ada satupun hadits yang paling mencakup berbagai masalah dan paling banyak manfaatnya, melainkan hadits ini.” (Tuhfatul Ahwadzi V/286). • 

 Abdurrahman bin Mahdi, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ali Ibnu Madini, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Daruquthni, dan Hamzah Al-Kinani, semuanya bersepakat bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu. (Fat-hul Bari, I/11). Yang dimaksud dengan sepertiga ilmu ialah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa pokok-pokok Islam datang dari tiga hadits, yaitu: 

1. Hadits Umar:ﺇﻨﻤﺎﻷﻋﻤﺎﻝﺒﺎﺍﻟﻨﻴﺎﺕ
2. Hadits ‘Aisyah: ﻤﻥﺃﺤﺩﺙ ﻓﻰﺃﻤﺭﻨﺎﻫﺫﺍ
3. Hadits Nu’man bin Basyir : ﺇﻥﺍﻟﺤﻼ ﻝ ﺒﻴﻥ ﻭﺇﻥﺍﻟﺤﺭﺍﻡ ﺒﻴﻥ(Iqazhul Himam, hlm. 29).

 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, ”Makna yang ditunjukkan hadits ini merupakan pokok penting dari prinsip-prinsip agama, bahkan merupakan pokok dari setiap amal.” (Majmu’ Fatawa, XVIII/249). Sebagian ulama berpendapat, pokok-pokok agama terdapat dalam empat hadits dikarenakan melihat urgensi dari hadits-hadits tersebut.

 Imam Syaukani berkata, ”Hadits ini mempunyai faidah yang sangat banyak, dan tidak cukup untuk saya jelaskan di sini. Meskipun hadits ini gharib, namun layak ditulis (dibahas) dalam satu kitab tersendiri.” (Nailul Authar, I/159).

Makna Hadits

ﺇﻨﻤﺎﺍﻷﻋﻤﺎﻝ (innama) susunan seperti ini menunjukan pengertian hashr ﺍﻟﺤﺼﺭpembatasan, yang diartikan dengan “hanya”, maka hashr ialah, menetapkan hukum yang disebutkan dan menafikan yang selainnya. (Qawaa-id wa Fawaa-id minal Arba’in an-Nawawiyah, hal. 25).

ﺍﻷﻋﻤﺎﻝartinya, “amal-amal”. Kata jamak dari yang diawali dengan alif lam, ﺍﻝyang menunjukkan arti istighraq yang berarti seluruh amal. Yang dimaksud adalah amal-amal syar’i yang membutuhkan niat. Adapun yang tidak, seperti kebiasaan makan, minum, berpakaian dan yang lainnya, atau seperti mengembalikan amanah dan tanggung jawab, atau menghilangkan najis, maka, tidak membutuhkan niat. Akan tetapi ada ganjarannya bagi yang berniat untuk taqarrub kepada Allah. (Ibid, hal. 26, Iqadhul Himam al-Muntaqa min Jami’il ‘Uluum wal Hikaam, hal. 30-31). 

Jadi maknanya, setiap amal harus ada niat dan tidak ada amal tanpa niat. (Nailul Authar 1/157).

Bisa juga ِ ﺇﻨﻤﺎﺍﻷﻋﻤﺎﻝ diartikan bahwa amal itu menjadi baik, buruk, diterima, ditolak, diganjar atau tidak, itu tergantung dari niatnya. Artinya, baik dan buruknya amal tergantung niat. (Iqadhul Himam, hal. 31). 

ﺍﻟﻨﻴﺎﺕ jamak dari ﻨﻴﺔ Dalam bahasa diartikan ﺍﻟﻘﺼﺩ (tujuan), yaitu hati menyengaja secara sadar terhadap apa yang dituju (dimaksud) mengerjakannya.

ﻨﻭﻯ– ﻴﻨﻭﻱ ﻭﻫﻭﻋﺯﻡ ﺍﻟﻘﻠﺏ ﻋﻠﻰﺃﻤﺭﻤﻥ ﻷﻤﻭﺭ

(Kehendak hati untuk mengerjakan suatu perkara). (Lisanul ‘Arab libni Manzhur 14/343, cet. Daar Ihya at Turats Al ‘Arabi, Mu’jamul Wasith 2/965). 

Al-Baidhawi berkata, ”Niat adalah dorongan hati yang dilihat sesuai dengan suatu tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau mendatangkan mudharat dari sisi kondisi atau tempat. (Fat-hul Baari 1/13). Ada yang berpendapat, niat adalah, menuju sesuatu yang dibarengi dengan mengerjakannya.” (Bahjatun Nazhirin 1/31 dan Syarah Hadits Arba’in oleh Imam Nawawi hal. 17). ﹶﺇﻨﻤﺎ ﻟﻜﻝ ﺍﻤﺭﻤﺎ ﻨﻭﻰ…

Sesungguhnya setiap orang akan memperoleh dari Allah sesuai dengan apa yang diniatkan. Jika berniat baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Dan jika berniat jelek, maka ia akan memperoleh balasan kejelekan pula. (Bahjatun Nazhirin 1/31 dan Syarah Hadits Arba’in oleh Imam Nawawi hal. 17). 

ﻓﻤﻥ ﻜﺎﻨﺕ ﻫﺠﺭﺘﻪ ﺇﻟﻰﺍﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﻓﻬﺠﺭﺘﻪ ﺇ ﻟﻰﺍﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﻓﻬﺠﺭﺘﻪ ﺍﻟﻰ ﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﻭﻤﻥ ﻜﺎﻨﺕ ﻫﺠﺭﺘﻪ ﻟﺩﻨﻴﺎ ﻴﺼﻴﺒﻬﺎ ﺃﻭﻤﺭﺃﺓ ﻴﻨﻜﺤﻬﺎ ﻓﻬﺠﺭﺘﻪ ﺇﻟﻰ ﻤﺎ ﻫﺎﺠﺭﺇﻟﻴﻪ ﴿ﻤﺘﻔﻕﻋﻠﻴﻪ

“Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Da barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan diperoleh atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya menurut apa yang ia hijrah kepadanya.” 

Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, “Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa amal-amal tergantung dengan niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuatu tergantung dari niatnya, baik atau buruk; dua kalimat ini merupakan dua kaidah yang mencakup dan merupakan contoh perbuatan yang bentuknya sama, akan tetapi berbeda hasilnya.


Rusaknya amal itu tergantung dari niat. Ada orang yang hijrah ke negeri Islam, karena harta dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya menurut niatnya. 

Yang pertama adalah tajir (pedagang), dan yang kedua adalah khathib (peminang). Keduanya bukan muhajir (orang yang berhijrah) yang sebenarnya.” (Iqazhul Himam hal. 36-37).

ﺇﻟﻰﻤﺎﻫﺎﺠﺭﺇﻟﻴﻪ

Menurut apa yang ia hijrah kepadanya. Hal ini menunjukkan jelek dan hinanya orang yang hijrah karena harta dan wanita. (Iqazhul Himam hal. 36-37).

ﺃﻟﻬﺠﺭﺓ Asal maknanya ialah ﺘﺭﻙﺍﻟﺸﻲﺀ yaitu meninggalkan sesuatu.

Sedangkan menurut istilah syar’i ialah, ِﻫﺠﺭﺍﻥ ﺒﻠﺩ ﺍﻟﺸﺭﻙ ﻭﺍﻹﻨﺘﻘﺎﻝ ﻤﻨﻪ ﺇﻟﻰ ﺩﺍﺭﺍﻹﺴﻼﻡ

( Pindah dari negeri kafir ke negeri Islam). Oleh para ulama, hijrah ini dibagi menjadi beberapa bagian. Hijrah tetap berlaku selama musuh masih diperangi, sebagaimana taubat masih diterima sampai atahari terbit dari barat. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


ﻻ ﺘﻨﻘﻁﻊ ﺍﻟﻬﺠﺭﺓ ﺤﺘﻰ ﺘﻨﻘﻁﻊ ﺍﻟﺘﻭﺒﺔ ﻭﻻ ﺘﻨﻘﻁﻊ ﺍﻟﺘﻭﺒﺔ ﺤﺘﻰ ﺘﻁﻠﻊ ﺍﻟﺸﻤﺱ ﻤﻥ ﻤﻐﺭﺒﻬﺎ

Tidak akan terhapus hijrah sampai tidak ada lagi taubat yang diterima, dan tidaklah berhenti taubat itu diterima sampai matahari terbit dari barat. (HR. Ahmad, IV/99; Abu Dawud, no. 2479 dan Ad Darimi, II/239-240 dari sahabat Mu’awiyah z, shahih) 

Penjelasan Hadits

Tidak diragukan lagi, niat itu merupakan neraca bagi sahnya suatu perbuatan. Niat merupakan kehendak yang pasti, sekalipun tidak disertai dengan amal. Maka dari itu, kadang-kadang kehendak ini merupakan niat yang baik lagi terpuji, dan kadang merupakan niat yang buruk lagi tercela. 

Hal ini tergantung dari apa yang diniatkan, dan juga tergantung kepada pendorong dan pemicunya; Apakah untuk dunia ataukah untuk akhirat? Apakah untuk mencari keridhaan Allah, ataukah untuk mencari keridhaan manusia? Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ﺜﻡ ﻴﺒﻌﺜﻭﻥ ﻨﻴﺎ ﺘﻬﻡ …Kemudian mereka dibangkit kan menurut niat mereka… (HR. Ibnu Majah, no. 4229 dan Ahmad, II/392) 

Karena peranan niat dalam mengarahkan amal menentukan bentuk dan bobotnya, maka para ulama menyimpulkan banyak kaidah fiqh yang diambil dari hadits ini, yang merupakan kaidah yang luas. Diantara kaidah itu ialah: ﺍﻷﻤﻭﺭﺒﻤﻘﺎ ﺼﺩﻫﺎ (suatu perkara tergantung dari tujuan niatnya).
Niat dan Tujuan Syariat

Imam Ibnul Qayyim berkata, ”Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak.” (I’lamul Muwaqqi’in VI/106, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan dua kalimat yang sangat dalam maknanya, yaitu, sesungguhnya amal-amal bergantung kepada niat dan seseorang memperoleh apa yang diniat kan.

Dalam kalimat pertama, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, amal tidak ada artinya tanpa ada niat. Sedangkan dalam kalimat kedua, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, orang yang melakukan suatu amal, ia tidak memperoleh apa-apa kecuali menurut niatnya. Hal ini mencakup iman, ibadah, da’wah, muamalah, nadzar, jihad, perjanjian dan tindakan apapun. 

Pengaruh niat dalam sah atau tidaknya suatu ibadah sudah dijelaskan di atas. Semua amal qurbah (untuk mendekat kan diri kepada Allah) harus dilandaskan kepada niat. Suatu tindakan tidak dikatakan ibadah, kecuali disertai niat dan tujuan. Maka dari itu, sekalipun seseorang menceburkan diri ke dalam air tanpa niat mandi, atau masuk kamar mandi semata untuk membersihkan diri, atau sekedar menyegarkan badan, maka perbuatan itu tidak termasuk amal qurbah dan ibadah.

Contoh lain, ada seseorang tidak makan sehari penuh karena tidak ada makanan, atau karena pantang makan, atau karena akan dioperasi, maka ia tidak disebut orang yang melakukan ibadah puasa. Contoh lain, seseorang yang berputar mengelilingi Ka’bah untuk mencari sesuatu yang jatuh, atau mencari saudaranya yang hilang, maka orang tersebut tidak dikatakan melakukan thawaf yang disyariatkan. 

Imam Nawawi menjelaskan, niat itu disyariatkan untuk beberapa hal berikut.

Pertama : untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya duduk di masjid, ada yang berniat istirahat, ada pula yang tujuannya untuk i’tikaf. Mandi dengan niat mandi junub, berbeda dengan mandi yang hanya sekedar untuk membersihkan diri. Yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan adalah niat. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini, ketika seorang laki-laki yang berperang karena riya (ingin dilihat orang), karena fanatisme golongan, dan berperang karena keberanian. Siapakah yang berperang di jalan Allah? Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

ﻤﻥ ﻗﺎﺘﻝ ﻟﺘﻜﻭﻥ ﻜﻠﻤﺔ ﻫﻲﺍﻟﻌﻠﻴﺎ ﻔﻬﻭ ﻓﻲ ﺴﺒﻴﻝ ﺍﷲ
ِ
Artinya : “Barangsiapa berperang dengan tujuan agar kalimat Allah adalah yang paling tinggi, maka itulah fi sabilillah”. (HR. Al- Bukhari dalam Kitabul Ilmi no. 123 (Fat-hul Baari I/222) dan MuslimKitabul Imarah no. 1904, Tirmidzi no. 1646, Abu Dawud no. 2517, Ibnu Majah no. 2783 dan an-Nasaa-I VI/23 dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari). 

Kedua : untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Misalnya seseorang mengerjakan shalat empat rakaat. Apakah diniatkan shalat Dhuhur ataukah shalat sunnat (ataukah diniatkan untuk shalat Ashar)? Yang membedakannya adalah niat. Demikian juga dengan orang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia niatkan untuk membayar kafarah (tebusan), ataukah ia niatkan untuk nadzar, atau yang lainnya? Jadi yang penting, untuk membedakan dua ibadah yang sama adalah niat. (Syarah Arba’in oleh Imam Nawawi hal. 8). 

Kata niat yang sering diulang-ulang dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan firman Allah, terkadang dengan makna iradah dan terkadang dengan makna qashd dan sejenisnya. Seperti dalam surat Ali Imran ayat 152, surat Al Isra` ayat 18-19.
Insyallah akan ana lanjutkan penjelasannya di piqih niat 2...

Wallahu'alam

Maraji’:
1. Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Darus Salam.
2. Shahih Bukhari, dan syarah-nya Fathul Bari, Cet. Darul Fikr.
3. Shahih Muslim, dan Syarah Muslim Lil Imam An Nawawi.
4. Sunan Abu Daud.
5. Jami’ At Tirmidzi dan Tuhfathul Ahwadzi Syarah Sunan At Tirmidzi.
6. Sunan An Nasa-i.
7. Sunan Ibnu Majah.
8. Musnad Ahmad.
9. Al Muntaqa, Ibnul Jarud.
10. Sunan Baihaqi.
11. Shahih Ibnu Khuzaimah.
12. At Ta’liqatul Hisan ‘Ala Shahih Ibni Hibban.
13. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hanbali, tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Cet. Mu’assassah Ar Risalah, Th. 1419H.
14. ‘Iqazhul Himam Al Muntaqa Min Jami’il ‘Ulum Wal Hikam, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
15. Syarah Arba’in, oleh Imam Nawawi.
16. Syarah Arba’in, oleh Ibnu Daqiqil ‘Id.
17. I’lamul Muwaqqi’in, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
18. Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
19. Maqashidul Mukallifin, An Niyyat Fil ‘Ibadat, oleh Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar, Cet. Darun Nafa-is, Th. 1415 H.
20. Qawa-id Wa Fawa-id minal Arba’in An Nawawiyah, oleh Nadhim Muhammad Sulthan.
21. Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
22. Nailul Authar, oleh Imam Asy Syaukani.
23. Al Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin, oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.
24. Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘Anil Ibtida`, oleh Imam As Suyuthi, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan  Alu Salman.
25. Ilmu Ushulil Bida`, oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
26. Lisanul ‘Arab Libni Manzhur, 14/343, Cet. Daar Ihya At Turats Al ‘Arabi.
27. Mu’jamul Wasith, dan kitab lainnya.


Related Posts by Categories



Dapatkan artikel terbaru dengan memasukkan alamat email, anda akan menerima kiriman artikel langsung ke inbox: :

Delivered by FeedBurner

0 komentar

Posting Komentar