Peran Niat Dalam Amal 2

Diposting oleh abufawwaz | 09.48 | , | 0 komentar »

Al-Ustadz Abul ‘Abbas Khalid Syamhudi, Lc

Bismillahirrohmanirrohim

Hukum Melafazhkan Niat

Niat tempatnya di hati, bukan diucapkan dengan lisan; dalam semua ibadah, seperti bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak serta berjihad di jalan Allah, dan lainnya. Meskipun yang diucapkan lisan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka yang diperhitungkan ialah yang diniatkan, bukan yang dilafazhkan.Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, sedangkan niat belum sampai ke dalam hatinya, maka hal itu tidak cukup.

Demikian menurut kesepakatan para imam kaum Muslimin, karena sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang pasti. Orang Arab biasa mengatakan: 

ﻨﻭﺍﻙﺍﷲ ﺒﺨﻴﺭ

Artinya : (Allah menunjukkan kepada kamu kebaikan)

Al-Qadhi Abur Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy Syafi’i mengatakan: “Melafazhkan niat di belakang imam bukan perkara sunnah, bahkan hukumnya makruh. Jika mengganggu orang lain, maka hukumnya haram. Barangsiapa yang mengatakan bahwa melafazhkan niat termasuk sunnah, maka dia salah; dan tidak halal bagi siapapun berkata dalam agama Allah tanpa ilmu.” (Al Qaulul Mubin Fi Akhtha’il Mushallin, hlm. 91). 

Abu Abdillah Muhammad bin Qasim At Tunisi Al Maliki mengatakan: “Niat termasuk amal hati, dan melafazhkan niat adalah bid’ah. Disamping itu, juga mengganggu orang lain.” (Ibid, hlm. 91). 

Talafuzh (melafazhkan) niat tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika berwudhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membaca “nawaitu raf al hadatsil ashghar”, dan tidak juga membaca “nawaitu raf al hadatsil akbar” ketika mandi janabah (junub). 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak melafazhkan niat “nawaitu fardha Dhuhri arba’a raka’atin mustaqbilal qiblati”, …ketika mulai shalat atau ketika mulai puasa dan lainnya. 

Melafazhkan niat tidak pernah diriwayatkan oleh seorangpun,baik dengan riwayat yang shahih, dhaif, maupun mursal. Tidak seorangpun sahabat yang meriwayatkan, dan tidak ada seorang tabi’in pun yang menganggap baik masalah ini, dan tidak pula dilakukan oleh empat Imam Madzhab yang mashur, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan talafuzh niat, meski hanya satu kali dalam shalatnya, dan tidak pula dilakukan oleh para khalifahnya. Ini adalah petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para sahabat. Tidak ada petunjuk yang lebih sempurna, melainkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya:

ﻭﺨﻴﺭﺍﻟﻬﺩ ﻱ ﻫﺩﻱ ﻤﺤﻤﺩ

Artinya : “Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”. 

Imam Jalaluddin As Suyuti (wafat th. 921 H) berkata: “Di antara perkara yang termasuk bid’ah ialah, was-was dalam niat shalat. Hal ini tidak pernah dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak juga para sahabatnya. Mereka tidak pernah mengucapkan sesuatu bersama niat shalat (nawaitu ushalli, … ), selain hanya takbiratul ihram saja. Allah berfirman: 

ﻟﻘﺩ ﻜﺎﻥ ﻟﻜﻡ ﻓﻲ ﺭﺴﻭﻝﷲ ﺃﺴﻭﺓ ﺤﺴﻨﺔ ﻟﻤﻥ ﻜﺎﻥ ﻴﺭﺠﻭﺍﷲﻭﺍﻟﻴﻭﻡ ﻷﺨﺭﻭﺫﻜﺭﺍﷲ ﻜﺜﻴﺭﺍ

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahdzab : 21) 

Imam Syafi’i mengatakan, orang yang was-was dalam niat shalat dan bersuci, adalah orang yang bodoh tentang syari’at dan rusak pikirannya. (Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘Anil Ibtida’, oleh Imam Jalaludin As Suyuthi, hlm. 295-296, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman). 

Sebab kekeliruan orang-orang yang mengikuti madzhab Syafi’I ialah, karena kesalahfahaman dalam memahami perkataan Imam Asy Sayafi’i. Imam Syafi’i mengatakan: “Apabila seseorang niat haji dan umrah sudah cukup, meskipun tidak dilafazhkan. (Ini) berbeda dengan shalat, karena shalat itu tidak sah melainkan dengan ucapan.” 

Imam Nawawi mengatakan: “Telah berkata para sahabat kami (ulama dari madzhab Syafi’i), orang yang memahami bahwa ucapan itu (ushalli,…) adalah keliru. Karena yang dimaksud Imam Asy Syafi’i bukan demikian. Akan tetapi, yang dimaksud beliau rahimahullah adalah ucapan mulai shalat, yaitu takbiratul ihram.” 

Dengan demikian, para ulama memfatwakan, bahwa melafazhkan niat adalah bid’ah dan munkar, dan jauh dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 
Niat yang Ikhlas Merupakan Dasar Diterimanya Amal

Keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan, nafsu, dan keduniaan. Niat itu harus ikhlas karena Allah dalam setiap amal, agar amal itu diterima di sisi Allah. Setiap amal shalih mempunyai dua syarat, yang tidak akanditerima kecuali dengan keduanya, yaitu: 

Pertama : Niat yang ikhlas dan benar.

Kedua : Sesuai dengan Sunnah, mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan syarat pertama, kebenaran batin akan terwujud. Dan dengan syarat kedua, kebenaran lahir akan terwujud. 

Tentang syarat pertama telah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung pada niatnya.” Inilah yang menjadi timbangan batin. 

Sedangkan syarat kedua disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ﻤﻥ ﻋﻤﻝ ﻋﻤﻶ ﻟﻴﺱ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻤﺭﻨﺎ ﻓﻬﻭﺭﺩ

Artinya : “Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu Majah no. 14 dari hadits Aisyah)
Allah telah menyebutkan dua syarat ini dalam beberapa ayat, di antaranya:

ﻭﻤﻥﺃﺤﺴﻥ ﺩ ﻴﻨﺎ ﻤﻤﻥ ﺃﺴﻠﻡ ﻭﺠﻬﻪ ﺍﷲ ﻭﻫﻭﻤﺤﺴﻥ ﻭﺍﺘﺒﻊ ﻤﻠﺔ ﺇﺒﺭﺍﻫﻴﻡ ﺤﻨﻴﻔﺎ ﻭﺘﺨﺫﺍﷲ ﺍﺒﺭﺍﻫﻴﻡ ﺨﻠﻴﻸ

Artinya : “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus”. (QS An Nisa`: 125) 

Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya, mengikhlaskan amal kepada Allah, mengamalkan dengan iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah. Sedangkan berbuat baik artinya, dalam beramal mengikuti apa yang disyariatkan Allah, dan apa yang dibawa oleh Rasul-Nya berupa petunjuk dan agama yang haq. 

Dua syarat ini, bila salah satunya tidak terpenuhi, maka amal ini tidak sah. Jadi harus ikhlas dan benar. Ikhlas karena Allah, dan benar mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lahirnya ittiba’, dan batinnya ikhlas. Bila salah satu syarat ini hilang, maka amal itu akan rusak. Bila hilang keikhlasan, maka orang itu akan jadi munafik dan riya’ kepada manusia. Sedangkan bila hilang ittiba’, artinya tidak mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang itu sesat dan bodoh (jahil). (Tafsir Ibnu Katsir, I/616, Cet. Darus Salam). 

Dari uraian di atas, jelaslah, betapa pentingnya peran niat dalam amal. Niat itu harus ikhlas. Dan ikhlas semata tidak cukup menjamin diterimanya amal, selagi tidak sesuai dengan ketetapan syariat dan dibenarkan Sunnah. Sebagaiman amal yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat, tidak akan diterima, selagi tidak disertai dengan ikhlas; sama sekali tidak ada bobotnya dalam timbangan amal.


Faedah dan Pelajaran dari Hadits Ini

  1. Niat termasuk iman, karena termasuk amalan hati.
  2. Wajib bagi setiap muslim mengetahui hukum dan kedudukan amal yang tidak dilakukan, disyariatkan atau tidak, wajib atau sunnah; karena amal tidak bisa lepas dari niat yang disyariatkan.
  3. Disyariatkan niat secara sadar dalam amal-amal ketaatan.
  4. Amal tergantung dari niat, tentang sah atau tidaknya, sempurna dan kurangnya. Taat dan maksiat.
  5. Niat tempatnya di hati, bukan di lisan.
  6. Melafazhkan niat adalah bid’ah.
  7. Amal harus sesuai dengan Sunnah, karena ia termasuk syarat diterimanya amal.
  8.  Niat yang baik tidak bisa membuat yang haram menjadi halal, yang munkar menjadi ma’ruf, atau yang bid’ah menjadi sunnah.
  9. Baiknya tujuan, tidak bisa menghalalkan segala cara.
  10. Wajib berhati-hati dari riya’, sum’ah (memperdengarkan pada orang lain), atau beramal karena dunia, karena akan menghapuskan amalan yang baik.
  11. Manusia senantiasa digoda setan sehingga dapat merusak keikhlasan amalnya.
  12. Wajib bagi setiap muslim dan muslimah memperhatikan perbaikan hati.
  13. Ganjaran pahala yang diberikan Allah atas amal-amal hambaNya tergantung kepada niatnya.
  14. Hijrah dari negeri syirik atau kafir ke negeri Islam merupakan ibadah yang utama, bila diniatkan karena mencari wajah Allah. Dan bagi yang tidak dapat melaksanakan ibadah karena Allah, ia wajib hijrah.
  15. Keutamaan hijrah kepada Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  16. Hijrah tetap berlaku selama diperangi musuh- musuh Islam.
  17. Adapun hadits: … ﻻﻫﺠﺭﺓ ﺒﻌﺩﺍﻟﻔﺘﺡ…
  18. Tidak ada hijrah sesudah Fathu Makkah. (HR. Bukhari no. 2783 dan Muslim no. 1864), maksudnya ialah, hijrah dari Makkah ke Madinah, karena Makkah menjadi Darul Islam (Negeri Islam).

Wallahu'alam

Maraji’:

1. Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Darus Salam.
2. Shahih Bukhari, dan syarah-nya Fathul Bari, Cet. Darul Fikr.
3. Shahih Muslim, dan Syarah Muslim Lil Imam An Nawawi.
4. Sunan Abu Daud.
5. Jami’ At Tirmidzi dan Tuhfathul Ahwadzi Syarah Sunan At Tirmidzi.
6. Sunan An Nasa-i.
7. Sunan Ibnu Majah.
8. Musnad Ahmad.
9. Al Muntaqa, Ibnul Jarud.
10. Sunan Baihaqi.
11. Shahih Ibnu Khuzaimah.
12. At Ta’liqatul Hisan ‘Ala Shahih Ibni Hibban.
13. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hanbali, tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Cet. Mu’assassah Ar Risalah, Th. 1419H.
14. ‘Iqazhul Himam Al Muntaqa Min Jami’il ‘Ulum Wal Hikam, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
15. Syarah Arba’in, oleh Imam Nawawi.
16. Syarah Arba’in, oleh Ibnu Daqiqil ‘Id.
17. I’lamul Muwaqqi’in, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
18. Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
19. Maqashidul Mukallifin, An Niyyat Fil ‘Ibadat, oleh Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar, Cet. Darun Nafa-is, Th. 1415 H.
20. Qawa-id Wa Fawa-id minal Arba’in An Nawawiyah, oleh Nadhim Muhammad Sulthan.
21. Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
22. Nailul Authar, oleh Imam Asy Syaukani.
23. Al Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin, oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.
24. Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘Anil Ibtida`, oleh Imam As Suyuthi, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.
25. Ilmu Ushulil Bida`, oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
26. Lisanul ‘Arab Libni Manzhur, 14/343, Cet. Daar Ihya At Turats Al ‘Arabi.
27. Mu’jamul Wasith, dan kitab lainnya.


Related Posts by Categories



Dapatkan artikel terbaru dengan memasukkan alamat email, anda akan menerima kiriman artikel langsung ke inbox: :

Delivered by FeedBurner

0 komentar

Posting Komentar