Bismillahirrohmanirrohim

Bagian yang paling penting pada diri manusia ialah hatinya. Karena hati manusia dapat mengenal Allah Azza wa Jalla dan beramal karena-Nya. Demikian juga hati ibarat raja, sedangkan anggota badan lainnya sebagai pengikut dan pelayannya. Anggota badan melayani hati sebagaimana rakyat melayani raja. 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Hati dikhususkan dengan ini karena ia merupakan pemimpin badan. Dengan kebaikan pemimpin merupakan kebaikan rakyat, dan dengan kerusakan pemimpin merupakan kerusakan rakyat. Dan di dalam hadits ini terdapat peringatan tentang pengagungan kedudukan hati, serta anjuran terhadap kebaikannya. Juga mengisyaratkan bahwa usaha yang baik memiliki pengaruh pada hati". 

Hendaklah kita mengetahui bahwa tabiat hati manusia ialah mengenal Rabbnya dan dapat menerima petunjuk-Nya. Namun hati manusia juga memiliki syahwat (kesukaan) dan hawa nafsu yang menjauhkan dari petunjuk. Oleh karena itu, hawa-nafsu ini perlu dikendalikan dan dikuasai agar tidak menjerumuskan pemilikinya ke dalam kecelakaan dan kehinaan. Allah Ta'ala berfirman: 

Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (Qs an-Nazi'ât/79:37-41).

Hati ibarat benteng, sedangkan setan merupakan musuh yang hendak memasuki dan menguasainya. Tidak mungkin menjaga benteng itu, kecuali hanya dengan menjaga pintu-pintu masuknya. Dan orang yang tidak mengetahui pintu-pintu itu, maka tidak mungkin ia dapat menjaganya. Demikian juga, kita tidak mungkin mencegah setan memasuki hati kecuali dengan mengetahui pintu-pintu masuk setan dan menjaganya.

PINTU-PINTU MASUK SETAN

Pintu-pintu masuk setan ke dalam hati manusia meliputi sifat-sifat buruk pada diri manusia. Di antara pintu-pintu itu, ialah sifat hasad. Yaitu tidak menyukai kenikmatan yang ada pada orang lain, dan ia mengharapkan hilangnya kenikmatan itu dari orang tersebut, baik berpindah kepada dirinya ataupun tidak. Jika setan menemui orang yang memiliki sifat hasad, maka ia memiliki kesempatan untuk menyesatkannya. 

Menurut Imam Ibnu Rajab , hasad (dengki) adalah dosa iblis. Dahulu, iblis hasad kepada Adam , ketika ia melihat Adam q melebihi para malaikat. Yaitu Allah telah menciptakan Adam dengan tangan-Nya, memerintahkan para malaikat bersujud kepadanya, mengajarinya nama-nama segala sesuatu, dan menempatkannya di dekat-Nya (di surgaNya). Maka iblis pun selalu berusaha mengeluarkan Adam dari surga, sampai ia berhasil mengeluarkannya darinya. 

Hasad juga merupakan sifat orang-orang Yahudi. Allah l telah menyebutkan hal ini di beberapa tempat dalam al-Qur'ân. Antara lain dalam firman-Nya: 

Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Qs al-Baqarah/2:109). 

Penyakit hasad ini telah menjalar dan menular menimpa sebagian umat Muhammad , sebagaimana telah diperingatkan oleh Nabi dengan sabda beliau:

دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ الْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ لَا أَقُولُ تَحْلِقُ الشَّعَرَ وَلَكِنْ تَحْلِقُ الدِّينَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَفَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِمَا يُثَبِّتُ ذَاكُمْ لَكُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

Akan menjalar dengan samar kepada kamu penyakit umat-umat sebelum kamu, yaitu hasad dan kebencian (permusuhan) Kebencian itu pencukur, aku tidak mengatakan: itu mencukur/memotong rambut, tetapi mencukur agama. Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, kamu tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu tidak akan beriman sehingga kamu saling mencintai. Tidakkah aku beritakan kepada kamu dengan perkara yang menguatkan kecintaan bagi kamu? Sebarkan salam di antara kamu! 

Di antara pintu setan ialah hirsh (tamak). Yaitu sangat mencintai dan mengharapkan sesuatu dari urusan dunia. Jika setan menemui orang yang tamak terhadap dunia, maka dia akan menghias-hiasi segala perkara yang akan mengantarkannya kepada syahwatnya itu, walaupun perkara itu merupakan kemungkaran dan kekejian.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ

Dari Anas bin Malik , ia berkata: Rasulullah n bersabda: "Anak Adam menjadi tua, namun dua perkara menjadi besar bersamanya, cinta harta dan panjang umur".

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ 

Anak Adam menjadi tua, namun dua perkara tetap muda: tamak terhadap harta dan tamak terhadap umur.

Al-Qadhi 'Iyadh t berkata: "Di dalam hadits ini terdapat kesesuaian dan perkataan yang mengagumkan. Yaitu di antara perkara orang yang tua umurnya, sepantasnya harapan-harapannya dan ketamakannya terhadap dunia sudah sirna dengan kebinasaan tubuhnya jika umurnya telah habis, dan tidaklah tertinggal baginya kecuali menanti kematian. Namun ketika perkara itu sebaliknya, maka itu tercela. Ungkapan dengan kata "muda" sebagai isyarat kepada banyaknya ketamakan dan jauhnya angan-angan. Yang demikian ini lebih banyak menghinggapi dan lebih pantas pada diri mereka. Karena umumnya lebih banyak harapan mereka dalam panjangnya umur mereka, serta tetapnya kesenangan dan kenikmatan mereka di dunia". 

Al-Qurthubi berkata: "Di dalam hadits ini terdapat (dalil) dibencinya sikap tamak terhadap panjang umur dan banyak harta, dan hal itu tidaklah terpuji".

Ulama lain mengatakan, hikmah mengkhususkan dua perkara ini, bahwa perkara yang paling dicintai oleh manusia adalah dirinya sendiri, sehingga ia menginginkan tetapnya dirinya. Karenanya, ia mencintai panjang umur. Dia juga mencintai harta, karena harta termasuk sebab terbesar dalam tetapnya kesehatan, yang pada umumnya panjang umur tumbuh dari kesehatan. Sehingga setiap ia merasa kedekatan habisnya (perkara yang dia cintai) itu, maka menjadi besar kecintaannya kepadanya dan keinginannya di dalam tetapnyai ". 

Di antara pintu setan, ialah marah. Yaitu marah karena perkara-perkara dunia. Marah yang demikian inilah yang tercela. Marah akan menghilangkan akal seseorang. Jika seseorang dalam keadaan marah, maka setan akan menyerangnya, menguasainya, lalu mempermainkannya. Dan marah itu sering menimbulkan perkara-perkara negatif, berupa perkataan atau perbuatan haram. Seperti mencaci, menghina, menuduh, berkata keji, dan perkataan haram lainnya. Atau memukul, menendang, membunuh, dan perbuatan lainnya. 

Oleh karena itu, Rasulullah n menasihati seseorang dengan berulang-ulang supaya tidak marah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ n أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ

Dari Abu Hurairah : Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi n : “Berilah wasiat kepadaku,” Nabi menjawab,"Janganlah engkau marah,” laki-laki tadi mengulangi berulang kali, beliau (tetap) bersabda: “Janganlah engkau marah”. 

Jika seseorang marah, maka hendaklah ia menguasai diri dan melawan dirinya agar tidak melampiaskan kemarahannya, sehingga keburukan dari marah itu akan segera reda dan hilang. Sifat seperti inilah yang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya. 

Di antara pintu setan, ialah suka membuat berbagai perhiasan yang berlebihan pada rumah, pakaian, kendaraan, perkakas rumah tangga, dan lainnya. Sehingga kesukaan ini mendorong seseorang untuk selalu memperbaiki rumah, menghiasi atapnya dan dindingnya, menata perkakas rumah tangganya, dan lainnya, sehingga dia telah merugikan dirinya dan menghabiskan umurnya untuk perkara itu. Padahal umur merupakan salah satu nikmat Allah yang akan ditanyakan penggunaannya.

Nabi n bersabda:

لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ

Telapak kaki anak Adam tidak akan bergeser dari sisi Rabbnya pada hari kiamat sampai dia ditanya tentang lima (perkara): Tentang umurnya, untuk apa dia telah menghabiskannya; tentang masa mudanya, untuk apa dia telah menggunakannya; tentang hartanya, dari mana dia memperolehnya, dan untuk apa dia membelanjakannya; dan apa yang telah dia amalkan dari ilmu yang telah dia ketahui. 

Di antara pintu setan, ialah kekenyangan, dan ini akan menguatkan syahwat, menyibukkannya dari berbuat taat. Oleh karena itu, Nabi n mengatkan bahwa seburuk-buruk wadah yang dipenuhi oleh manusia adalah perut. 

Beliau bersabda:

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ حَسْبُ الْآدَمِيِّ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ غَلَبَتْ الْآدَمِيَّ نَفْسُهُ فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ

Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk dari pada perut. Manusia mencukupi beberapa suap yang menegakkan tulang punggungnya. Jika keinginannya mengalahkannya (untuk menambah makan, Pen.), maka sepertiga (perutnya) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafas. 

Di antara pintu setan, yaitu berharap kepada manusia. Seseorang yang berharap kepada manusia lainnya, dia akan melewati batas dalam memuji dan menjilatnya, tidak memerintahkan yang ma'ruf, dan tidak melarang kemungkaran terhadap orang tersebut. 

Di antara pintu setan, yaitu tergesa-gesa, tidak berhati-hati. Nabi n bersabda:

اَلْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ وَالتَّأَنِّيْ مِنَ اللهِ تَعَالَى

Ketergesaan adalah setan, berhati-hati adalah dari Allah Ta'ala.

Di antara pintu setan, ialah mencintai harta. Kecintaan terhadap harta merupakan perkara yang wajar. Tetapi, jika kecintaan pada harta itu telah menguasai hati, maka hati akan rusak. Hati akan didorong untuk mengejar harta dengan cara yang haram, mengajak kebakhilan, dan menakut-nakuti kemiskinan, sehingga ia meninggalkan kewajibannya terhadap harta. Allah berfirman: 

Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengatahui. (Qs al-Baqarah/2:268).

Nabi telah mengingatkan akhir perjalanan harta manusia dengan sabda beliau:

يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِي مَالِي إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلَاثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ

Seorang hamba berkata: "Hartaku, hartaku," padahal harta yang dia miliki hanyalah tiga. (Yaitu): yang telah ia makan, lalu dia membinasakannya; yang telah ia pakai, lalu dia menjadikannya usang; yang telah dia berikan (shadaqah karena Allah, Pen.), lalu ia pasti akan memilikinya. Adapun selain itu, maka ia akan pergi dan meninggalkannya untuk manusia (yaitu ahli warisnya, Pen.). 

Di antara pintu setan, yaitu menggiring orang-orang awam untuk fanatik kepada guru, madzhab, organisasi, suku, daerah, atau lainnya. Padahal Nabi n bersabda:

مَنْ نَصَرَ قَوْمَهُ عَلَى غَيْرِ الْحَقِّ فَهُوَ كَالْبَعِيرِ الَّذِي رُدِّيَ فَهُوَ يُنْزَعُ بِذَنَبِهِ

Barang siapa menolong kaumnya tidak di atas kebenaran, maka dia seperti onta yang terjerumus, lalu ditarik ekornya.

Al-Khaththabi t berkata: "Maknanya, bahwa ia telah terjerumus dalam dosa dan binasa. Yaitu seperti seekor onta, jika terjerumus di dalam sumur, lalu ditarik ekornya, dan ia tidak mampu selamat". 

Di antara pintu setan, yaitu mengajak orang-orang untuk memikirkan Dzat Allah atau membicarakan sifat-sifat Allah tanpa mengikuti jalan Salafush-Shalih, sehingga akan mengantarkan manusia kepada keraguan dan kesesatan. Karena sesungguhnya akal manusia terbatas, dan ia tidak mampu memikirkan Dzat Allah Ta'ala. 

Nabi bersabda:

تَفَكَّرُوْا فِيْ آلاَءِ اللهِ وَ لاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ

Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu berfikir tentang (dzat) Allah 'Azza wa Jalla.

Di antara pintu setan, yaitu berburuk sangka kepada kaum Muslimin. Nabi n bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

Jauhilah persangkaan, karena sesungguhnya persangkaan itu adalah berita yang paling dusta. Dan janganlah engkau mencari-cari (mendengarkan) berita tentang kejelakan manusia, janganlah engkau menyelidiki cacat-cacat manusia, janganlah engkau saling melakukan tipu daya, janganlah engkau saling hasad, janganlah engkau saling membenci, janganlah engkau saling membelakangi. Jadilah engkau hamba-hamba Allah yang bersaudara. 

Sungguh, seseorang yang menghukumi seorang muslim lainnya dengan persangkaan buruk, berarti ia telah merendahkannya, melepaskan kendali lidahnya terhadapnya, dan ia sendiri menganggap dirinya lebih baik darinya. Dan sesungguhnya, tertancapnya buruk sangka pada hati seseorang, ialah karena kekejian orang yang berburuk sangka itu sendiri. Karena seorang mukmin akan mencari alasan-alasan untuk menjaga kebaikan saudaranya sesama mukmin. Sedangkan orang munafik, yaitu orang yang menyelidiki dan mencari-cari keburukan-keburukan orang mukmin. Namun seorang mukmin juga selayaknya menjauhi perkara-perkara yang dapat menyebabkan dirinya mendapat tuduhan buruk sangka, sehingga agama dan kehormatannya terjaga. 

Di antara pintu setan, yaitu menakut-nakuti dengan musuh-musuh. Allah k berfirman:

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Qs 'Ali-'Imran/3:175).

Di antara pintu setan, yaitu membisikan angan-angan palsu dan janji-janji dusta pada jiwa manusia. Allah berfirman:

Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (Qs 'Ali-'Imran/3:120).

Adapaun pintu masuk setan yang terbesar, ialah kebodohan terhadap din (agama). Dengan jalan inilah, setan menguasai dan memperdaya banyak manusia, sehingga mereka mengharamkan yang Allah halalkan dan menghalalkan yang Allah haramkan. Demikian juga, disebabkan kebodohan terhadap masalah din, banyak manusia beribadah dengan bid'ah-bid'ah dan perkara-perkara yang bertentangan dengan Islam. 

Dari keterangan ini semua, maka seorang mukmin hendaklah benar-benar waspada terhadap tipu daya setan. Jangan sampai dirinya terseret oleh setan, yang tanpa disadarinya menuju kesesatan. Semoga Allah k memberikan perlindungan-Nya kepada kita.

TUTUPLAH PINTU-PINTU MASUK SETAN!

Demikian sebagian dari pintu-pintu, jalan masuk setan ke dalam hati manusia. Upaya solusi dari semua ini, ialah dengan menutup pintu-pintu tersebut. Yakni dengan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela. 

Meski akar sifat buruk itu telah tercabut dari hati seorang hamba, tetap masih tersisa kemampuan setan dalam menjebak manusia. Yaitu dengan memberikan bisikan-bisikan buruknya, walaupun tidak bisa menetap di dalam hati. Untuk mengusir bisikan-bisikan jahat ini, tidak lain ialah dengan dzikir kepada Allah dan membangun hati dengan takwa. 

Perumpamaan setan, ialah ibarat seekor anjing lapar yang mendekatimu. Jika engkau tidak membawa daging dan roti, maka engkau bisa mengusirnya dengan gertakan. Namun jika engkau membawa daging dan roti, sedangkan anjing itu lapar, maka engkau tidak bisa mengusirnya hanya dengan ucapan. Demikian juga hati yang kosong dari makanan setan, maka ia akan segera pergi dengan dzikrullah. Adapun hati yang dikuasai oleh hawa nafsu, maka hawa nafsu itu akan mengangkat dzikir ke permukaan hati, sehingga setan akan menetap di lubuk hatinya. 

Jika engkau ingin mengetahui bukti dalam hal ini, maka perhatikan di dalam shalatmu. Bagaimana ketika engkau mengerjakan shalat, dengan lembutnya setan membisikkan dalam hatimu masalah-masalah duniawi, tentang pekerjaan, keuntungan perdagangan, dan semacamnya. 

Hendaklah kita ketahui bahwa keburukan yang terjadi pada hati, jika hanya berupa lintasan fikiran, pembicaraan dan angan-angan, maka hal ini dimaafkan. Jika seseorang meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka ia mendapatkan pahala karenanya. Jika ia meninggalkannya karena ada penghalangnya, maka kita berharap semoga Allah l memaafkannya juga. Namun jika keburukan itu merupakan niat dan tekad, maka tekad melakukan dosa merupakan dosa! Bagaimana tidak berdosa, bukankah kesombongan, riya`, dan 'ujub merupakan perkara batin? 

Dari itu semua, kita mengetahui betapa penting membekali diri dengan ilmu syar'i. Karena ia merupakan unsur paling utama untuk menolak setan. Setiap bertambah ilmu yang bermanfaat pada seorang hamba, yang dengan itu menjadikan dirinya takut dan bertakwa kepada Allah, maka akan bertambah keselamatan dirinya dari bisikan dan jeratan setan. Dan hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan.

Wallahu'alam

Sumber :www.bukhari.or.id

MARÂJI':
1. Al-Qur'ânul Karim.
2. Fathul Bari Syarh Shahîh Bukhâri, karya Ibnu Hajar Al-'Asqalani.
3. Ma'alamim fis-Suluk wat-Tazkiyatin-Nufus, Darul-Wathan, Cetakan Pertama, Th. 1414 H, hlm. 76-78.
4. Mukhtashar Minhajil-Qashidin, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Ta'liq dan Takhrij: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Dar 'Ammar, Cetakan Kedua, Th. 1415 H / 1994 M, hlm. 193-196.
5. Kitab Sunan Empat, dan lain-lain.

HR Imam al-Bukhâri, no. 52, 2051; Muslim, no. 1599; dari an-Nu'man bin Basyir z .
Fathul-Bari, syarah hadits no. 52.
Lihat Mu'jamul-Wasith, Bab: Hasada.
Jami'ul 'Ulum wal-Hikam, Tahqîq: Syu'aib al-Arnauth dan Ibrahim Bajis, Muasasah ar-Risalah (2/260).
HR at-Tirmidzi, no. 2510, dari az-Zubair bin al-'Awwam z . Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni.
HR Imam al-Bukhâri, no. 6421, dari Anas bin Malik z .
HR Imam Muslim, no. ???? dari Anas bin Malik z .
Dinukil dari Fathul-Bari, syarh hadits no. 6421.
Lihat Bahjatun-Nazhirin Syarh Riyadhush-Shâlihin, Syaikh Salim bin 'Id al-Hilali (I/112).
HR Imam al-Bukhâri no. 6116.
HR at-Tirmidzi, no. 2416, dari Abu Hurairah. Hadits ini dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni.
HR Ibnu Majah, no. 3349; at-Tirmidzi, no. 2380; dari al-Mikdam bin Ma'di Yakrib. Dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni.
HR Abu Ya'la dalam Musnad-nya, al-Baihaqi dalam Sunan-nya, dari Anas bin Malik z . Lihat Silsilah ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni, no. 1795.
HR Imam Muslim, no. 2959, dari Abu Hurairah z .
HR Abu Dawud, no. 5117. Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni.
'Aunul-Ma'bud, hadits no. 5117.
Hadits hasan. Lihat Silsilah ash-Shahîhah, no. 1788.
HR Bukhâri, no. 6066, Imam Muslim no. 2563, dan lainnya dari Abu Hurairah z .

Perbanyaklah Doa

Diposting oleh abufawwaz | 06.58 | , | 0 komentar »

Ustadz Abdullah Taslim, MA

Bismillahirrohmanirrohim

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما من مسلمٍ يدعو بدعوة ليس فيها أثمٌ ولا قطيعة رحم إلا أعطاه الله بها إحدى ثلاث؛ إما أن تعجل له دعوته، وإما أن يدخرها له في الآخرة، وإما أن يصرف عنه من السوء مثلها”. قالوا: إذا نكثر. قال: “اللهُ أكثرُ”. رواه أحمد والحاكم وغيرهما[1].

“Tiada seorang muslim pun yang memohon (kepada Allah Ta’ala) dengan doa yang tidak mengandung dosa (permintaan yang haram), atau pemutusan hubungan (baik) dengan keluarga/kerabat, kecuali Allah akan memberikan baginya dengan (sebab) doa itu salah satu dari tiga perkara: [1] boleh jadi akan disegerakan pengabulan doanya, [2] atau Allah akan menyimpannya untuk kebaikan (pahala) baginya di akhirat, [3] atau akan dihidarkan darinya keburukan (bencana) yang sesuai dengannya”. Para sahabat radhiyallahu ‘anhum berkata: Kalau begitu, kami akan memperbanyak (doa kepada Allah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, “Allah lebih luas (rahmat dan karunia-Nya)”.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan berdoa kepada Allah Ta’ala, dan kepastian dikabulkannya doa seorang muslim dengan salah satu dari tiga perkara yang tersebut dalam hadits di atas, jika terpenuhi padanya syarat-syarat dikabulkannya doa. Inilah makna firman-Nya:

{وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ}

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila dia berdoa kepada-Ku” (QS al-Baqarah:186)[2].

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

  • Doa seorang muslim akan dikabulkan dan tidak tertolak jika memenuhi syarat diterimanya doa[3].
  • Luasnya karunia Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dengan menjadikan pengabulan doa mereka dalam berbagai macam kebaikan dan keutamaan[4].
  • Dalam hadits ini disebutkan dua di antara syarat-syarat dikabulkannya doa, dan masih ada syarat-syarat yang lain, yaitu: ikhlas dalam berdoa, tidak tergesa-gesa dalam pengabulan doa, halalnya makanan dan pakaian, dan lain-lain[5].
  • Syarat penting lain dikabulkannya doa adalah yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kamu yakin (Allah akan) mengabulkannya, dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari (seorang yang ketika berdoa) hatinya lalai dan lupa (tidak berkonsentrasi)”[6].
  • Keburukan yang dihindarkan dari seorang hamba dengan doanya adalah mencakup semua keburukan, baik dalam urusan dunia maupun agama[7].
  •  Dianjurkan memohon doa sebanyak-banyaknya kepada Allah, karena rahmat dan karunia-Nya lebih luas dari apa yang diminta oleh hamba-hamba-Nya[8].

Wallahu'alam

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA
Sumber : www.muslim.or.id
________________________________________
[1] HR Ahmad (3/18), al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 710), dan al-Hakim (1/493), Dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, juga oleh Ibnu Hajar dalam “Fathul Baari” (11/96) dan syaikh al-Albani dalam “Shahiihut targiib wat tarhiib” (no 1633).
[2] Lihat keterangan imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab “at-Tamhiid” (10/297).
[3] Lihat kitab “Bahjatun naazhiriin” (2/592).
[4] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (9/228).
[5] Lihat kitab “Fathul Baari” (11/96) dan “Tuhfatul ahwadzi” (9/228-229).
[6] HR at-Tirmidzi (no. 3479) dan al-Hakim (no. 1817), juga oleh Ahmad dari jalur lain (2/177), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani karena diriwayatkan dari dua jalur yang saling mendukung, dalam kitab “silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 594).
[7] Lihat “Tuhfatul ahwadzi” (10/18).
[8] Lihat kitab “Bahjatun naazhiriin” (2/592).

Polemik Arah Kiblat

Diposting oleh abufawwaz | 20.26 | , | 0 komentar »

Bismillahirrohmanirrohim

Permasalahan ini masih menjadi polemik di tengah-tengah kaum muslimin sampai saat ini. Ada yang berusaha mencari arah kiblat yang harus persis menghadap ke Ka’bah, harus bergeser sedikit ke utara. Ada pula yang berpendapat cukup menghadap arahnya saja yaitu arah barat dan shalatnya tetap sah.

Semoga penjelasan kali ini dapat memberikan sedikit titik terang dari polemik yang ada. Semoga bermanfaat.

Menghadap Kiblat Merupakan Syarat Sah Shalat

Syarat sah shalat yang harus dilakukan sebelum melaksanakannya di antaranya adalah menghadap kiblat. (Lihat At Tadzhib fi Adillati Matnil Ghoyat wa At Taqrib – Matni Abi Syuja’, hal. 52, Darul Fikri dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz, hal. 82, Dar Ibnu Rojab)

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang jelek shalat (musi’ salatahu),

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ

“Jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” (HR. Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 912)

An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan, “Hadits ini terdapat faedah yang sangat banyak dan dari hadits ini diketahui pertama kali tentang hal-hal tadi adalah wajib shalat dan bukanlah sunnah.” Beliau juga mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan tentang wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan membaca Al Fatihah.” (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 2/132)

Yang Mendapat Udzur (Keringanan) Tidak Menghadap Kiblat

Dalam Matan Al Ghoyat wat Taqrib (kitab Fiqih Syafi’iyyah), Abu Syuja’ rahimahullah mengatakan, “Ada dua keadaan seseorang boleh tidak menghadap kiblat : [1] Ketika keadaan sangat takut dan [2] Ketika shalat sunnah di atas kendaraan ketika safar.”

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al Baqarah [2] : 239). Yaitu jika seseorang tidak mampu shalat dengan sempurna karena takut dan semacamnya, maka shalatlah dengan cara yang mudah bagi kalian, bisa dengan berjalan atau dengan menaiki kendaraan.

Ibnu Umar mengatakan,

فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالاً ، قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ ، أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِى الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا

“Apabila rasa takut lebih dari ini, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan dengan menghadap kiblat atau pun tidak.”

Malik berkata (bahwa) Nafi’ berkata,

لاَ أُرَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ذَكَرَ ذَلِكَ إِلاَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم

“Aku tidaklah menilai Abdullah bin Umar (yaitu Ibnu Umar, pen) mengatakan seperti ini kecuali dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 4535)

Ibnu Umar berkata,

وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُصَلِّى عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.” (HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 1652) (Lihat At Tadzhib fi Adillati Matnil Ghoyat wa At Taqrib – Matni Abi Syuja’, hal. 53 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz, hal. 82-83, Dar Ibnu Rojab)

Cara Menghadap Kiblat Ketika Melihat Ka’bah Secara Langsung

Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mampu melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap kea rah lain.

Ibnu Qudamah Al Maqdisiy dalam Al Mughni mengatakan, “Jika seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan, ‘Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah’.” (Lihat Al Mughni, 2/272)

Lalu Bagaimanakah Jika Kita Tidak Melihat Ka’bah Secara Langsung?

Jika melihat ka’bah secara langsung, para ulama sepakat untuk menghadap persis ke ka’bah dan tidak boleh melenceng. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak melihat ka’bah seperti kaum muslimin yang berada di India, Malaysia, dan di negeri kita sendiri (Indonesia)?
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dikatakan bahwa para ulama berselisih pendapat bagi orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung karena tempat yang jauh dari Ka’bah. Yang mereka perselisihkan adalah apakah orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah ataukah menghadap ke arahnya saja. (Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/11816)

Pendapat ulama Hanafiyah, pendapat yang terkuat pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i (sebagaimana dinukil dari Al Muzanniy), mereka mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah (tidak mesti persis), jadi cukup menurut persangkaan kuatnya di situ arah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak mesti persis).

Dalil dari pendapat pertama ini adalah

وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144). Menurut pendapat pertama ini, mereka menafsirkan “syatro” dalam ayat tersebut dengan arah yaitu arah ka’bah. Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke ka’bah namun cukup menghadap arahnya.

Para ulama tersebut juga berdalil dengan hadits,

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

“Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini shohih. Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholi dan Misykatul Mashobih bahwa hadits ini shohih). Jadi maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat ka’bah secara langsung maka dia cukup menghadap ke arahnya saja dan kalau di Indonesia berarti antara utara dan selatan adalah kiblat. Jadi cukup dia menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke barat) dan tidak mengapa melenceng atau tidak persis ke arah ka’bah.

Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa yang diwajibkan adalah menghadap ke arah ka’bah persis dan tidak cukup menghadap ke arahnya saja. Jadi kalau arah ka’bah misalnya adalah di arah barat dan bergeser 10 derajat ke utara, maka kita harus menghadap ke arah tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syafi’iyah, Ibnul Qashshor dari Malikiyah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Abul Khottob dari Hanabilah.

Menurut pendapat kedua ini, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud ayat:

وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke ka’bah.” (QS. Al Baqarah: 144), yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah ka’bah. Jadi seseorang harus menghadap ke ka’bah persis. Dan tafsiran mereka ini dikuatkan dengan hadits muttafaqun ‘alaih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat dua raka’at di depan ka’bah, lalu beliau bersabda,

هَذِهِ الْقِبْلَةُ

“Inilah arah kiblat.” (HR. Bukhari no. 398 dan Muslim no. 1330). Karena dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa inilah kiblat. Dan ini menunjukkan pembatasan, sehingga tidak boleh menghadap ke arah lainnya. Maka dari itu, menurut pendapat kedua ini mereka katakan bahwa yang dimaksud dengan surat Al Baqarah di atas adalah perintah menghadap persis ke arah ka’bah. Bahkan menurut ulama-ulama tersebut, yang namanya perintah menghadap ke arah kiblat berarti adalah menghadap ke arah kiblat persis dan ini sesuai dengan kaedah bahasa Arab. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/1119 dan Nailul Author, 3/253)

Jadi, intinya jika seseorang tidak melihat ka’bah secara langsung, di sini ada perselisihan pendapat di antara ulama. Padahal jika kita lihat dalil masing-masing kubu adalah sama. Namun, pemahamannya saja yang berbeda karena berargumen dengan hadits yang mereka pegang.

Pendapat yang Lebih Kuat

Dari dua pendapat di atas, kami lebih cenderung pada pendapat pertama yaitu pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang mengatakan bahwa bagi yang tidak melihat ka’bah secara langsung, maka cukup bagi mereka untuk menghadap arahnya saja. Jadi kalau di negeri kita, cukup menghadap arah di antara utara dan selatan. Jadi . Sedangkan pendapat kedua yang dipilih oleh Syafi’iyah, sebenarnya hadits yang mereka gunakan adalah hadits yang bisa dikompromikan dengan hadits yang digunakan oleh kelompok pertama. Yaitu maksudnya, hadits yang digunakan pendapat kedua adalah untuk orang yang melihat ka’bah secara langsung sehingga dia harus menghadap persis ke ka’bah.

Sehingga dapat kita katakan:

  1. Jika kita melihat ka’bah secara langsung, maka kita punya kewajiban untuk menghadap ke arah ka’bah persis, tanpa boleh melenceng.
  2. Namun jika kita berada jauh dari Ka’bah, maka kita cukup menghadap ke arahnya saja, yaitu di negeri kita adalah arah antara utara dan selatan.
Sekarang masalahnya, apakah boleh kita –yang berada di Indonesia- menghadap ke barat lalu bergeser sedikit ke arah utara? Jawabannya, selama itu tidak menyusahkan diri, maka itu tidak mengapa. Karena arah tadi juga arah kiblat. Bahkan kami katakan agar terlepas dari perselisihan ulama, cara tersebut mungkin lebih baik selama kita mampu melakukannya dan tidak menyusah-nyusahkan diri.

Namun jika merasa kesulitan mengubah posisi kiblat, karena masjid agak terlalu jauh untuk dimiringkan dan sangat sulit bahkan kondisi masjid malah menjadi sempit, maka selama itu masih antara arah utara dan selatan, maka posisi kiblat tersebut dianggap sah. Akan tetapi, jika mungkin kita mampu mengubah arah kiblat seperti pada masjid yang baru dibangun atau untuk tempat shalat kita di rumah, selama itu tidak ada kesulitan, maka lebih utama kita merubahnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu pagi dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam.” (HR. Bukhari no. 39. Lihat penjelasan hadits ini di Fathul Bari)

Jika ada yang mengatakan, “Kami tetap ngotot, untuk meluruskan arah kiblat walaupun dengan penuh kesulitan.” Maka cukup kami kemukakan perkataan Ash Shon’aniy,

“Ada yang mengatakan bahwa kami akan pas-pasin arah kiblat persis ke ka’bah. Maka kami katakan bahwa hal ini terlalu menyusahkan diri dan seperti ini tidak ada dalil yang menuntunkannya bahkan hal ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat padahal mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini. Jadi yang benar, kita cukup menghadap arahnya saja, walau kita berada di daerah Mekkah dan sekitarnya (yaitu selama kita tidak melihat Ka’bah secara langsung).” (Subulus Salam, 1/463)

Jadi intinya, jika memang penuh kesulitan untuk mengepas-ngepasin arah kiblat agar persis ke Ka’bah maka janganlah menyusahkan diri. Namun, jika memang memiliki kemudahan, ya monggo silakan. Tetapi ingatlah bertakwalah kepada Allah semampu kalian.

Demikian penjelasan singkat mengenai arah kiblat. Semoga kajian yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian dan semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat agar dapat menerangi jalan hidup kita. Wallahu a’lam bish showab.

وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Wallahu'alam

Sumber : www.muslim.or.id

Dasar-dasar Memahami Tauhid

Diposting oleh abufawwaz | 18.30 | , | 0 komentar »

Syaikh Muhammad At-Tamimi

Bismillahirrohmanirrohim

Ketahuilah, bahwa sesunguhnya kelurusan ajaran Nabi Ibrahim 'alaihis salam adalah beribadah kepada Allah secara ikhlas dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Allah berfirman [artinya]: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (Adz-Dzariyaat1:56) 

Dan bila Anda telah tahu bahwasanya Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa ibadah tidak disebut ibadah kecuali bila disertai dengan tauhid. Sebagaimana shalat, tidaklah disebut shalat bila tidak disertai dengan bersuci. 

Bila ibadah dicampuri syirik, maka rusaklah ibadah itu, sebagaimana rusaknya shalat bila disertai adanya hadatz (tidak suci). Allah berfirman [artinya]:" Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka itu kekal di dalam neraka" (At-Taubah: 17) 

Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa ibadah yang bercampur dengan kesyirikan akan merusak ibadah itu sendiri. Dan ibadah yang bercampur dengan syirik itu akan menggugurkan amal sehingga pelakunya menjadi penghuni neraka, Allah berfirman [artinya]: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (An-Nisaa': 48). Kemurnian ibadah akan mampu dicapai bila memahami 4 kaidah yang telah Allah nyatakan dalam firman-Nya: 

Kaidah Pertama

Engkau harus mengetahui bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka meyakini bahwa Allah sebagai Pencipta, Pemberi rizki, Yang menghidupkan, Yang mematikan, Yang memberi manfa'at, Yang memberi madzarat, Yang mengatur segala urusan (tauhid rububiyah). Tetapi semuanya itu tidak menyebabkan mereka sebagai muslim, Allah berfirman: 

ﻗﻝ ﻤﻥ ﻴﺭﺯﻗﻜﻡ ﻤﻥﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻭﻷﺭﺽ ﺃﻤﻥ ﻴﻤﻠﻙﺍﻟﺴﻤﻊ ﻭﺍﻷﺒﺼﺎﺭﻭﻤﻥ ﻴﺨﺭﺝ ﺍﻟﺤﻲﻤﻥﺍﻟﻤﻴﺕ ﻭﻴﺨﺭﺝ ﺍﻟﻤﻴﺕ ﻤﻥ ﺍﻟﺤﻲ ﻭﻤﻥ ﻴﺩﺒﺭﺍﻷﻤﺭﻓﺴﻴﻘﻭﻟﻭﻥﺍﷲ ﻓﻘﻝ ﺃﻓﻼ ﺘﺘﻘﻭﻥ

"Katakanlah: 'Siapa yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapa yang kuasa [menciptakan] pendengaran dan penglihatan, dan siapa yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapa yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab:'Allah'. Maka katakanlah:'Mengapa kamu tidak bertakwa [kepada-Nya]." (Yunus:31)


Kaidah Kedua

Mereka (musyrikin) berkata :"Kami tidak berdo'a kepada mereka (Nabi, orang-orang shalih dll) kecuali agar bisa mendekatkan kepada Allah dan mereka nantinya akan memberi syafa'at. Maksud kami kepada Allah, bukan kepada mereka. Namun hal tersebut dilakukan dengan cara melalui syafaat dan mendekatkan diri kepada mereka". 

Dalil tentang mendekatkan diri yaitu firman Allah [artinya]:"Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar" ( Az-Zumar: 3) 

Adapun dalil tentang syafa'at yaitu firman Allah [artinya]:"Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa'atan, dan mereka berkata:"Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah". Katakanlah:"Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit dan tidak [pula] di bumi" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan [itu]." (Yuunus: 18) 

Syafa'at itu ada 2 macam:
• Syafa'at munfiyah (yang ditolak)
• Syafa'at mutsbitah (yang diterima)

Syafa'at munfiyah adalah syafa'at yang dicari dari selain Allah. Sebab tidak seorangpun yang berkuasa dan berhak untuk memberikannya kecuali Allah, Allah berfirman [artinya]:"Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah [di jalan Allah] sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 254) 

Adapun syafa'at mutsbitah adalah syafa'at yang dicari dari Allah. Pemberi syafa'at itu dimuliakan dengan syafa'at, sedangkan yang diberi hak untuk memberikan syafa'at adalah orang yang diridhai Allah, baik ucapan maupun perbuatannya setelah memperoleh izin-Nya. Allah berfirman [artinya]:"Siapakah yang mampu memberi syafa'at disamping Allah tanpa izin-Nya?" (Al-Baqarah:255)


Kaidah Ketiga

Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan kapada manusia tentang macam-macam sistem peribadatan yang dilakukan oleh manusia. Diantara mereka ada yang menyembah matahari dan bulan, diantara mereka ada pula yang menyembah orangorang shaleh, para malaikat, para wali, pepohonan, dan bebatuan. 

Mereka semua diperangi oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dalilnya adalah firman Allah [artinya]:"Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah, dan dien ini menjadi milik Allah semuanya."(Al-Baqarah:193) 

Sedangkan dalil larangan beribadah kepada matahari dan bulan adalah firman Allah [artinya]: "Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah [pula] kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah."(Fushilat:37) 

Dan dalil larangan beribadah kepada orang-orang shaleh adalah: "Katakanlah:'Panggillah mereka yang kamu anggap selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya'. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat [kepada Allah] dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang [harus] ditakuti. (Al-Ishra:56-57) 

Adapun dalil tentang larangan beribadah kepada para malaikat adalah: "Dan [ingatlah] hari [yang di waktu itu] Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat:"Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?" Malaikat-malaikat itu menjawab:"Maha Suci Engkau.Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu".Maka pada hari ini sebahagian kamu tidak berkuasa [untuk memberikan] kemanfaatan dan tidak pula kemudharatan kepada sebahagian yang lain.Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim:"Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu". (Sabaa': 40-42) 

Larangan beribadah kepada para Nabi dalilnya:"Dan [ingatlah] ketika Allah berfirman:"Hai 'Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia:"Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Ilah selain Allah". 'Isa menjawab:"Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku [mengatakannya]. Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib"Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku [mengatakannya] yaitu:"Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabbmu", dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Meyaksikan atas segala sesuatu. Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al-Maidah:116-118) 

Adapun dalil tentang larangan penyembahan terhadap pepohonan, bebatuan adalah hadits Abi Waqid Al-Laitsi, dia berkata: " Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menuju Hunain. Kami adalah para pemuda yang telah mengenal bentuk-bentuk kesyirikan. Orang-orang musyrik mempunyai tempat duduk untuk beristirahat dan menggantungkan senjata. Tempat itu dikenal sebagai Dzatu Anwath. Lalu kami melalui pohon bidara dan [sebagian] kami mengatakan: "Wahai Rasulullah, buatlah bagi kami Dzatu Anwath seperti yang mereka (musyrikin) miliki. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allahu Akbar, itu adalah assunnan (jalan), kamu kamu telah mengatakan -demi dzat yang menguasai diriku-sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bani Israel kepada Musa, "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". Musa menjawab:"Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang bodoh". Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawab:"Patutkah aku mencari Ilah untuk kamu yang selain dari pada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat." (Al-A'raf:138-140) 

Kaidah Keempat

Sesungguhnya kaum musyrik zaman kita labih parah kesyirikannya dibanding musyrikin zaman dahulu, sebab musyrikin zaman dahulu, mereka berdo'a secara ikhlas kepada Allah ketika mereka ditimpa bahaya, akan tetapi mereka berbuat syirik ketika mereka dalam keadaan senang. 

Sedangkan orang-orang musyrik zaman sekarang, mereka terus menerus melakukan perbuatan syirik, baik dalam bahaya maupun ketika sedang senang, hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam Al-Qur'an: "Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo'a kepada Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Allah], agar mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang [dalam kekafiran]. Kelak mereka akan mengetahui [akibat perbuatannya]." (Al-Ankabut: 65-66)

Wallahu'alam

Sumber : Kitab Tauhid Syaikh Muhammad At-tamimi


Menyikapi Perbedaan Mazhab

Diposting oleh abufawwaz | 17.58 | , | 0 komentar »

Bismillahirrohmanirrohim

Tanya:
Bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap perbedaan-perbadeaan mazdhab yang menyebar di berbagai golongan dan kelompok ?

Jawab:

Seorang muslim harus berpegang pada kebenaran, yaitu yang ditunjukkan oleh kitabullah dan sunnah Rosul-Nya serta loyal terhadap kebenaran dan mempertahankannya. Dirinya harus berlepas diri dari setiap golongan atau mazdhab yang bertentangan dengan kebenaran, serta tidak menyepakatinya.

Agama Allah hanya satu, yaitu jalan yang lurus, yakni beribadah hanya kepada Allah semata dan mengikuti Rasul-Nya, Muhammad saw. Dengan begitu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah berpegang kepada kebenaran tersebut dan teguh dalam melaksanakannnya, yaitu mentaati Allah dan mengikuti syariat-Nya yang diajarkan oleh Nabi-Nya, Muhammad saw. Semua dilakukan dengan penuh keikhlasan hanya karena Allah dan tidak memalingkan ibadah, sedikitpun, kepada selain-Nya. Karena itu, setiap mazdhab dan golongan yang menyelisihi kebenaran dan aqidah ini harus dijauhi. Seorang muslim harus berlepas diri darinya dan mengajak para penganutnya untuk kembali kepada kebenaran dengan bukti dalil-dalil syariat. Dalam menasehati mereka harus dilandasi sikap lembut dengan menempuh metode yang tepat dengan berbalut kesabaran.

Wallahu'alam

Sumber : Majmu’ Al-Fatawa wa al-maqalat Al-Mutanawwi’ah, juz V hal. 157-158,

Peran Niat Dalam Amal 1

Diposting oleh abufawwaz | 08.14 | , , | 0 komentar »

Al-Ustadz Abul ‘Abbas Khalid Syamhudi, Lc

Bismillahirrohmanirrohim

Matan Hadits

ﻋﻥ ﺃﻤﻴﺭﺍﻟﻤﺅﻤﻨﻴﻥ ﺃﺒﻲ ﺤﻔﺹ ﻋﻤﺭﺒﻥ ﺍﻟﺨﻁﺎ ﺒﻥ ﻨﻔﻴﻝ ﺒﻥﻋﺒﺩ ﺍﻟﻌﺯﻯ ﺒﻥ ﺭﻴﺎﺡ ﺒﻥﻋﺒﺩﺍﷲ ﺒﻥ ﻗﺭﻁ ﺒﻥ ﺭﺯﺍﺡ ﺒﻥﻋﺩﻱ ﺒﻥ ﻜﻌﺏ ﺒﻥ ﻟﺅ ﻱ ﺒﻥﻏﺎﻟﺏ ﺍﻟﻗﺭﺸﻲ ﺍﻟﻌﺩﻭﻱ ﺭﻀﻲ ﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺴﻤﻌﺕ ﺭﺴﻭﻝ ﷲ ﺼﻟﻰﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻴﻘﻭﻝ ﺇﻨﻤﺎ ﺍﻋﻤﺎﻝ ﺒﺎ ﺍﻟﻨﻴﺎﺕ ﻭﺍﺇﻨﻤﺎ ﻟﻜﻝﺍﻤﺭﻤﺎﻨﻭﻯ ﻓﻤﻥ ﻜﺎﻨﺕ ﻫﺠﺭﺘﻪ ﺇﻟﻰﺍﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﻓﻬﺠﺭﺘﻪ ﺇ ﻟﻰﺍﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﻓﻬﺠﺭﺘﻪ ﺍﻟﻰ ﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﻭﻤﻥ ﻜﺎﻨﺕ ﻫﺠﺭﺘﻪ ﻟﺩﻨﻴﺎ ﻴﺼﻴﺒﻬﺎ ﺃﻭﻤﺭﺃﺓ ﻴﻨﻜﺤﻬﺎ ﻓﻬﺠﺭﺘﻪ ﺇﻟﻰ ﻤﺎ ﻫﺎﺠﺭﺇﻟﻴﻪ ﴿ﻤﺘﻔﻕﻋﻠﻴﻪ

”Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat, dan sesungguhnya seseorang itu hanya akan mendapat kan balasan sebagaimana niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka (pahala) hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya diniatkan untuk kepentingan harta dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya akan dibalas sebagaimana yang ia niatkan.” (HSR. Bukhari dan Muslim dalam kedua Shahih-nya)
Takhrij Hadits

Hadits di atas diriwayatkan oleh:
  1. Bukhari, Kitab Bad’ul Wahyu no. 1, dalam Kitabul Iman no. 54, ada beberapa tempat dalam Shahih-nya, seperti kitab Al-‘Itq, dan lainnya (Fat-hul Bari, I/9, 135).
  2. Muslim, Kitabul Imarah, Bab Innamal A’malu bin Niyyat, no. 1907.
  3. Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kitabut Thalaq, Bab Fi Ma ‘Uniya Bihi at Thalaq wan Niyat, no. 2201.
  4. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Fadha-ilul Jihad, Bab Man Ja’a fi Man Yuqatilu Riya’an Wa liddunya, no. 1647.
  5. An Nasa-i dalam Sunan-nya, Kitab Ath-Thaharah, Bab An-Niyyah fil Wudhu’ (I/59-60).
  6. Ibnu Majah dalam Sunan-nya, Kitab Az-Zuhd, Bab An-Niyyah, no. 4227.
  7. Ahmad di dalam Musnad-nya (I/25, 43).
  8. Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa, no. 64.
  9.  Baihaqi dalam Sunan-nya (IV/235), Bab Man Ughniya ‘Alaihi fi Ayyam min Syahri Ramadhan.
  10. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Daruquthni (I/136), Ibnu Khuzaimah (1/232 no. 455), Ibnu Hibban (at Ta’liqatul Hisan ‘Ala Shahih Ibni Hibban, no. 389) dan yang lainnya.

Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat tahun 795 H) mengatakan: “Hadits ini (adalah) hadits fard (gharib), hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id al-Anshari dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari ‘Alqamah bin Abi Waqqas al-Laitsi dari Umar bin Khaththab. Tidak Ada jalan lain yang shahih selain jalan ini, menurut pendapat Ali Ibnul Madini dan lainnya.”

Imam Al-Khaththabi berkata: “Aku tidak mengetahui adanya khilaf di kalangan ahli hadits tentang masalah itu. Meskipun ada riwayat dari jalan Abu Sa’id al-Khudri dan lainnya, akan tetapi tidak satupun yang shahih menurut para huffazh (imam- imam ahli hadits).” (Jami’ul ‘Uluum Wal Hikam, I/60 dan Iqazhul Himam, hlm. 28). 

Imam Bazzar berkata, ”Abu As-Sakan, Muhammad bin I’tab, Ibnul Jauzi dan selain mereka mengatakan, bahwa tidak ada satu pun hadits yang sah (tentang hadits innamal a’malu bin niyat) dari seorang sahabat, melainkan dari Umar bin Khaththab saja.” (At-Talkhisul Habir, 1/92, Cet. I Muassassah Qurthubah, Th. 1416 H).

Jadi pendapat jumhur ahli hadits menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits ahad, tidak mencapai derajat mutawatir, meskipun yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id Al Anshari banyak sekali, karena dari sahabat Umar bin Khaththab sampai kepada Yahya bin Sa’id hanya terdapat satu jalan. 

Asbabul Wurud Hadits

Tentang asbabul wurud hadits (sebab datangnya hadits) diriwayatkan, ada seorang wanita bernama Ummu Qais sudah dilamar oleh seseorang, dan dia tidak mau dinikahi sampai calon suaminya hijrah. Lalu ia hijrah dan kami menamakan orang tersebut dengan muhajir Ummu Qais. Kisah ini banyak ditulis dalam beberapa kitab, akan tetapi tidak ada asalnya yang shahih. Wallahu’allam. (Jami’ul Ulum Wal Hikam, I/24 dan Iqazhul Himam, hlm. 37). 

Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani: “…Tetapi tidak ada riwayat yang shahih yang menjelaskan hadits innamal a’malu sebabnya karena itu (karena Ummu Qais). 

Aku tidak melihat sedikitpun dari jalan-jalan hadits yang jelas tentang masalah itu.” (Fat-hul Bari, I/10).

Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali membenarkan perkataan Ibnu Rajab, bahwa kisah asbabul wurud hadits di atas tidak benar. (Iqazhul Himam Al-Muntaqa Fi Jami’il Ulum Wal Hikam, hlm. 37).

Kedudukan Hadits

Banyak perkataan ulama tentang hadits ini, di antaranya:

 Imam Nawawi berkata, ”Kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) tentang tingginya hadits ini dan sangat banyak manfaatnya.” •

 Imam Syafi’i berkata, ”Hadits ini merupakan sepertiga ilmu dan masuk dalam tujuh puluh bab masalah fiqh.” (Syarah Shahih Muslim, XIII/53). •

 Imam Abdurrahman bin Mahdi (wafat th. 198 H) berkata, ”Hadits tentang niat masuk dalam tiga puluh bab masalah ilmu.” (Tuhfatul Ahwadzi, V/286). Kata beliau juga: “Selayaknya bagi orang yang menyusun satu kitab, hendaknya dimulai dengan hadits ini untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar meluruskan dan memperbaiki niatnya.” (Syarah Muslim, XIII/53; Jami’ul Ulum Wal Hikam, I/61). Imam Bukhari pun memulai kitabnya dengan hadits ini. 

 Abu Abdillah mengatakan, ”Tidak ada satupun hadits yang paling mencakup berbagai masalah dan paling banyak manfaatnya, melainkan hadits ini.” (Tuhfatul Ahwadzi V/286). • 

 Abdurrahman bin Mahdi, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ali Ibnu Madini, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Daruquthni, dan Hamzah Al-Kinani, semuanya bersepakat bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu. (Fat-hul Bari, I/11). Yang dimaksud dengan sepertiga ilmu ialah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa pokok-pokok Islam datang dari tiga hadits, yaitu: 

1. Hadits Umar:ﺇﻨﻤﺎﻷﻋﻤﺎﻝﺒﺎﺍﻟﻨﻴﺎﺕ
2. Hadits ‘Aisyah: ﻤﻥﺃﺤﺩﺙ ﻓﻰﺃﻤﺭﻨﺎﻫﺫﺍ
3. Hadits Nu’man bin Basyir : ﺇﻥﺍﻟﺤﻼ ﻝ ﺒﻴﻥ ﻭﺇﻥﺍﻟﺤﺭﺍﻡ ﺒﻴﻥ(Iqazhul Himam, hlm. 29).

 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, ”Makna yang ditunjukkan hadits ini merupakan pokok penting dari prinsip-prinsip agama, bahkan merupakan pokok dari setiap amal.” (Majmu’ Fatawa, XVIII/249). Sebagian ulama berpendapat, pokok-pokok agama terdapat dalam empat hadits dikarenakan melihat urgensi dari hadits-hadits tersebut.

 Imam Syaukani berkata, ”Hadits ini mempunyai faidah yang sangat banyak, dan tidak cukup untuk saya jelaskan di sini. Meskipun hadits ini gharib, namun layak ditulis (dibahas) dalam satu kitab tersendiri.” (Nailul Authar, I/159).

Makna Hadits

ﺇﻨﻤﺎﺍﻷﻋﻤﺎﻝ (innama) susunan seperti ini menunjukan pengertian hashr ﺍﻟﺤﺼﺭpembatasan, yang diartikan dengan “hanya”, maka hashr ialah, menetapkan hukum yang disebutkan dan menafikan yang selainnya. (Qawaa-id wa Fawaa-id minal Arba’in an-Nawawiyah, hal. 25).

ﺍﻷﻋﻤﺎﻝartinya, “amal-amal”. Kata jamak dari yang diawali dengan alif lam, ﺍﻝyang menunjukkan arti istighraq yang berarti seluruh amal. Yang dimaksud adalah amal-amal syar’i yang membutuhkan niat. Adapun yang tidak, seperti kebiasaan makan, minum, berpakaian dan yang lainnya, atau seperti mengembalikan amanah dan tanggung jawab, atau menghilangkan najis, maka, tidak membutuhkan niat. Akan tetapi ada ganjarannya bagi yang berniat untuk taqarrub kepada Allah. (Ibid, hal. 26, Iqadhul Himam al-Muntaqa min Jami’il ‘Uluum wal Hikaam, hal. 30-31). 

Jadi maknanya, setiap amal harus ada niat dan tidak ada amal tanpa niat. (Nailul Authar 1/157).

Bisa juga ِ ﺇﻨﻤﺎﺍﻷﻋﻤﺎﻝ diartikan bahwa amal itu menjadi baik, buruk, diterima, ditolak, diganjar atau tidak, itu tergantung dari niatnya. Artinya, baik dan buruknya amal tergantung niat. (Iqadhul Himam, hal. 31). 

ﺍﻟﻨﻴﺎﺕ jamak dari ﻨﻴﺔ Dalam bahasa diartikan ﺍﻟﻘﺼﺩ (tujuan), yaitu hati menyengaja secara sadar terhadap apa yang dituju (dimaksud) mengerjakannya.

ﻨﻭﻯ– ﻴﻨﻭﻱ ﻭﻫﻭﻋﺯﻡ ﺍﻟﻘﻠﺏ ﻋﻠﻰﺃﻤﺭﻤﻥ ﻷﻤﻭﺭ

(Kehendak hati untuk mengerjakan suatu perkara). (Lisanul ‘Arab libni Manzhur 14/343, cet. Daar Ihya at Turats Al ‘Arabi, Mu’jamul Wasith 2/965). 

Al-Baidhawi berkata, ”Niat adalah dorongan hati yang dilihat sesuai dengan suatu tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau mendatangkan mudharat dari sisi kondisi atau tempat. (Fat-hul Baari 1/13). Ada yang berpendapat, niat adalah, menuju sesuatu yang dibarengi dengan mengerjakannya.” (Bahjatun Nazhirin 1/31 dan Syarah Hadits Arba’in oleh Imam Nawawi hal. 17). ﹶﺇﻨﻤﺎ ﻟﻜﻝ ﺍﻤﺭﻤﺎ ﻨﻭﻰ…

Sesungguhnya setiap orang akan memperoleh dari Allah sesuai dengan apa yang diniatkan. Jika berniat baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Dan jika berniat jelek, maka ia akan memperoleh balasan kejelekan pula. (Bahjatun Nazhirin 1/31 dan Syarah Hadits Arba’in oleh Imam Nawawi hal. 17). 

ﻓﻤﻥ ﻜﺎﻨﺕ ﻫﺠﺭﺘﻪ ﺇﻟﻰﺍﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﻓﻬﺠﺭﺘﻪ ﺇ ﻟﻰﺍﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﻓﻬﺠﺭﺘﻪ ﺍﻟﻰ ﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﻭﻤﻥ ﻜﺎﻨﺕ ﻫﺠﺭﺘﻪ ﻟﺩﻨﻴﺎ ﻴﺼﻴﺒﻬﺎ ﺃﻭﻤﺭﺃﺓ ﻴﻨﻜﺤﻬﺎ ﻓﻬﺠﺭﺘﻪ ﺇﻟﻰ ﻤﺎ ﻫﺎﺠﺭﺇﻟﻴﻪ ﴿ﻤﺘﻔﻕﻋﻠﻴﻪ

“Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Da barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan diperoleh atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya menurut apa yang ia hijrah kepadanya.” 

Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, “Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa amal-amal tergantung dengan niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuatu tergantung dari niatnya, baik atau buruk; dua kalimat ini merupakan dua kaidah yang mencakup dan merupakan contoh perbuatan yang bentuknya sama, akan tetapi berbeda hasilnya.


Rusaknya amal itu tergantung dari niat. Ada orang yang hijrah ke negeri Islam, karena harta dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya menurut niatnya. 

Yang pertama adalah tajir (pedagang), dan yang kedua adalah khathib (peminang). Keduanya bukan muhajir (orang yang berhijrah) yang sebenarnya.” (Iqazhul Himam hal. 36-37).

ﺇﻟﻰﻤﺎﻫﺎﺠﺭﺇﻟﻴﻪ

Menurut apa yang ia hijrah kepadanya. Hal ini menunjukkan jelek dan hinanya orang yang hijrah karena harta dan wanita. (Iqazhul Himam hal. 36-37).

ﺃﻟﻬﺠﺭﺓ Asal maknanya ialah ﺘﺭﻙﺍﻟﺸﻲﺀ yaitu meninggalkan sesuatu.

Sedangkan menurut istilah syar’i ialah, ِﻫﺠﺭﺍﻥ ﺒﻠﺩ ﺍﻟﺸﺭﻙ ﻭﺍﻹﻨﺘﻘﺎﻝ ﻤﻨﻪ ﺇﻟﻰ ﺩﺍﺭﺍﻹﺴﻼﻡ

( Pindah dari negeri kafir ke negeri Islam). Oleh para ulama, hijrah ini dibagi menjadi beberapa bagian. Hijrah tetap berlaku selama musuh masih diperangi, sebagaimana taubat masih diterima sampai atahari terbit dari barat. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


ﻻ ﺘﻨﻘﻁﻊ ﺍﻟﻬﺠﺭﺓ ﺤﺘﻰ ﺘﻨﻘﻁﻊ ﺍﻟﺘﻭﺒﺔ ﻭﻻ ﺘﻨﻘﻁﻊ ﺍﻟﺘﻭﺒﺔ ﺤﺘﻰ ﺘﻁﻠﻊ ﺍﻟﺸﻤﺱ ﻤﻥ ﻤﻐﺭﺒﻬﺎ

Tidak akan terhapus hijrah sampai tidak ada lagi taubat yang diterima, dan tidaklah berhenti taubat itu diterima sampai matahari terbit dari barat. (HR. Ahmad, IV/99; Abu Dawud, no. 2479 dan Ad Darimi, II/239-240 dari sahabat Mu’awiyah z, shahih) 

Penjelasan Hadits

Tidak diragukan lagi, niat itu merupakan neraca bagi sahnya suatu perbuatan. Niat merupakan kehendak yang pasti, sekalipun tidak disertai dengan amal. Maka dari itu, kadang-kadang kehendak ini merupakan niat yang baik lagi terpuji, dan kadang merupakan niat yang buruk lagi tercela. 

Hal ini tergantung dari apa yang diniatkan, dan juga tergantung kepada pendorong dan pemicunya; Apakah untuk dunia ataukah untuk akhirat? Apakah untuk mencari keridhaan Allah, ataukah untuk mencari keridhaan manusia? Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ﺜﻡ ﻴﺒﻌﺜﻭﻥ ﻨﻴﺎ ﺘﻬﻡ …Kemudian mereka dibangkit kan menurut niat mereka… (HR. Ibnu Majah, no. 4229 dan Ahmad, II/392) 

Karena peranan niat dalam mengarahkan amal menentukan bentuk dan bobotnya, maka para ulama menyimpulkan banyak kaidah fiqh yang diambil dari hadits ini, yang merupakan kaidah yang luas. Diantara kaidah itu ialah: ﺍﻷﻤﻭﺭﺒﻤﻘﺎ ﺼﺩﻫﺎ (suatu perkara tergantung dari tujuan niatnya).
Niat dan Tujuan Syariat

Imam Ibnul Qayyim berkata, ”Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak.” (I’lamul Muwaqqi’in VI/106, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan dua kalimat yang sangat dalam maknanya, yaitu, sesungguhnya amal-amal bergantung kepada niat dan seseorang memperoleh apa yang diniat kan.

Dalam kalimat pertama, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, amal tidak ada artinya tanpa ada niat. Sedangkan dalam kalimat kedua, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, orang yang melakukan suatu amal, ia tidak memperoleh apa-apa kecuali menurut niatnya. Hal ini mencakup iman, ibadah, da’wah, muamalah, nadzar, jihad, perjanjian dan tindakan apapun. 

Pengaruh niat dalam sah atau tidaknya suatu ibadah sudah dijelaskan di atas. Semua amal qurbah (untuk mendekat kan diri kepada Allah) harus dilandaskan kepada niat. Suatu tindakan tidak dikatakan ibadah, kecuali disertai niat dan tujuan. Maka dari itu, sekalipun seseorang menceburkan diri ke dalam air tanpa niat mandi, atau masuk kamar mandi semata untuk membersihkan diri, atau sekedar menyegarkan badan, maka perbuatan itu tidak termasuk amal qurbah dan ibadah.

Contoh lain, ada seseorang tidak makan sehari penuh karena tidak ada makanan, atau karena pantang makan, atau karena akan dioperasi, maka ia tidak disebut orang yang melakukan ibadah puasa. Contoh lain, seseorang yang berputar mengelilingi Ka’bah untuk mencari sesuatu yang jatuh, atau mencari saudaranya yang hilang, maka orang tersebut tidak dikatakan melakukan thawaf yang disyariatkan. 

Imam Nawawi menjelaskan, niat itu disyariatkan untuk beberapa hal berikut.

Pertama : untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya duduk di masjid, ada yang berniat istirahat, ada pula yang tujuannya untuk i’tikaf. Mandi dengan niat mandi junub, berbeda dengan mandi yang hanya sekedar untuk membersihkan diri. Yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan adalah niat. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini, ketika seorang laki-laki yang berperang karena riya (ingin dilihat orang), karena fanatisme golongan, dan berperang karena keberanian. Siapakah yang berperang di jalan Allah? Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

ﻤﻥ ﻗﺎﺘﻝ ﻟﺘﻜﻭﻥ ﻜﻠﻤﺔ ﻫﻲﺍﻟﻌﻠﻴﺎ ﻔﻬﻭ ﻓﻲ ﺴﺒﻴﻝ ﺍﷲ
ِ
Artinya : “Barangsiapa berperang dengan tujuan agar kalimat Allah adalah yang paling tinggi, maka itulah fi sabilillah”. (HR. Al- Bukhari dalam Kitabul Ilmi no. 123 (Fat-hul Baari I/222) dan MuslimKitabul Imarah no. 1904, Tirmidzi no. 1646, Abu Dawud no. 2517, Ibnu Majah no. 2783 dan an-Nasaa-I VI/23 dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari). 

Kedua : untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Misalnya seseorang mengerjakan shalat empat rakaat. Apakah diniatkan shalat Dhuhur ataukah shalat sunnat (ataukah diniatkan untuk shalat Ashar)? Yang membedakannya adalah niat. Demikian juga dengan orang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia niatkan untuk membayar kafarah (tebusan), ataukah ia niatkan untuk nadzar, atau yang lainnya? Jadi yang penting, untuk membedakan dua ibadah yang sama adalah niat. (Syarah Arba’in oleh Imam Nawawi hal. 8). 

Kata niat yang sering diulang-ulang dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan firman Allah, terkadang dengan makna iradah dan terkadang dengan makna qashd dan sejenisnya. Seperti dalam surat Ali Imran ayat 152, surat Al Isra` ayat 18-19.
Insyallah akan ana lanjutkan penjelasannya di piqih niat 2...

Wallahu'alam

Maraji’:
1. Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Darus Salam.
2. Shahih Bukhari, dan syarah-nya Fathul Bari, Cet. Darul Fikr.
3. Shahih Muslim, dan Syarah Muslim Lil Imam An Nawawi.
4. Sunan Abu Daud.
5. Jami’ At Tirmidzi dan Tuhfathul Ahwadzi Syarah Sunan At Tirmidzi.
6. Sunan An Nasa-i.
7. Sunan Ibnu Majah.
8. Musnad Ahmad.
9. Al Muntaqa, Ibnul Jarud.
10. Sunan Baihaqi.
11. Shahih Ibnu Khuzaimah.
12. At Ta’liqatul Hisan ‘Ala Shahih Ibni Hibban.
13. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hanbali, tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Cet. Mu’assassah Ar Risalah, Th. 1419H.
14. ‘Iqazhul Himam Al Muntaqa Min Jami’il ‘Ulum Wal Hikam, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
15. Syarah Arba’in, oleh Imam Nawawi.
16. Syarah Arba’in, oleh Ibnu Daqiqil ‘Id.
17. I’lamul Muwaqqi’in, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
18. Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
19. Maqashidul Mukallifin, An Niyyat Fil ‘Ibadat, oleh Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar, Cet. Darun Nafa-is, Th. 1415 H.
20. Qawa-id Wa Fawa-id minal Arba’in An Nawawiyah, oleh Nadhim Muhammad Sulthan.
21. Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
22. Nailul Authar, oleh Imam Asy Syaukani.
23. Al Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin, oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.
24. Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘Anil Ibtida`, oleh Imam As Suyuthi, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan  Alu Salman.
25. Ilmu Ushulil Bida`, oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
26. Lisanul ‘Arab Libni Manzhur, 14/343, Cet. Daar Ihya At Turats Al ‘Arabi.
27. Mu’jamul Wasith, dan kitab lainnya.


Sialkah Bulan Suro Itu ?

Diposting oleh abufawwaz | 07.29 | , , | 0 komentar »

Bismillahirrohmanirrohim

Bagi sebagian pihak Bulan Suro mempunyai nilai tersendiri. Kalau bagi umat Islam Bulan Muharam mengandung hari yang disunnahkan untuk melakukan puasa sunnah. Di hari itu pula Musa di selamatkan dari kejaran fir’aun. Sementara itu kaum penganut Agama Syi’ah Rafidhah yang menanggap Muharram sebagai bulan kesedihan dan kesialan, demikian pula sebagian orang di Indonesia dalam memandang bulan suro.

Di Indonesia ada sebuah pantangan yang berlaku khusus di Bulan Suro. Pernikahan tidak boleh dilakukan pada bulan ini. Bila nekat maka akan menjadi bencana dan malapetaka atau ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Tidak diketahui secara pasti dari mana asal-usul keyakinan ini . sebagian analis mengemukakan penelitiannya bahwa ini tidak lebih dari sekadar politik pihak kraton /kerajaan waktu itu.
Di Bulan Suro biasanya kraton punya kegiatan berbagai macam ritual. Ritual-ritual yang dilakukan hampir seluruhnya sarat dengan noda-noda kesyirikan. Agar acara kraton dihadiri rakyatnya maka dimunculkan keyakinan bahwa selama bulan itu rakyat tidak boleh melangsungkan hajatan. Tujuannya agar rakyat berbondong-bondong menyukseskan acara kraton. Wallahu a’lamu bishawab.

Lepas dari asal usul keyakinan nyeleneh tersebut, kekritisan umat islam harus diasah dengan kekuatan tauhid. Bagaimana mungkin sebuah waktu, baik hari atau bulan maupun tahun mampu mendatangkan bencana atau memberikan keberuntungan. Ternyata keyakinan salah seperti itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di tanah Arab pun ada keyakinan bulan sial untuk sebuah pernikahan. Bedanya kalau di Indonesia berlaku di bulan Suro/Muharram di Tanah Arab berlakunya di Bulan Shafar.

Setan memang akan berusaha sekuat tenaga untuk menyesatkan manusia, dengan halus maupun kasar. Bagi sebagian orang mungkin berdalih toh keyakinan itu demi kebaikan dan keselamatan suami isteri. Meski seakan-akan menawarkan kebaikan, tetapi sambil menyuntikkan racun mematikan. Kebaikan yang ditawarkan adalah semu, sementara racun syirik yang disuntikkan adalah kenyataan tak terbantahkan. Akankah seorang muslim berusaha menggayuh keselamatan yang dibangun di atas angan-angan dengan merusak rasa tauhid ?

Berikut adalah fatwa dari sebagian ulama tentang masalah Bulan Sial dan kesialan yang masih dipegangi oleh sebagian orang.

 Pertanyaan :

Pada hari kesepuluh Muharram, sebagian orang memperbanyak makanan untuk keluarganya. Para khatib/penceramahpun menjelaskan keutamaannya dari sisi diniyah dan duniawiyah serta kedudukannya. Sebaagian orang menyatakan mendapatkan rasa keberkahan pada harta.

 Jawaban :

Yang disyari’atkan ketika itu adalah berpuasa sunnah, yaitu pada hari kesepuluh dan kesembilan Bulan Muaharram atau (hari kesepuluh dan kesebelas). Jika para khatib/penceramah dan para guru menganjurkan dan menjelaskan kepada orang-orang keutamaan puasa tersebut, maka itu suatu kebaikan. Adapun memperbanyak makanan untuk keluarga pada hari itu dengan keyakinan bahwa hal itu disyari’atkan dan sebagai keutamaan baginya, maka bid’ah (tidak ada asalnya). Hadist-hadist yang menerangkan keutamaan memperbanyak makanan untuk keluarga pada waktu itu adalah (hadist-hadist) yang tidak shahih.

 Pertanyaan :

Kita sering mendengar kepercayaan-kepercayaan (dimasyarakat) bahwa pada Bulan Shafar tidak boleh melangsungkan pernikahan, khitan, atau semisalnya (karena dianggap Bulan Sial). Kami berharap Syaikh sekalian dapat menjelaskannya kepada kami menurut syari’at islam. Semoga Allah senantiasa menjaga Syaikh sekalian.

 Jawaban :

Apa yang disebutkan penanya tentang larangan/pantangan melangsungkan pernikahan atau khitan dan semisalnya di Bulan Shafar adalah salah satu jenis/bentuk Tasya-um (merasa sial) dengan bulan itu. Bertasya-um dengan bulan, hari, burung, atau hewan lainnya tidak dibolehkan berdasarkan hadist Abu Hurairah ra. Bahwa Rasullah saw. Bersabda :

ﻻﻋﺩﻭﻯ ﻭﻻﻁﻴﺭﺓ ﻭﻻﻫﺎﻤﺔ ﻭﻻﺼﻔﺭ
“Tidak ada ‘adwah (wabah), tidak ada Thiyarah, tidak ada burung hantu, dan tidak ada shafar.”

(HR. Bukhari VII/17, Shahih Muslim XIV/213, Musnad Ahmad I/174 dan Sunan Tirmidzi IV/161)

Bertasya-um dengan Bulan Shafar termasuk jenis Thiyarah yang terlarang. Ia termasuk perbuatan yang biasa dilakukan orang-orang jahiliyah dahulu dan telah dibatalkan oleh islam. Wabillahi taufiq. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad saw. Dan kepada keluarga dan para sahabatnya. 

Wallahu'alam

Fatwa Dikeluarkan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah Li Al-Buhuts Al-Ilmiyah Wa Al-Ifta’: Ketua Abdul Aziz Abdullah bin Baz, Wakil Ketua : Abdurrazzaq afifi, Anggota: Abdullah bin Ghadiyyan.{I/658 dan III/77-78}

Adab-adab Penuntut Ilmu

Diposting oleh abufawwaz | 07.20 | | 0 komentar »


Bismillahirrohmanirrohim

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, amma ba’du. Para pembaca yang budiman, menuntut ilmu agama adalah sebuah tugas yang sangat mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka Allah akan pahamkan dia dalam hal agamanya.” (HR. Bukhari) Oleh sebab itu sudah semestinya kita berupaya sebaik-baiknya dalam menimba ilmu yang mulia ini. Nah, untuk bisa meraih apa yang kita idam-idamkan ini tentunya ada adab-adab yang harus diperhatikan agar ilmu yang kita peroleh membuahkan barakah, menebarkan rahmah dan bukannya malah menebarkan fitnah atau justru menyulut api hizbiyah. Wallaahul musta’aan.

ADAB PERTAMA

Mengikhlaskan Niat untuk Allah ‘azza wa jalla

Yaitu dengan menujukan aktivitas menuntut ilmu yang dilakukannya untuk mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat, sebab Allah telah mendorong dan memotivasi untuk itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan minta ampunlah atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19). Pujian terhadap para ulama di dalam al-Qur’an juga sudah sangat ma’ruf. Apabila Allah memuji atau memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu bernilai ibadah.

Oleh sebab itu maka kita harus mengikhlaskan diri dalam menuntut ilmu hanya untuk Allah, yaitu dengan meniatkan dalam menuntut ilmu dalam rangka mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla. Apabila dalam menuntut ilmu seseorang mengharapkan untuk memperoleh persaksian/gelar demi mencari kedudukan dunia atau jabatan maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk mencari wajah Allah ‘azza wa jalla tetapi dia justru berniat untuk meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” yakni tidak bisa mencium aromanya, ini adalah ancaman yang sangat keras. Akan tetapi apabila seseorang yang menuntut ilmu memiliki niat memperoleh persaksian/ijazah/gelar sebagai sarana agar bisa memberikan manfaat kepada orang-orang dengan mengajarkan ilmu, pengajian dan sebagainya, maka niatnya bagus dan tidak bermasalah, karena ini adalah niat yang benar.

ADAB KEDUA

Bertujuan untuk Mengangkat Kebodohan Diri Sendiri dan Orang Lain

Dia berniat dalam menuntut ilmu demi mengangkat kebodohan dari dirinya sendiri dan dari orang lain. Sebab pada asalnya manusia itu bodoh, dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Allah lah yang telah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan kemudian Allah ciptakan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati supaya kalian bersyukur.” (QS. An Nahl: 78). Demikian pula niatkanlah untuk mengangkat kebodohan dari umat, hal itu bisa dilakukan dengan pengajaran melalui berbagai macam sarana, supaya orang-orang bisa memetik manfaat dari ilmu yang kau miliki.

ADAB KETIGA

Bermaksud Membela Syariat

Yaitu dalam menuntut ilmu itu engkau berniat untuk membela syariat, sebab kitab-kitab yang ada tidak mungkin bisa membela syariat (dengan sendirinya). Tidak ada yang bisa membela syariat kecuali si pembawa syariat. Seandainya ada seorang ahlul bid’ah datang ke perpustakaan yang penuh berisi kitab-kitab syariat yang jumlahnya sulit untuk dihitung lantas dia berbicara melontarkan kebid’ahannya dan menyatakannya dengan lantang, saya kira tidak ada sebuah kitab pun yang bisa membantahnya. Akan tetapi apabila dia berbicara dengan kebid’ahannya di sisi orang yang berilmu demi menyatakannya maka si penuntut ilmu itu akan bisa membantahnya dan menolak perkataannya dengan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh sebab itu saya katakan: Salah satu hal yang harus senantiasa dipelihara di dalam hati oleh penuntut ilmu adalah niat untuk membela syariat. Manusia kini sangat membutuhkan keberadaan para ulama, supaya mereka bisa membantah tipu daya para ahli bid’ah serta seluruh musuh Allah ‘azza wa jalla.

ADAB KEEMPAT

Berlapang Dada Dalam Masalah Khilaf

Hendaknya dia berlapang dada ketika menghadapi masalah-masalah khilaf yang bersumber dari hasil ijtihad. Sebab perselisihan yang ada di antara para ulama itu bisa jadi terjadi dalam perkara yang tidak boleh untuk berijtihad, maka kalau seperti ini maka perkaranya jelas. Yang demikian itu tidak ada seorang pun yang menyelisihinya diberikan uzur. Dan bisa juga perselisihan terjadi dalam permasalahan yang boleh berijtihad di dalamnya, maka yang seperti ini orang yang menyelisihi kebenaran diberikan uzur. Dan perkataan anda tidak bisa menjadi argumen untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan anda dalam masalah itu, seandainya kita berpendapat demikian niscaya kita pun akan katakan bahwa perkataannya adalah argumen yang bisa menjatuhkan anda.

Yang saya maksud di sini adalah perselisihan yang terjadi pada perkara-perkara yang diperbolehkan bagi akal untuk berijtihad di dalamnya dan manusia boleh berselisih tentangnya. Adapun orang yang menyelisihi jalan salaf seperti dalam permasalahan akidah maka dalam hal ini tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk menyelisihi salafush shalih, akan tetapi pada permasalahan lain yang termasuk medan pikiran, tidaklah pantas menjadikan khilaf semacam ini sebagai alasan untuk mencela orang lain atau menjadikannya sebagai penyebab permusuhan dan kebencian.

Maka menjadi kewajiban para penuntut ilmu untuk tetap memelihara persaudaraan meskipun mereka berselisih dalam sebagian permasalahan furu’iyyah (cabang), hendaknya yang satu mengajak saudaranya untuk berdiskusi dengan baik dengan didasari kehendak untuk mencari wajah Allah dan demi memperoleh ilmu, dengan cara inilah akan tercapai hubungan baik dan sikap keras dan kasar yang ada pada sebagian orang akan bisa lenyap, bahkan terkadang terjadi pertengkaran dan permusuhan di antara mereka. Keadaan seperti ini tentu saja membuat gembira musuh-musuh Islam, sedangkan perselisihan yang ada di antara umat ini merupakan penyebab bahaya yang sangat besar, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berselisih yang akan menceraiberaikan dan membuat kekuatan kalian melemah. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfaal: 46)

ADAB KELIMA

Beramal Dengan Ilmu

Yaitu hendaknya penuntut ilmu mengamalkan ilmu yang dimilikinya, baik itu akidah, ibadah, akhlaq, adab, maupun muamalah. Sebab amal inilah buah ilmu dan hasil yang dipetik dari ilmu, seorang yang mengemban ilmu adalah ibarat orang yang membawa senjatanya, bisa jadi senjatanya itu dipakai untuk membela dirinya atau justru untuk membinasakannya. Oleh karenanya terdapat sebuah hadits yang sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “al-Qur’an adalah hujjah untukmu atau untuk menjatuhkanmu.”

ADAB KEENAM

Berdakwah di Jalan Allah

Yaitu dengan menjadi seorang yang menyeru kepada agama Allah ‘azza wa jalla, dia berdakwah pada setiap kesempatan, di masjid, di pertemuan-pertemuan, di pasar-pasar, serta dalam segala kesempatan. Perhatikanlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul tidaklah hanya duduk-duduk saja di rumahnya, akan tetapi beliau mendakwahi manusia dan bergerak ke sana kemari. Saya tidak menghendaki adanya seorang penuntut ilmu yang hanya menjadi penyalin tulisan yang ada di buku-buku, namun yang saya inginkan adalah mereka menjadi orang-orang yang berilmu dan sekaligus mengamalkannya.

ADAB KETUJUH

Bersikap Bijaksana (Hikmah)

Yaitu dengan menghiasi dirinya dengan kebijaksanaan, di mana Allah berfirman yang artinya, “Hikmah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang diberi hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang sangat banyak.” (QS. al-Baqarah: 269). Yang dimaksud hikmah ialah seorang penuntut ilmu menjadi pembimbing orang lain dengan akhlaknya dan dengan dakwahnya mengajak orang mengikuti ajaran agama Allah ‘azza wa jalla, hendaknya dia berbicara dengan setiap orang sesuai dengan keadaannya. Apabila kita tempuh cara ini niscaya akan tercapai kebaikan yang banyak, sebagaimana yang difirmankan Tuhan kita ‘azza wa jalla yang artinya, “Dan barang siapa yang diberikan hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang amat banyak.” Seorang yang bijak (Hakiim) adalah yang dapat menempatkan segala sesuatu sesuai kedudukannya masing-masing. Maka sudah selayaknya, bahkan menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk bersikap hikmah di dalam dakwahnya.

Allah ta’ala menyebutkan tingkatan-tingkatan dakwah di dalam firman-Nya yang artinya, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. an-Nahl: 125). Dan Allah ta’ala telah menyebutkan tingkatan dakwah yang keempat dalam mendebat Ahli kitab dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu mendebat ahlu kitab kecuali dengan cara yang lebih baik kecuali kepada orang-orang zhalim diantara mereka.” (QS. al-’Ankabuut: 46). Maka hendaknya penuntut ilmu memilih cara dakwah yang lebih mudah diterima oleh pemahaman orang.

ADAB KEDELAPAN

Penuntut Ilmu Harus Bersabar Dalam Menuntut Ilmu

Yaitu hendaknya dia sabar dalam belajar, tidak terputus di tengah jalan dan merasa bosan, tetapi hendaknya di terus konsisten belajar sesuai kemampuannya dan bersabar dalam meraih ilmu, tidak cepat jemu karena apabila seseorang telah merasa jemu maka dia akan putus asa dan meninggalkan belajar. Akan tetapi apabila dia sanggup menahan diri untuk tetap belajar ilmu niscaya dia akan meraih pahala orang-orang yang sabar; ini dari satu sisi, dan dari sisi lain dia juga akan mendapatkan hasil yang baik.

ADAB KESEMBILAN

Menghormati Ulama dan Memosisikan Mereka Sesuai Kedudukannya

Sudah menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk menghormati para ulama dan memosisikan mereka sesuai kedudukannya, dan melapangkan dada-dada mereka dalam menghadapi perselisihan yang ada di antara para ulama dan selain mereka, dan hendaknya hal itu dihadapinya dengan penuh toleransi di dalam keyakinan mereka bagi orang yang telah berusaha menempuh jalan (kebenaran) tapi keliru, ini catatan yang penting sekali, sebab ada sebagian orang yang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain dalam rangka melontarkan tuduhan yang tak pantas kepada mereka, dan demi menebarkan keraguan di hati orang-orang dengan cela yang telah mereka dengar, ini termasuk kesalahan yang terbesar. Apabila menggunjing orang awam saja termasuk dosa besar maka menggunjing orang berilmu lebih besar dan lebih berat dosanya, karena dengan menggunjing orang yang berilmu akan menimbulkan bahaya yang tidak hanya mengenai diri orang alim itu sendiri, akan tetapi mengenai dirinya dan juga ilmu syar’i yang dibawanya.

Sedangkan apabila orang-orang telah menjauh dari orang alim itu atau harga diri mereka telah jatuh di mata mereka maka ucapannya pun ikut gugur. Apabila dia menyampaikan kebenaran dan menunjukkan kepadanya maka akibat gunjingan orang ini terhadap orang alim itu akan menjadi penghalang orang-orang untuk bisa menerima ilmu syar’i yang disampaikannya, dan hal ini bahayanya sangat besar dan mengerikan. Saya katakan, hendaknya para pemuda memahami perselisihan-perselisihan yang ada di antara para ulama itu dengan anggapan mereka berniat baik dan disebabkan ijtihad mereka dan memberikan toleransi bagi mereka atas kekeliruan yang mereka lakukan, dan hal itu tidaklah menghalanginya untuk berdiskusi dengan mereka dalam masalah yang mereka yakini bahwa para ulama itu telah keliru, supaya mereka menjelaskan apakah kekeliruan itu bersumber dari mereka ataukah dari orang yang menganggap mereka salah ?! Karena terkadang tergambar dalam pikiran seseorang bahwa perkataan orang alim itu telah keliru, kemudian setelah diskusi ternyata tampak jelas baginya bahwa dia benar. Dan demikianlah sifat manusia, “Semua anak Adam pasti pernah salah dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang senantiasa bertaubat”. Adapun merasa senang dengan ketergelinciran seorang ulama dan justru menyebar-nyebarkannya di tengah-tengah manusia sehingga menimbulkan perpecah belahan maka hal ini bukanlah termasuk jalan Salaf.

ADAB KESEPULUH

Berpegang Teguh Dengan Al Kitab dan As Sunnah

Wajib bagi penuntut ilmu untuk memiliki semangat penuh guna meraih ilmu dan mempelajarinya dari pokok-pokoknya, yaitu perkara-perkara yang tidak akan tercapai kebahagiaan kecuali dengannya, perkara-perkara itu adalah :

1. Al-Qur’an Al-Karim

Oleh sebab itu wajib bagi penuntut ilmu untuk bersemangat dalam membacanya, menghafalkannya, memahaminya serta mengamalkannya karena al-Qur’an itulah tali Allah yang kuat, dan ia adalah landasan seluruh ilmu. Para salaf dahulu sangat bersemangat dalam mempelajarinya, dan diceritakan bahwasanya terjadi berbagai kejadian yang menakjubkan pada mereka yang menunjukkan begitu besar semangat mereka dalam menelaah al-Qur’an. Dan sebuah kenyataan yang patut disayangkan adalah adanya sebagian penuntut ilmu yang tidak mau menghafalkan al-Qur’an, bahkan sebagian di antara mereka tidak bisa membaca al-Qur’an dengan baik, ini merupakan kekeliruan yang besar dalam hal metode menuntut ilmu. Karena itulah saya senantiasa mengulang-ulangi bahwa seharusnya penuntut ilmu bersemangat dalam menghafalkan al-Qur’an, mengamalkannya serta mendakwahkannya, dan untuk bisa memahaminya dengan pemahaman yang selaras dengan pemahaman salafush shalih.

2. As Sunnah yang shahihah

Ia merupakan sumber kedua dari sumber syariat Islam, dialah penjelas al-Qur’an al Karim, maka menjadi kewajiban penuntut ilmu untuk menggabungkan antara keduanya dan bersemangat dalam mendalami keduanya. Penuntut ilmu sudah semestinya menghafalkan as-Sunnah, baik dengan cara menghafal nash-nash hadits atau dengan mempelajari sanad-sanad dan matan-matannya, membedakan yang shahih dengan yang lemah, menjaga as-Sunnah juga dengan membelanya serta membantah syubhat-syubhat yang dilontarkan Ahlu bid’ah guna menentang as-Sunnah.

ADAB KESEBELAS

Meneliti Kebenaran Berita yang Tersebar dan Bersikap Sabar

Salah satu adab terpenting yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah tatsabbut (meneliti kebenaran berita), dia harus meneliti kebenaran berita-berita yang disampaikan kepadanya serta mengecek efek hukum yang muncul karena berita tersebut. Di sana ada perbedaan antara tsabaat dan tatsabbut, keduanya adalah dua hal yang berlainan walaupun memiliki lafazh yang mirip tapi maknanya berbeda. Ats tsabaat artinya bersabar, tabah dan tidak merasa bosan dan putus asa. Sehingga tidak semestinya dia mengambil sebagian pembahasan dari sebuah kitab atau suatu bagian dari cabang ilmu lantas ditinggalkannya begitu saja. Sebab tindakan semacam ini akan membahayakan bagi penuntut ilmu serta membuang-buang waktunya tanpa faedah. Dan cara seperti ini tidak akan membuahkan ilmu. Seandainya dia mendapatkan ilmu, maka yang diperolehnya adalah kumpulan permasalahan saja dan bukan pokok dan landasan pemahaman. Contoh orang yang hanya sibuk mengumpulkan permasalahan itu seperti perilaku orang yang sibuk mencari berita dari berbagai surat kabar dari satu koran ke koran yang lain. Karena pada hakikatnya perkara terpenting yang harus dilakukan adalah ta’shil (pemantapan pondasi, ilmu ushul) dan pengokohannya serta kesabaran untuk mempelajarinya.

Dengan perantara nama-nama-Mu yang terindah dan sifat-sifat-Mu yang tertinggi ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba. Begitu banyak nikmat telah hamba sia-siakan. Umur, kesempatan, waktu luang, kesehatan dan keamanan. Semuanya telah Engkau curahkan, namun aku selalu lalai dan tidak pandai mensyukuri pemberian-Mu. Ya Allah bimbinglah hamba-Mu ini, untuk meraih kebahagiaan pada hari di mana tidak ada lagi hari sesudahnya, ketika kematian telah disembelih di antara surga dan neraka. Ketika para penduduk surga semakin bergembira dan para penghuni neraka bertambah sedih dan merana. Ya Allah, limpahkanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat, dan lindungilah kami dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ya Allah, kami mohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, terjaganya kehormatan dan kecukupan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammad, walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.
***
Wallahu'alam

Adab-adab ini disadur dari Thiibul Kalim al-Muntaqa Min Kitaab al-’Ilm Li Ibni Utsaimin karya Abu Juwairiyah oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi